Tepi Sungai

1160 Kata
Mencari tempat wisata tidak harus selalu berbentuk bangunan bagus, dekorasi yang cantik, atau banyaknya permainan anak. Sebuah tempat sederhana yang seirng luput dari perhatian, bisa menjadi tempat wisata yang menarik. Contohnya adalah wisata tepi sungai Kalimas. Sungai ini adalah pecahan dari sungai brantas, termask sungai yang umurnya tua sekaligus yang paling besar di Surabaya. wisata tepi sungai ini bisa menjadi wisata yang menatrik bila dikembangkan dengan serius. Edelweis menatap puas laporan yang dibuatnya. Dia asyik melanjutkan laporan tersebut dan juga menunggu jawaban dari Kaliandra untuk testimoninya. Dia mengangkat pantatnya dan beranjak ke dapur. Baru memasuki dapur, hidungnya sudah mencium aroma ikan goreng.  "Masak apa Mbak?" tanya Edelweis. "Ikan nila goreng. Kamu sudah selesai kerjanya?" tanya Syifa.  "Belum Mbak, masih menunggu kabar dari narasumber. Aku bantuin Mbak," kata Edelweis, dia menggulung kaos lengan panjangnya.  "Tidak usah. Bagianmu cuci piring dan nyapu sana," tolak Syifa.  "Begitu? Baiklah. Di mana sapunya?" tanya Edelweis.  Syifa menunjukkan sebuah lemari. "Di belakang lemari itu." Edelweis berjalan menuju lemari, mengambil sapu dan mulai menyapu dari kamar ke ruang tamu. Dia menyapu smabil berdendang, yang kemudian berhenti karena diledekin oleh Syifa. Agar tidak bosan, dia menyalakan radio dengan volume agak keras. Sebuah chanel dengan musik dangdt koplo yang membuatnya semangat mengerjakan domestik. Sangat berbeda ketika dia sedang membuat laporan berita. Dia membutuhkan suasana yang hening, karena perlu konsentrasi penuh di sana.  Saat menyapu dia membayangkan wisata tepi sungai akan menjadi wisata favorit warga Surabaya. Terutama bila Pemkot akan menambahkan perahu dengan hiasan lampu. Selain itu, jembatan juga perl diperhatikan khusus. Sebab masyarakat akan suka wisata yang gratis dan bisa dibuat foto selfi.  "Tetapi wisata air pada malam hari, harus dipikirkan juga keamanannya," gumam Edelweis pada diri sendiri.  Dia akan menuliskan bagian keamanan nanti, setelah menapat jawaban dari Kaliandra. Dia memang sengaja meminta Kaliandra yang menanyakan pada Edgar. Dia tidak ingin masuk di tengah hubungan kedua orang tersebut. Meskipn sebagai jurnalis, dia boleh menanyakan langsung. Tetapi Edelweis berpikir akan lebih baik bila dia membatasi interaksi dengan Edgar.  Edelweis juga membayangkan dia akan menaiki perhau itu dengan orang itu. Mendengar dua remaja yang bercakap-cakap soal mimpi dan masa depan mereka. Edelweis tersenyum. Sepuluh tahun telah berlalu, namun dia masih bisa mendengar kenangan itu, seperti baru terjadi kemarin. Kadang dia khawatir, cemas dan ingin melupakan Indra. Namun hatinya selalu berkehendak lain.  Ting! Sebuah pesan masuk ke ponsel Edelweis.  Edelweis sedang membersihkan meja dan melihat pesan tersebut. Dari Kaliandra.  Del, semoga ini sema jawaban ini membantu. Semangat ya Edelweis! Edelweis tersenyum membaca pesan pembuka dari Kaliandra.  1.Bagaimana anda mengenal tempat wisata tepi sungai? Wisata tepi sungai ya, aku tidak pernah berpikir itu adalah sebuat tempat wisata. Saat itu kami masih remaja, aku dan tiga sahabatku, sebelum pindah keluar negeri. Kami sering naik motor usai menjalani kegiatan ekstra atau rapat Osis. Kami membutuhkan tempat tenang, dan sedikit menarik. Kami menemukan tempat itu tidak sengaja. Karena salah satu ban bocor motor teman, kami menuntun motor sampai menemukan kios tambal ban. Kami menemukannya di sekitar tanggul sungai Kali Mas. Sambil menunggu ban diperbaiki, kami duduk di tepi sungai Kalimas. Disitulah kami mengenal wisata duduk-duduk di tepi sungai, dan kemudian kami datang ke sana, nyaris setiap malam. Edelweis membaca paragraf itu berulang kali. Edgar jelas menulis kami, dengan anggota empat orang. Edelweis tahu, Indra termasuk di dalamnya. Ah, kapan dia bisa melupakan lelaki itu, apabila semesta selalu memeprtemukannya dengan cara tidak terdga. Dengan kenangan-kenangan kecil yang diberikan padanya. Dengan orang-orang di masa lalu yang ada di sekitarnya. Edelweis merasa semesta memang suka menggodanya. Edelweis meletakkan ponselnya dan melanjutkan menyapu. Namun angan-angannya berkeliaran. Dia membayangkan keempat remaja masih berseragam yang didoublei jaket. Keempat remaja itu naik motor keliling kota dan pergi ke kota sebelah. Duduk di tepi sungai, mereka menikmati suara angin dan deru air.  Edelweis tidak sabar menuliskannya. Dia cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan menyapu. Kemudian mencuci tangannya, dan mulai melanjutkan pekerjaannya membuat laporan berita feature, Wisata tepi sungai. Dia mencari beberaa referensi di internet, namun jarang yang menuliskannya. Sepertinya Edelweis membuthkan bantuan teman di radar lokal. Arsip mereka lebih lengkap.  Dia mengambil ponselnya dan menghubungi seorang teman di radar lokal. Mereka bersepakat akan bertemu di kantor radar lokal. Edelweis segera mandi dan bersiap menuju radar lokal. Syifa sudah selesai masak, dan membawa makanan ke meja makan, ketika melihat Edelweis sudah rapi. "Kamu mau ke mana Del?" tanya Syifa.  "Mau ke kantor radar lokal Mbak, aku ada perlu di sana." Edelweis merapikan rambut dan menguncirnya seperti buntut kuda.  "Makan dulu saja," kata Syifa.  "Baiklah, hmm, baunya harum. Pasti enak," puji Edelweis. Syifa terkikik. "Memangnya kapan masakanku tidak enak?"  Edelweis tertawa. Dia mencuci tangan dan duduk di meja makan. Menimkati dengan lahap makanan buatan Syifa. Dia bersyukur keluarga kakaknya tinggal satu kota dengannya. Sedangkan kedua orangtuanya tinggal berbeda kota.  Dia menatap Syifa dengan penuh rasa kagum. Istri kakaknya ini selain pintar memask, juga menyayanginya seperti adik sendiri. Galih memang pintar memilih pasangan, gumam Edelweis.  *** Edelweis sampai di kantor radar lokal. Dia masuk dan mencari temannya, Lina. Mereka menyuruh Edelweis masuk. Kantor radar lokal saat pagi memang sepi. Sebab para jurnali semuanya sedang ada di lapangan, mereka baru kembali ke kantor siang lepas dhuhur.  Lina memakai celana panjang biru, dengan blouse biru navy. Rambutnya digelung ke atas.  "Wah, ada resepsionis hotel di sini," kata Edelweis.  Lina mengibaskan tangannya. "Basi tahu!" Edelweis menyeringai.  "Kamu cari koran tahun dan bulan berapa?" tanya Lina. Edelweis mengangkat bahunya.  Lina membelalakan mata. "Kok nggak tahu? Terus bagaimana kita mencarinya?" Edelweis menggelengkan kepala dengan senyum konyol. Lina mendengus dan berbalik masuk ke dala kantor. "Kamu tunggu di sini," kata Lina. Edelweis duduk di salah satu kursi beranyaman bambu tersebut. Dia menunggu Lina beberapa waktu, kemudian LIna kembali dengan wajah cerah. Dia menemukannya, gumam Edelweis.  "Untunglah kamu," kata Lina.  "Yeah, aku selalu beruntung," balas Edelweis.  Lina duduk di kursi, di depannya terdapat komputer. Dia mengetik sebentar. Kemudian artikel yang diminta Edelweis muncul.  "Wah hebat ya," puji Edelweis.  "Semenjak ada komputer, semua pengarsipan lebih mudah. Namun belum seluruh data yang ada," kata Lina.  Edelweis duduk manis di samping Lina. Menunggu berita yang diminta. Seorang lelaki masuk ke ruangan sambil bersiul-siul. Edelweis mendongak, salah satu pimpinan di kantor radar lokal ini. "Selamat pagi Pak," kata Edelweis menyapa.  Lelaki itu menoleh, dan tersenyum. "Wah ada bunganya para jurnalis di sini. Langsung plong matak melihatmu Del," kata lelaki itu. Edelweis tersenyum kecut. Sedangkan Lina duduk tegak, tubhnya terasa kaku.  Lelaki itu berjalan di belakang dua perempuan itu, lalu mencolek pinggang Lina. Lina hanya diam. Edelweis melotot. Lelaki itu pergi begitu saja. "Apa maksudnya itu?" geram Edelweis marah.  "Biarkan saja, sudah biasa," kata Lina menenangkan.  "Tidak bisa Lin, itu pelecehan," bantah Edelweis.  Lina mencengkram tangan Edelweis dengan kuat. "Tolong Del, sudah ya." Edelweis menggeram marah. "Kalau kamu diperlakukan seperti itu dan hanya diam, dia pasti akan melunjak terus. Kamu harus lapor Lin," saran Edelweis. Dia tidak bisa membiarkan perlakuan semacam itu. "Sudahlah Del, sudah ya. Ini beritanya aku printkan ya," kata LIna.  Edelweis menggeram kesal karena Lina hanya diam.  Mereka berdua mendengar sebuah pekikan dari dalam ruangan.  "Tolong Pak, jangan begini!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN