Alasan Menikah (2)

1008 Kata
Tidak ada niat lain bagi Edelweis untuk berboncengan dengan seniornya, Hanif. Dia hanya kebetulan ingin membantu. Tetapi situasinya tidak menguntungkan buatnya. Kini dia masih duduk di atas sepeda motor, di depan rumah Hanif. Sedangkan Hanif sedang berbicara serius, terlihat dari ekspresi wajah mereka. Sang istri kemudian menunjuk Edelweis yang masih di tempatnya. "Siapa dia?" tanya istri Hanif. Edelweis menelan ludah. Dia turun dari motor. Dia yakin tidak melakukan kesalahan apapun, jadi dia tidak perlu takut. Edelweis berjalan mendekati Hanif dan sitrinya. Hanif tampak tegang, istrinya lebih tegang. Bahkan matanya berkaca-kaca. Hanif memberi isyarat pada Edelweis agar pergi, namun terlambat. Edelweis malah berjalan mendekat. Ya Tuhan! Edelweis sendiri berusaha tenang. Dia tersenyum pada istri Hanif, dan mengulurkan tangan. "Saya Edelweis Mbak, juniornya Mas Hanif. Saya ada urusan di Darmo, Mas Hanif sekalian numpang motor saya, karena bannya bocor." Istri Hanif mengamati Edelweis. Dia hanya mengangguk dan menyambut tangan Edelweis. Mereka berjabat tangan sekilas.  "Terima kasih banyak. Mari masuk dulu," kata istri Hanif. "Tidak usah Mbak, terima kasih. Saya masih ada urusan. Mari," kata Edelweis. Dia menoleh pada Hanif dan mengangguk singkat. Hanif berpesan. "Hati-hati Del." Edelweis segera pergi dari sana. Dia berharap Hanif dan istrinya segera berbaikan. Dalam perjalanan menuju festival layangan. Dia merenung. Pernikahan bukanlah hal yang sederhana. Bangunan sebuah hubungan yang harus terus dirawat dan diperhatikan. Bukan hanya satu orang, tetapi dua orang yang menjadikan rumah yang paling indah bagi anak-anaknya. Edelweis tidak sadar ketika dia sudah sampai di persawahan tempaf festival layangan berlangsung. Di sana tidak hanya para pelaku layangan yang hadir tetapi juga penonton dan para penjual makanan minuman. Tempat ramai adalah ladang rejeki bagi penjual.  Edelweis mengamati keadaan sekitar. Dia mencari apakah ada wajah yang dia kenal atau tidak. Dia mencari apakah ada jurnalis lain yang hadir di sana. Dia menemukan satu orang yang dia kenal. Jurnalis dari Banyumili, Oliver.  Oliver sedang mengambil gambar bagaimana layangan itu akan diterbangkan.  Layangan itu bukan sekedar layangan berbentuk datar. Tetapi sekarang berbentuk naga tiga dimensi. Lengkap dengan kepala, badan dan ekor. Panjangnya juga tidak main-main, sekitar 30 sampai 70 meter. Bahkan layangan-layang itu mampu untuk dinaiki orang dewasa.  Karena diterbangkan di sawah, anginnya relatif kencnag. Untuk mempertahankan agar layang-layang naga ini terbang stabil, ujung talinya diikatkan pada sebuah tiang listrik, dan dilingkarkan ke seorang remaja bertubuh besar. Tali didekat kepala juga dipegang oleh remaja lainnya.  Beberapa remaja menarik ke bawah kepala naga, dan mengikatkan sebuah kayu, di mana seorang anak bisa menduduki di kayu itu dan ditarik ke atas mengikuti kepala naga.  Tentu saja, tidak terlalu tinggi. Hanya sekitar dua atau tiga meter dari tanah. Remaja yang lain bertugas mengontrol tali agar tetap aman bagi anak tersebut. Anak-anak kecil berusia lima tahun ke atas, bergantian menaikinya. Tentu saja, mereka diminta untuk berpegangan erat pada tali. Dan beberapa remaja berjaga di bawahnya.  Edelweis menatap layang-layang naga itu dengan kagum. Kreatifitas tanpa batas.  "Sudah ambil gambar Del?" tanya Oliver.  Edelweis menoleh. "Belum mas," jawabnya. "Mas masih di kota ini ya? Belum kembali ke Jakarta?" "Masih ada urusan yang belum selesai."  Oliver pun mengajari Edelweis bagaimana mengambil gambar yang menarik. Bagaimana harus menyorot layang-layang dengan anak yang ikut naik. Dan juga perhatian penonton yang tak lepas dari layang-layang. Edelweis mengangguk dan langsung mempraktikkan. Mereka juga mewancarai bersama para peserta festival juga para panitia. Ketika dirasa cukup mereka pun ikut menikmati fetsival ini.  "Umurmu berapa sekarang, Del?" tanya Oliver. "Hemm, sekitar kepala tiga." "Kenapa malah memilih sebagai jurnalis?" "Cita-citaku dulu. Biar nampak keren dan bisa jalan-jalan gratis. Atas nama pekerjaan." Oliver terbahak. "Jalan-jalan gratis ya. Bisa sih seperti itu. Tetapi tanggung jawab laporannya juga tinggi. Sepertia ku ini." Edelweis ikut tertawa. "Memang ya, tidak ada yang benar-benar gratis di dunia ini." Oliver tersenyum. "Del, kenapa kamu belum menikah?" Edelweis menoleh, dia menjadi canggung. Tidak menyangka Oliver akan menanyakan hal seperti itu.  "Belum ada yang berani melamar," kata Edelweis bercanda.  Oliver tersenyum. "Kalau ada yang melamar, mau diterima?"  "Eh?" Edelweis tersenyum bingung. "Mungkin saja, tergantung." Oliver menutup kameranya. "Tergantung apa?"  "Ya tergantung aku menyukai atau tidak." "Kalau aku?" pancing Oliver. Edelweis terkekeh dan berdiri "Sudah ah Mas, bercanda mulu. LIhat layang-layang terbang lebih tinggi." "Aku serius lho Del," kata Oliver. Edelweis mengigit bibirnya. Dia kembali duduk.  "Alasan Mas Oliver mau melamar aku apa? Kita baru kenal lho," cecar Edelweis.  "Kamu sangat layak untuk dijadikan istri Del, kamu partner hidup yang kucari," kata Oliver. "Teman perempuan sesama jurnalis Mas Oliver pasti lebih banyak. Kenapa harus aku?" Edelweis masih belum percaya hal ini. Oliver kembali tertawa kecil. "Kamu selalu begini ya, menuntut jawaban yang sesuai dengan harapanmu. Sayangnya Del, kita gak selalu bisa menjelaskan alasannya. Kadang kita hanya yakin, dia orangnya. Sama seperti yang aku rasakan sekarang. Oh jodohku dia. Hanya sesederhana seperti itu saja." "Tetapi Mas," bantah Edelweis. "Kamu nggak hars jawab sekarang Del, kita bisa jadi teman dulu," kata Oliver membuat Edelweis lega. "Setelahnya jadi demen," lanjut Oliver membuat Edelweis kembali canggung. "Ngomong-ngomong kelanjutan liputan pabrik, gimana Mas?" tanya Edelweis mengalihkan topik.  "Masih kugali lebih dalam. Makanya aku masih stay di sini. Kamu masih berminat untuk bergabung dengan Banyumili?" tanya Oliver.  "Berminat sih Mas, tapi belum siap aja." "Kan ada aku, nanti aku bantu." "Ah enggak, nanti merepotkan Mas Oliver." Oliver menyeringai. "Kalau kamu yang merepotkan, setiap hari juga tidak masalah Del." Edelweis tersipu. Dia pura-puta sibuk dengan ponselnya.  Seorang bertubuh besar seperti pelaku sumo mendatangi Edelweis dan Oliver. Kedatangannya tanpa permisi itu membuat Edelweis takut. Mau apa dia? Namun Oliver segera berdiri. Wajahnya yang cerah tadi berganti dengan kesal dan waspada.  Edelweis bisa merasakan kecanggungan dan juga amarah yang terjadi di antara Oliver dan orang sumo itu.  "Mas Oliver ya?" tanya orang itu. Dia mengabaikan Edelweis yang berada di samping Oliver.  Orang itu bahkan tidka repot-repot mengucapkan permisi, malah nadanya bertanya seperti membentak seseorang. Edelweis tidak suka dengan orang ini. Tidak memiliki sopan-santun.  Wajah Oliver mengeras. Dia melirik Edelweis sekilas. "Kamu tunggu di sini Del," kata Oliver dengan nada seirus.  Edelweis hanya mengangguk.  Orang itu berjalan lebih dulu, dan Oliver berbalik pada Edelweis. Dia berbicara pelan," jaga kamaeraku," kata Oliver.  Edelweis merasakan firasat buruk. Semoga tidak terjadi hal yang buruk. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN