Edelweis sudah sangat lelah, dia malas menengok ponsel. Jadi dia memilih tidur dan mengabaikan pesn tersebut. Baru keesokan paginya dia membaca pesan tersebut. Oliver kecelakaan. Pikiran Edelweis menuju hal yang terjadi kemarin. Dia berpikir apakah ada hubungannya dengan orang yang bertubuh besar kemarin. Apakah Oliver memang sudah diincar karena liputannya isu sensitif.
Edelweis merasa kepalanya pusing. Dia membalas pesan dari Awan tersebut.
Bagaimana keadaan Oliver?
Bukannya membalas, Awan malah menelpon Edelweis.
"Kamu di mana Del?" tanya Awan.
"Di rumah Mas Galih. Kenapa?
"Sebaiknya kamu libur dulu hari ini, eh beberapa hari. Tidak usah liputan lapangan. Liptan ringan aja lewat media sosial," kata Awan.
"Maksudnya gimana Pak?"
"Kamu dipindahkantugaskan ke bagian berita online Del," kata Awan. "Sementara."
"Lah kenapa lagi?"
"Sampai kondisi aman."
"Ada hubungannya dengan kecelakaannya Oliver?" tuntut Edelweis.
"Jangan berpikir aneh-aneh. Pokoknya kamu di sana saja, nggak usah pulang ke kosan."
Edelweis ingin membantah lagi, tetapi telepon telah ditutup.
Dia memaki dalam hati, sebab di sebelahnya ada Amrita. Ketika dia menengok, ternyata Amrita sudah berangkat sekolah.
"Anak perawan jam segini baru bangun," sindir Syifa. "Rejekinya dipatok ayam."
Edelweis tersenyum. "Masak apa Mbak? Aku lapar."
Syifa berdecak. "Kalau ikut mertua, bagaimana nasibmu nanti. Bangun tidur minta makan, bukan yang masak apalagi bersig-bersih," sindir Syifa.
"Nanti aku yang cuci piring Mbak, sekarang aku lapar," kata Edelweis menggoda Syifa.
Syifa geleng-geleng kepala. "Ada penyetan itu, sambal cemeding," kata Syifa.
Edelweis membuka selimut yang membungkus setengah badan, dan menuju dapur. Mengabaikan Syifa yang teriak menyuruhnya cuci muka dan mandi.
***
Kepala Edgar berdenyut. Kecelakaan Oliver mmebuat ponselnya tak berhenti berbunyi. Bahkan ada beberapa jurnalis yang menduga bahwa kecelakaan itu dibuat-buat oleh orang pabrik. Edgar mendapatkan tekanan yang besar di pagi hari.
Dia keluar kamar, ingin minum kopi. Ternyata Kaliandra di sana, sudah menyeduh kopi. Dia mengangkat cangkir kopinya. Edgar bisa mencium aroma kopi dari ambang pintu kamarnya.
"Aku melihat pencuri yang anggun di dalam rumahku. Bahkan dia sudah membuat kopi," kata Edgar.
"Pencuri itu juga membuatkan kopi untukmu," balas Kaliandra.
Edgar menahan sneyum saat menerima kopi tersebut.
"Pagi yang berat ya?" tanya Kaliandra. "Aku sudah baca beritanya. Apa rencanamu?"
Edgar menyesap kopi panasnya dengan perlahan. Menikmati bulir hitam itu merasuk ke mult dan bergerak ke kerongongan. Setiap isapan dia nikmati sedemikian rupa. Tidak peduli Kaliandra tengah mengintrogasinya.
"Hidup paling bahagia adalah bisa menyesap kopi enak,"puji Edgar.
"Tenang saja, mulai hari ini kau akan bisa menikmatinya."
Edgar melirik. "Kau akan tinggal di sini?"
"Tentu saja."
"Tidak boleh," bantah Edgar.
"Kenapa, toh pernikahan kita di depan mata. Lagipula kita tidur di kamar terpisah, kata Kaliandra.
"Akan timbul rumor," kata Edgar.
"Tumben kau peduli padaku, aku jadi terharu."
Edgar menatap Kaliandra. "Jangan drama pagi-pagi."
Kaliandra tertawa. "Apakah Edelweis akan baik-baik saja? Sepertinya dia dan Oliver ada sesuatu." Kaliandra sengaja menggantung kalimatnya. Dia memang suka menggoda Edgar.
"Entahlah. Anak buahku masih memeriksanya. Aku akan pergi pagi. Kau bagaimana sendirian di sini?" tanya Edgar. Daripada mengkahwatirkan Edelweis, ternyata Edgar lebih cemas Kaliandra sendirian di apartemen. Hal itu membuat Kaliandra tersenyum tanpa henti.
***
Edelweis mengangkat telepon dari Kaliandra.
"Del, bagaimana keadaanmu. Kamu baik-baik saja kan?"
"Baik Mbak, kenapa?"
"Kamu sedang menggali isu apa?"
Edelweis mendesah berat. "Aku dipindahtugaskan Mbak. Tahu tuh, pimredku. Dia menyuruhku membuat berita feature saja.
"Apa itu berita feature?"
"Berita ringan Mbak, seperti kebudayaan, hiburan, semacam itu," kata Edelweis.
"Kamu akan menulis apa?" tanya Kaliandra.
"Mungkin wisata, sepertinya menarik. Tetapi aku belum tahu akan menulis wisata mana."
"Bagaimana kalau wisata tepi sungai, seperti saat di kota sebelah?" kata Kaliandra memberikan saran.
"Menarik, tetapi aku butuh testomi yang nyata, Mbak Kal," kata Edelweis.
"Aku saja dan tentu walikota," kata Kaliandra terkekeh.
Edelweis menjetikkan jarinya. "Berita apapun tentang walikota selalu banyak pembaca. Calon suamimu itu ibarat magnet yang menarik banyak orang mbak,"kata Edelweis. "Mbak Kal akan sibuk mengusir serangga nanti."
Kaliandra tertawa terbahak-bahak. "Apakah kau termasuk serangga itu?"
"Ish, aku serangga yang hanya lewat, tidak berminat mengambil putik sarinya. Karena penjaganya galak," kata Edelweis tersenyum.
Kaliandra berusaha mengehentikan tawanya. "Kamu ada di mana Del, di kos?"
"Tidak Mbak, pimred menyuruhku tinggal di rumah kakak. Kenapa?"
Kaliandra menggerlingkan mata. "Ah, itu lebih aman," gumam Kaliandra.
"Apa Mbak? Tidak jelas suaranya tadi," kata Edelweis.
"Ahbukan apa-apa. Kamu boleh tanya aku tentang tempat faforit walikota."
"Baiklah. Aku akan kirimkan pertanyaannya nanti ya. Aku mau seluncur di moogle dulu," kata Edelweis. "Bye Mbak Kal."
Edelweis menutup teleponnya. Dia mencari wisata tepi sungai yang dilakukan oleh Kaliandra. Dia juga baru tahu bahwa walikota dulunya sering nongkrong di tepi sungai bersama dengan Indra dan juga Kaliandra. Edelweis lupa satu lagi teman mereka. Dia hanya ingat, lelaki itu bertubuh besar, tetapi tidak ingat namanya. Huh Edelweis kesal, karena dia hanya ingat tentang Indra.
Ponsel Edelweis berbunyi lagi. Matanya melotot ketika membaca nama yang tertera di sana. Oliver.
"Halo Mas, bagaimana keadaanmu?" tanya Edelweis menerima telepon.
"Aku baik, hanya patah jariku. Tetapi sudah selesai operasi. Kau baik-baik saja kan?" tanya Oliver.
Edelweis mengangguk. Mereka bicara sebentar, namun Oliver berkali-kali menanyakan apakah Edelweis baik-baiks aja. Sampai Edelweis bingung. Ada apa ini?
Setelah telepon ditutup, bukannya mengetik dan mencari informasi terkait wisata tepi sungai. Dia malah mengira-ngira apakah ada hubungannya dengan pabrik. Sebagai jurnalis, intuisinya mengatakan ada yang aneh dengan kejadian ini. Namun dia tak memiliki bukti. Edelweis sangat penasaran.
Dia hanya bisa mengetahui secuil informasi dari satu ornag. Orang itu pasti mau mengetahui sesuatu. Dengan jaringan informasi yang dia punya, sebagai jurnalis senior. Hanif. Tetapi Edelweis ragu, bagaimana kalau istrinya malah cemburu dan berpikir yang tidak-tidak tentangnya.
"Aduh, tetapi aku sangat penasaran," gumam Edelweis.
Dia mengetuk-ngetuk jari kakinya. Dan mengambil keputusan untuk tetap menelpon Hanif.
"Halo Mas Hanif, aku ingin tanya sesuatu. Hal ini berkaitan dengan kecelakaan Oliver," kata Edelweis langsung mencerocos begitu telepon diangkat.
"Sebentar ya Edelweis. Mas Hanif masih ada di kamar mandi," jawab istrinya.
Edelweis menepuk jidatnya. "Maaf menganggu Mbak."
Edelweis meletakkan ponsel dan mematikan teleponnya. Dia menjerit dan memaki kebodohannya. Kenapa dia tidak mendengarkan siapa yang menerima panggilan teleponnya. Kenapa dia begitu ceroboh.
Tetapi Edelweis menenangkan dirinya. Dengan begitu, istri Hanif tahu bahwa dia memang telepon karena ada alasannya. Bukan telepon basa basi.
Edelweis melanjutkan mecari informasi tentang wisata tepi sungai.