Edgar hanya butuh menjernihkan kepalanya sebentar. Yang terbayang olehnya adalah Edelweis. Perempuan dewasa yang sudah memasuki usia menikah, namun masih santaisaja. Bahkan dia jelas menunjukkan ketidaktertarikan pada Edgar. Edgar menyukai perempuan itu. Bahkan Kaliandrapun menyadarinya. Kata-kata Kaliandra masih terus membayang hari-harinya.
Katanya, dia hanya iri dengan kebebasan Edelweis.
Jadi di sinilah mereka. Edgar membawa Edelweis ke tepi sungai di kota sebelah. Sebuah tempat yang pernah dia habiskan bersama tiga temannya dulu.
"Seandainya, kam kuajak kabur keluar negeri. Mau Del?" tanya Edgar.
"Tidak mau!" Edelweis berkata dengan tegas.
"Kuajak kau keliling dunia Del, kemanapun kamu mau. Aku akan antarkan!"
"Tidak mau Pak Edgar Madeva!"
Edgar tersenyum. "Kamu marah Del?"
Edelweis tidak menjawab. Melainkan dia berdiri. "Pak Edgar adalah orang dewasa yang bisa menentukan masa depannya sendiri. Hanya karena urusan pribadi, Pak Edgar mencari orang lain dan mengajaknya kabur dari tumpukan tanggung jawab besar. Makanya saya tidak mau. Saya bukan batu loncatan ataupun idola. Saya hanya pegawai biasa."
"Kamu merendahkan dirimu sendiri. Aku melihatmu sebagai burung yang terbang tinggi dengan indah. Berani menatap ke depan," puji Edgar.
Edelweis terkikik. Dia menoleh pada Edgar dengan sorot mata geli. "Mbak Kal benar, Pak Edgar sama sekali tidak tahu tentang saya."
"Kenapa Kaliandra selalu ada dalam percakapan kita?" tanya Edgar sedikit kesal.
"Karena memang terhubung. Kalau bukan karena Mbak Kaliandra, tunanganmu sekarang. Aku tidak akan pernah mau meladeni semua hal konyol darimu," sindir Edelweis.
Beberapa waktu lalu, Kaliandra meminta Edelweis untuk memberitahu padanya apabila tentang Edgar bila mendekati Edelweis lagi. Tentu saja Edelweis menyanggupinya.
Sebuah mobil berhenti di dekat sungai. Edgar menoleh, dan dia mengenali mobil itu.
"Kamu memanggil Kaliandra ke sini Del?" tanya Edgar setengah berteriak.
Edelweis mengehmbuskan napas keras. "Yang perlu kau cari bukanlah aku Pak Edgar, silahkan bicara dengan hati dengan Mbak Kal," kata Edelweis berjalan turun.
"Del," panggil Edgar. Suaranya dingin, mengancam.
Edelweis tak bergeming. Dia tetap berjalan lurus.
Kaliandra turun dari mobil. Dia sudah menduga hal ini akan terjadi, namun dia tidak percaya Edgar benar melakukannya. Dia ingat, Edgar pun kabur dari rumah beberapa haris ebelum berangkat ke inggris. Dan sekarang dia melakukannya lagi. Kaliandra heran, Edgar hanya bisa konsisten dengan pekerjaan, bukan kehidupannya.
"Mbak Kal, kau cenayang ya?" ejek Edelweis.
"Del, ketika kamu akan bertemu lagi dengan Indra, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Kaliandra.
Edelweis tersentak sedikit. Terlhat jelas dia berusaha menjaga ketenangannya. "Akan kupikirkan ketika terjadi," jawab Edelweis.
Kaliandra tersenyum dan memeluk Edelweis. "Aku selalu berdoa untuk kebahagianmu Del,"kata Kaliandra.
"Mbak Kal juga harus sabar menghadapi tingkah absurd Walikota," pesan Edelweis.
Kedua melepas pelukan dan saling tertawa.
Sedangkan Edgar diam menahan marah.
Edelweis pulang dinatar sopir Kaliandra. Sedangkan Kaliandra menemani Edgar di tepi sungai.
Edgar diam menatap sungai lebih intens. Dia mengabaikan keberadaan Kaliandra yang duduk di sebelahnya. Mereka berdua diam cukup lama. Suara orang bicara hanya dari warung kopi yang berada di dekat sungai juga.
"Kurang dua lagi, dan formasi kita lengkap," kata Kaliandra memecah sunyi di antara mereka.
Edgar mendengus. "Kenapa kau kemari Kal?"
"Kau tidak ingin aku di sini? Kau suruh aku pergi?" Kaliandra berdiri.
"Duduklah Kal," kata Edgar.
Kaliandra tersenyum.
"Kenapa kau kemari Kal?" ulang Edgar.
"Karena kau butuh aku," jawab Kaliandra.
Edgar menggaruk kepalanya. "Kau terlalu percaya diri," sindir Edgar.
"Kau selalu butuh aku, Edgar. kuanggap kau memang mencintaiku."
Edgar menoleh. "Kau bicara omong kosong soal cinta."
Kaliandra merapat ke Edgar. "Menikahlah denganku Edgar Madeva. Aku akan menjagamu dengan baik."
Edgat terdiam. "Kau mungkin akan menyesal Kal, aku tidak mau menyakitimu."
"Kau cukup bersamaku, dan tidak menduakanku. Aku akan bersikap baik denganmu," Kaliandra dengan manis.
Edgar tertawa. "Kal, kita teman sudah lama. Akan terasa aneh kita hidup bersama."
Kaliandra mengenggam tanagn Edgar. Edgar langsung membeku. "Apakah hal ini nyaman?" tanya Kalinadra.
"Tidak buruk," jawab Edgar.
"Kita mulai dengan genggaman tangan," kata Kaliandra.
Edgar berusaha melepas tangan Kaliandra, namun Kalindra mengenggamnya dengan erat.
"Jangan dilepas lagi Kal," kata Kaliandra.
Edgar menyerah. Jantungnya berdegup dengan kencang. Dia tidak pernah berpikir akan seperti ini hubungannya dengan Kaliandra. Tetapi pernikahan mereka di depan mata. Edgar ingin menghindari, tetapi entah sejak kapan dia merasa kosong ketika melihat rumahnya tanpa kehadiran Kaliandra di sana.
Ponselnya terasa sepi tanpa pesan konyol dari perempuan yang ada di sampingnya.
"Menikahlah denganku, Edgar Madeva," kata Kaliandra mengulangi pernyataanya.
"Aku ini walikota, bukannya melamar malah dilamar," shaut Edgar.
"Kau sudah mencurahkan banyak energi untuk memikirkan kotamu, biarkan aku menjagamu dan merawatmu. Aku bisa menjadi penopangmu, dan juga sekutumu ketika bertengkar dengan orangtuanmu. Tenang saja, aku sekutu yang kuat. Kau bisa mengandalkanku."
Edgar tertawa, sampai sudut matanya keluar air mata.
***
Edelweis di antar oleh sopir Kaliandra pulang ke kos, tetapi Edelweis minta putar ke rumah Galih. Entah kenapa dia merasa ingin ke sana.
Dia mengetuk pintu, dan Galih membuka dengan alis terangkat tinggi.
"Kupikir satpam komplek," sindir Galih.
Edelweis mengabaikan kakaknya. Dia masuk dan duduk di sofa. Galih kembali mengunci pintu rumah rumah.
"Dari mana kamu, jam segini baru pulang?" Tanya Galih mengambilkan air minum untuk Edelweis.
"Abis diculik orang tadi," kata Edelweis ringan.
"Hah? Kamu nggak apa-apa? Ada yang luka? Kita perlu lapor polisi?" Tanya Galih pura pura panik.
"Aktingmu jelek Mas," Edelweis mengejek.
Galih menyeringai. "Makanya aku jadi PNS, bukan aktor. Kenapa lagi?" tanya Galih.
"Mas Galih, dulu menikah karena cinta?" tanya Edelweis.
"Iya aku mencintai istriku. Tetapi lebih dari itu, aku yakin di apartner hidupku."
"Gombal," sahut Syifa dari ambang pintu kamar.
Galih meringis.
Syifa memandang Edelweis. "Kamu sudah makan Del?" tanya Syifa.
"Sudah Mbak, tadi sama walikota."
Syifa mengernyit. "Untuk apa bertemu dengan lelaki itu lagi?"
Galih kaget. "Wah istriku, ada apa dengamu. Memanggil walikota ganteng dengan sebutan lelaki itu?"
Syifa mengibaskan tangan. "Lelaki yang hobi main mata dengan banyak perempuan. Tidak layak untuk dikagumi."
"Berarti hanya boleh satu ya? atau empat?" goda Galih.
"Tidur di luar, kamu Yah," ancam Syifa.
Galih merangkul pundak istrinya. "Cintaku hanya padamu, istriku."
Edelweis yang melihat pemandangan suami istri itu merasa muak. "Seharusnya aku pulang ke kos tadi."
Galih dan Syifa tertawa.
Edelweis bangkit dari duduk dan menuju kamar Amrita. Membiarkan kemesraan pasangan itu tidak berakhir.
Baru saja Edelweis hendak tidur, sebuah pesan masuk.
Del, kamu sudah dengar belum? Oliver dari Banyumili mengalami kecelakaan.