Terjal

1029 Kata
Edelweis memandang penuh cemas terhadap Oliver. Dia menduga orang bertubuh sumo itu pasti ada kaiatannya dengan pabrik. Dia bisa saja menekan Oliver untuk mengundurkan diri dari peliputan tersebut. Tetapi yang terjadi adalah keduanya tertawa membahas sesuatu. Edelweis merasa bingung juga heran, dengan apa yang mereka bicarakan. Orang tersebut berpamitan dan Oliver kembali pada Edelweis. Oliver tidka seperti orang sudah diancam. Apalagi situasi saling tertawa tadi apakah benar adalah ancaman? "Siapa tadi apakah kau diancam?" tanya Edelweis panik. Oliver bingung. "Diancam siapa?"  "Orang tadi," tunjuk Edelweis. Oliver tertawa. "Oh tidak. Kau salah paham. Dia kenalanku," kata Oliver. Namun Edelweis masih tidak yakin. "Kenalanmu pekerjaan apa, dia seperti tukang pukul," kata Edelweis. Oliver kembali tertawa. "Kamu membuat hariku menyenangkan. Aku jadi semakin ingin menjadikanmu istri," kata Oliver.  Edelweis menggerling. Kecemasannya malah ditanggapi bercanda. Kalau memang tidak terjadi hal yang gawat dia bersyukur. Karena risiko pekerjaan mereka dalam mengungkapkan fakta, sering membuat pihak lain tidak senang. "Ayo makan bakso," ajak Oiver. Edelweis menggeleng. "Maaf mas, aku harus pulang." "Oh begitu. Hati-hati kalau begitu," kata Oliver.  Edelweis mengangguk dan melambaikan tangan.  *** Edelweis bekerja seperti biasa. Setiap pagi dia akan keliling mencari berita, siang sampai malam mengirim laporan. Esoknya begitu lagi. Kadang dia masih menginap di rumah kakaknya, kadang juga di kos. Sampai undangan pernikahan itu datang ke kantor. "Ah, walikota kita akan menikah! Aku nggak rela," teriak salah satu admin perempuan di kantor.  Beberapa orang tertarik dan berkmpul melihat undangan yang dikirim. Di situ ada pimpinan redaksi, dan beberapa jurnalis yang diundang, termasuk Edelweis.  Edelweis pun mengambil undangan miliknya. Dia mengamati undangan mewah, dengan kertas tebal dan ukuran undnagan yang nyaris menyerupai buku tulis.  "Mbak Edel, beruntung. Bisa datang ke sana," kata admin satu. "Iya, makanannya pasti enak - enak," lanjut admin dua.  Admin satu memukul temannya dnegan undangan. "Makanan terus yang dipikir." "Mau ikut bareng aku?" Edelweis memberikan tawaran. "Nggak ah Mbak, harus ngamplop berapa aku di sana?" jawab admin dua. "Makan banyak berarti haru ngamplop banyak," balas admin satu.  "Memangnya ini transaksi jual beli?" "Kalau di desa kan gitu, sistemnya arisan malah," timpal admin satu. Edelweis melerai mereka berdua. "Sudah cukup. Siapa saja yang diundang?"  "Ada Pak Awan, Mas Hanif, Mbak Edelweis, dan jurnalis senior lainnya," kata admin dua.  Edelweis membawa ketiga undangan itu. Dia menyerahkan pada Awan dan Hanif.  Setelah kejadian itu, Hanif dan Edelweis masih bekerja seperti biasa. Edelweis yakin keputusannya untuk menyapa istri Hanif tempo hari adalah keputusan yang tepat.  "Kita berangkat bareng aja," kata Hanif. "Awan juga kok," tambahnya cepat.  "Siap." "Kamu nggak apa Del?" tanya Hanif. "Memangnya aku kenapa?" tanya Edelweis. "Kukira kamu ada perasaan sama walikota. Setelah kejadian pelukan itu?" goda Hanif.  Edelweis mendengus. *** Malamnya walikota Edgar datang ke kos Edelweis tanpa pemberitahuan. Edelweis sedang membaca novel ketika Edgar memberitahunya dia ada di depan kos. Edelweis melompat, menyambar jaket. Dia segera menemui Edgar. Sebab Edgar mengancam akan membuat keributan, kalau Edelweis tidak mau keluar menemuinya. "Dasar orang sinting," maki Edelweis. Edgar mengenakan kaos putih dan celana putih, sedangkan toopinya hitam.  "Mirip bidak catur," gumam Edelweis yang tidak didengar Edgar.  "Masuk Del, aku mau bicara sebentar," kata Edgar.  "Mau kemana?"  "Keliling sebentar, daripada diam di sini, nanti digerebk warga." Edelweis menurutinya.  Mobil itu meluncur pelan meninggalkan kos Edelweis. Bahkan terus melaju sampai perbatasan kota, dan menuju kota sebelah. "Kita mau kemana Pak?" tanay Edelweis panik. "Bapak nggak ada niat untuk menculikku kan? Aku akan lapor Mbak Kaliandra," ancam Edelweis.  Edgar tertawa kecil. "Ke kota sebelah saja, biar nggak ada yang kenal dengan wajahku," kata Edgar. Edgar menoleh, "aku nggak akan berbuat jahat Del. Aku hanya ingin ngobrol saja." "Undanganmu sudha disebar, Pak," kata Edelweis mengingatkan. "Jangan macam-macam lah." "Hanya mengobrol. Janji!" kata Edgar tersenyum. Edgar membawa Edeleweis ke tepi sungai. Ada beberapa penjual nasi goreng yang bertempat di tanggul itu. Di sana juga ada lesehan yang tepat menatap ke sungai. Saat malam, sungai memang tidka terlihat apapun. Namun angin dan suaranya air terasa jelas.  Rambut Edelweis berkibar ditiup angin yang lumayan kencang. Sedangkan dia tidak membawa kuncir rambut. Beberapa kali Edelweis menyelipkan rambut di belakang telinga, namun karena angin, rambutnya kembali berantakan.  Edelweis kesal dan menangkup seluruh rambutnya dan dia masukkan ke dalam baju.  Edgar beranjak dari duduk ke penjual nasi goreng. Dia kembali pada Edelweis dan menyerahkan gelang karet. "Adanya cuma ini, pakai aja dulu, kata Edgar. Edelweis menerimanya. "Terima kasih." "Aku harap setiap kamu lihat kaleng karet, kamu akan ingat aku," kata Edgar. "Hah, buat apa?" maki Edelweis. Edgar tertawa. "Aku sudah memikirkannya berulang kali Del, namun belum selesai berpikir, smeua prosesi pernikahan ini telah terjadi. Sejujurnya aku masih tidak yakin." "Mbak Kaliandra adalah orang yang sangat baik. Aku malah kasihan sama dia, karena menikah dengan anda," kata Edelweis.  "Kok kasihannya sama Kaliandra?" "Iya lah. Undangan udah disebar,sekarang malah menculik perempuan lain. Itu namanya kelakukan mcam apa?" sindir Edelweis.  "Aku kan hanya ingin mengobrol," kata Edgar mencari alasan. "Memangnya mau mengobrol soal apa, sampai menculikku begini? Lewat telepon kan bisa?" tanya Edelweis. Edgar hanya menatap Edelweis. "Akhirnya kamu mau bicara santai denganku," kata Edgar. Edelweis mendengus. "Sudah malam Pak, aku mengantuk."  Edgar hanya duduk di sebelah Edelweis menatap sungai yang gelap.  "Hidupku itu seru. Aku bisa merasa gembira yang meluap ketika masih satu sekolah dengan Indra dan Kaliandra. Kami berempat sering bolos pelajaran matematika dan melipir ke ruang Osis untuk tidur," kata Edgar.  "Indra tidak mungkin tidur. Yang tidur itu Pak Edgar," balas Edelweis. Edgar tertawa. "Kau sangat mengenal Indra ya? Aku selalu heran dengan dia, hidupnya selalu sibuk," kata Edgar. "Tidak juga, kadang dia suka bermain game ponsel sampai lupa waktu. Namun bukan tidur di ruang osis,"sindir Edelweis. "Kamu pacaran berapa lama dengan Indra?"  "Selama SMA." "Dan sampai saat ini kamu masih menunggu dia kembali ke sisimu? Tidakkah kamu terlalu polos?" "Itu kan bukan urusanmu Pak," kata Edelweis.  "Di depan kita, ada sbeuah sungai besar. Kita tahu dia ada di sana, tetapi kita tak bisa melihatnya. Sama seperti masa depan," kata Edgar.  "Masa depan seperti apa bentuknya itu tidak ada yang tahu, kalau sungai ini kan kita tahu, karena siang hari kita bisa melihatnya dengan jelas. Kenapa malah muter-muter pembicaraannya? Katakan saja Pak Edgar mau apa menculikku ke sini?' Edgar menghembuskan napas keras. "Seandainya, kam kuajak kabur keluar negeri.  Mau Del?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN