Alasan Menikah

1071 Kata
Bagi sebagian orang, cinta adalah alasan yang harus ada ketika memutuskan untuk menikah. Mencintai seseorang dan ingin hidup bersamanya sampai maut memisahkan. Namun sayangnya tidak semua orang seberuntung itu, atau mereka memang memiliki alasan lainnya. "Memangnya apalagi alasanmu untuk menolak rencana pernikahan ini?"  Pertanyaan itu terus terngiang-ngiang di telinga Edgar. Pertanyaan yang diajukan oleh kedua orangtuanya atas penolakannya. Dia tidak sekuat yang dia kira. Di hadapan masyarakat dia adalah walikota yang powerfull. Sayangnya di rumah tidak demikian. Keputusan-keputusan dalam hidupnya seirng diputuskan secara sepihak oleh orangtuanya.  Mereka membenci politik, karena itu Edgar masuk di ranah politik. Dia berhasil menjadi seorang walikota termuda.  "Wajahmu menakutkan, seperti akan mengutuk dunia," kata Kaliandra tiba-tiba duduk di sebelah Edgar. "Bagaimana kau bisa masuk ke sini?" "Aku tahu paswordnya," jawab Kaliandra singkat. "Apakah kau bertengkar lagi dengan orangtuamu?"  "Aku tidak pernah bertengkar dengan mereka." "Seharusnya kau bertengkar." Edgar menoleh pada Kaliandra yang memeriksa buku catatan entah apa. Dia menatap dengan eksrepsi aneh. "Saran macam itu?" ejek Edgar. Kaliandra menutup catatannya. Dia menghempaskan tubuhnya ke sofa. "Kau terlalu tua untuk harus menuruti semua keinginan orangtuamu," gumam Kaliandra. "Mereka adalah orang yang berjasa dalam hidupku. Mereka memberikan segala yang mereka punya untukku. Kini giliranku untuk membalas." Edgar mengeluarkan ponselnya sebab ada beberapa orang yang menghubunginya sejak pagi tadi. "Yeah, yeah, yeah." Kaliandra beranjak dari sofa. Dia mengambil tasnya. "Kau mau kemana?" tanya Edgar. "Ke suatu tempat. Semua persiapan pertunangan dan pernikahan sudah selesia. Kau tinggal memasukkan cincin ke jariku." Edgar menatap pada Kaliandra. "Kal, apakah kau serius mau menikah denganku? Kau tahu kan, aku tertarik dengan E.." "Kau hanya tertarik pada kebebesan yang dimiliki Edelweis. Bukan orangnya." "Apa?" tanya Edgar. Kaliandra menyeringai. "Kau sibuk mengurus negara, eh kota. Tetapi hidup pribadimu ditentukan orang lain." Kaliandra melangkau menuju pintu. "Sesekali, bantahlah dengan kuat keinginan orangtuamu. Seperti kau mempertahankan kotamu." Edgar termenung. *** "Del, kamu ada waktu nggak,ketemuan yuk?" tanya Kaliandra lewat telepon.  Edelweis keluar dari ruangan pimpinan redaksi sambil membawa beberapa berkas data. Dia mengapit ponsel dengan pundaknya. "Ya Mbak, mau ketemu di mana?" Seseorang mengambil berkas dari tangan Edelweis, sehingga Edelwesi bisa memegang ponselnya dengan tangan. "Thanks," kata Edelweis. Saat melihat orang itu adalah Hanif, beberapa detik, Edelweis termenung. Sampai Kaliandra memanggilnya beberapa kali di ponsel.  "Ah uh, iya Mbak. Bagaimana?" tanya Edelweis melihat Hanif meletakkan berkas di meja kerjanya, kemudian dia kelar ruangan. "Kita ketemu di restoran kemarin bisa?" tanya Kaliandra. "Bisa Mbak. Jam berapa? Sekarang?" Edelweis memandang jam di tangannya. "Oke, aku ke sana." Edelweis mengambil tasnya dan keluar dari kantor tv lokal. Dia mengendarai motor menuju restroan yang dimaksud oleh Kaliandra. Kaliandra sudah di sana, dengan senyum yang memesona. Edelweis selalu kagum dengan wanita ini, begitu kalem, dan dewasa.  "Del, aku akan menikah segera," kata Kaliandra. "Dengan Walikota?" tanya Edelweis. Kaliandra mengangguk. "Bagaimana pendapatmu?" "Aku turut bahagia untukmu Mbak," jawab Edelweis tulus. Kaliandra terkekeh. "Kau tidak tanya alasanku?"  "Karena kau menyukainya sejak dulu. Kurasa itu sudah cukup," kata Edelweis. "Ah Edelweisku yang polos. Sayangnya hidup ini tidak semudah itu. Kami menikah karena keinginan keluarga. Aku memang menyukainya, aku memiliki perasaan bertepuk sebelah tangan bertahun tahun. Dan kini aku akan menikah dengannya. Hidup itu kadang suka mempermainkan." Edelweis hanya tersenyum dan mendengarkan.  "Seandainya saja, dia adalah seorang yang keras hati dan mengedepankan dirinya sendiri. Maka pernikahan ini tak kan terjadi. Dia terlalu sayang kepada orangtuanya. Terlalu mendewakan orangtuanya. Jadi kami akan terjebak di dalam instansi bernama pernikahan. Ak tak bisa berhenti tersenyum. "Aku berharap kamu juga mendapatkannya Del. Mendapatkan orang yang kau cintai," kata Kaliandra. Edelweis tersenyum.  "Kau benar-benar cantik Del, sekarang," puji Kaliandra. "Apaan sih Mbak. Mbak lebih cantik dan apa ya.. dewasa." Kaliandra mengibaskan tangannya.  "Mbak Kal, menurutku daripada mendapatkan orang yang kita cintai. Lebih baik aku memilih saling mencintai. Bukan sepihak. Kesadaran keduanya akan perasaan mereka, seharusnya jauh lebih nyaman dilakukan."  "Anak kecil sudah dewasa, bicara soal cinta," Kaliandra menggoda.  "Tentu saja. Aku sudah mau tiga puluh," balas Edelweis.  "Kau masih menunggunya? Mau bertemu dengannya?" Tanya Kaliandra.  "Buat takdir yang nenentukan," kata Edelweis dengan kalem.  "Begitu ya, pernikahanku juga bisa dibilang takdir. Aku tahu Edgar menyukaimu. Tetapi aku yakin dia tidak menyebutkan soal dirinya, atau tahu tentang mu. Dia tidak tahu apapun tentangmu. Rasa sukanya lebih ke arah kagum."  "Mbak Kal, sangat kenal dengan walikota ya," puji Edelweis.  "Aku mengenalnya sejak kecil. Kami tumbuh bersama. Kecuali saat Ida berada di luar negri. Aku pun menyusulnya setelah lulus SMA. Aku tahu kau ngefans padaku kan? Usahaku begitu gigih untuk saling bersamanya. Kali ini pun begitu."  "Pak Edgar pasti akan membalas perasaan Mbak Kal." "Dia tidak bisa mengabaikanku, hanya dia belum sadar sepenuhnya saja. " Edelweis mengacungkan jempol.  "Mbak Kal, apakah Indra juga akan.. akan..." Edelweis tak sanggup melanjutkan kalimatnya.  "Belum tentu. Indra berbeda dengan Edgar. Dia sudah bisa memihak keinginan dan memperjuangkanya. Kau ingat bagaimana dia melindungimu dari bullying kan? Dia sangat keras terhadapnya orindko. Beda dengan Edgar. Indra mampu berpikir lebih jernih." Edelweis menelan ludah. Kaliandra tidak membantah soal pertunangan Itu dra dengan seseorang. Tetapi malah mengalihkan hanya ke Indra. Apakah Kaliandra masih memberi harapan pada Edelweis.  "Del, Indra pasti akan memikirkan serius tentang masa depannya. Terutama pernikahan."  Edelweis hanya tersenyum. "Dia bebas melakukan apa yang dia mau Mbak."  Edelweis pamit karena ada janji dengan orang lain lagi. Kaliandra mendoakan yang terbaik untuk Edelweis.  Edelweis menuju festival layangan. Dia akan melipit soal itu. Dia kembali kekantor untuk mengambil kamera dan pamit ke bosnya.  Dalam perjalanan menuju parkiran. Dia berpapasan dengan Hanif.  "Mas Hanif," panggil Edelweis.  Hanif berhenti dan menoleh. "Ya Beb?"  Edelweis mendengus. Bagaimana orang ini bisa santai saja memanggil perempuan dengan panggilan beb.sedangjan istrinya punya tabiat cemburuan. Tetapi itu bukan urusan Edelweis. Jadi dia mengurungkan niatnya untuk menceramahi lelaki satu anak ini.  "Cara untuk mengambil gambar layangan yang tinggi bagaimana?"  "Ah soal itu. Kamu mau liputan festival layangan? Di mana?" Hanif balas bertanya.  "Di daerah Darmo."  "Oh dekat rumahku. Kita searah. Aku boleh ikut pulang?" Tanya Hanif.  "Hah?"  "Ban motorku bocor. Jadi aku bisa numpang nggak?"  "Boleh aja sih. Ayo..." Kata Edelweis. Hanif mengangguk.  Hanif yang menyetir motor. Edelweis di bonceng. Edelweis mengantarkan Hanif sampai depan rumah.  "Kayaknya ada tamu Mas," kata Edelweis melihat seorang perempuan dengan menggandeng anak di depan pagar.  Hanif pucat. Dia turun dari motor segera dan berlari menghampiri perempuan itu.  "Kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?" Tanya Hanif dengan suara agak keras kepada perempuan itu.  Edelweis hanya menatap bingung.  Perempuan itu menatap Hanif kemudian pada Edelweis bergantian.  "Siapa dia?" Tanya perempuan itu menunjuk Edelweis.  Edelweis dalam masalah.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN