Pelecehan

1145 Kata
Lina dan Edelweis saling berpandnangan. Edelweis berdiri dan akan masuk ke dalam ruangan begitu mendengar suara jeritan. Tetapi Lina mencengkram erat tangan Edelweis.  "Lin!" teriak Edelweis. Lina menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa. Dia hanya bercanda." Edelweis menatap Lina dengan mata marah. Dia tidak percaya temannya memyebtkan perilaku pelecehan itu disebut bercanda. Apa Lina diancam atau bagaimana? "Ini nggak bisa dibiarin," desis Edelweis. Dia melepaskan tangan Lina dan menerobos masuk delam ruangan kantor Radar Suara Lokal. Beberapa orang di sana ada yang tertarik dengan jeritan itu namun tak satupun berdiri membantu gadis itu. Edelweis berdiri dan menatap tajam pada lelaki itu. gadis itu meronta-ronta karena dipeluk dari belakang oleh lelaki itu. "Pak, lepasin dia!" kata Edelweis tajam dan suara lantang. Lelaki itu melepaskan pelukannya dna menoleh pada Edelweis. Bukannya merasa malu, dia malah tersenyum nakal. Matanya menatap Edelweis dari ujung sepatu sampai kepala. Edewleis meras risih.  "Saya bisa laporkan bapak sekarang juga!" ancam Edelweis.  Lelaki itu sedikit gelisih dengan gertakan Edelweis, namun dia masih bisa tersenyum. "Laporkan apa Del? Saya ini cuma bercanda. Biasa di kantor ini tuh," kata lelaki itu beralasan.  Edelweis menatap dengan jijik lelaki itu. "Kamu nggak apa-apa, kita bisa laporkan ini pada?" "Lopar lapor saja ini Mbak Edelweis, mentang-mentang simpanannya walikota," kata lelaki itu berjalan mendekati Edewleis. Edelweis melangkah mundur.  "Apa maksud anda soal simpanan?" tanya Edewleis marah. "Ah, memang tidak banyak yang tahu. Tetapi informanku tidak mungkin salah. Mbak Edelweis adalah simpanannya walikota. Padahal sebentar lagi walikota akan menikah," cecar lelaki berambut seperti jagung itu.  "Jaga mulut anda ya! Saya bisa menuntut anda," ancam Edelweis. "Halah, berapa sih gajimu? Kok main hukum segela. Sudahlah, anggap saja kejadian ini hanya bercanda. Maka akupun akan tutup mulut soal skandal walikota dengan jurnalis lokal," kata lelaki itu tidak tahu malu.  Edelweis sangat murka. Berani-beraninya orang ini memfitnah dia, dan walikota. Dia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Dia ingin mengumpati lelaki itu, namun tangannya telah ditarik oleh Lina keluar ruangan. "Bagus Lin, singkirkan dia dari kantorku. Aku akan membuat pengecualian supaya dia tidak bisa datang ke sini lagi."Lelaki itu berteriak dari dalam ruangan. Para pekerja semuanya hanya memandang tanpa berani berkomentar. Mereka saling lirik satu sama lain.  Gadis yang dipeluk oleh lelaki itu pun hanya diam menunduk.  "Kamu jangan berlebihan, saya kan hanya bercanda. Pakai teriak-teriak segala," kata lelaki itu kesal. "Kalian semua kembali bekerja. Kita dihadapakan deadline ketat," teriaknya. *** Sementara itu Lina terus menyeret Edelweis dengan sekuat tenaga. Dia tidak boleh menyeret Edelweis ke dalam masalah di kantornya.  "Lin, lepasin." Edelweis menarik tangannya, namun Lina tak menggubris. "Lina!" Teriak Edelweis. Lina baru melepaskan Edelweis ketika sampai di parkiran. Edelweis mengusap-usap tangannya yang memerah.  "Maaf Del, sebaiknya kamu pulang," saran Lina. "Tapi Lin, dia itu harus dihajar," kata Edelweis ketus. "Tolong Del, kamu tidak boleh berbuat masalah di sini," pinta Lina. "Masalah? Aku? Lin, buka matamu. Justru dia yang biang masalah. Dia itu predator, harusnya ditendang.." Lina memotong perkataan Edelweis. "Di sini bukan kantormu Del. Kamu tidak boleh bicara sembarangan. Lagipula, kami di sini menggantungkan diri karena butuh pekerjaan. Kami tahan banting," kata Lina. Edelweis geleng-geleng kepala. "Nggak Lin. Ini tuh salah." "Tolong Del..." mata Lina berkaca-kaca.  Edelweis menjambak rambutnya karena frustasi. Dia sangat marah, namun para korban malah bungkam. Edelweis tidak mungkin menyeret lelaki itu ke kantor polisi, kalau tidak ada saksi atau korban yang bicara. Bagaimana mungkin sebuah kantor media bisa terdapat manusia menjijikan seperti itu. Edelweis tidak ingin Lina atau para perempuan lainnya masuk ke kandang singa itu. Mereka tidak layak dilecehkan seperti itu.  "Tolong ya Del, jangan bikin keributan. Karirku bergantung di sini," kata Lina nyaris menangis. Dia sudah lelah namun tak berdaya. Apalagi posisi dia belum menikah, sering sekali jadi objek sasaran lelaki hidung belang itu.  "Kali ini saja Lin. Aku akan pastikan dia dihukum," kata Edelweis.  "Memangnya kita bisa apa Del? Dia pimpinan di sini, nasib kami semua ada di tangannya," keluh Lina putus asa. Suaranya serak karena menahan sesak.  "Aku.. aku pasti akan menemukan cara," kata Edewleis berjanji.  Edelweis berat meninggalkan Lina kembali masuk ke dalam kantor. Namun Lina benar, dia tidak bisa membuat masalah di kantor orang lain. Selain itu dia tidak memiliki sekutu di sini, para pekerja di sana tidak mau bersuara. Ah Edelweis mengumpat berulang kali dalam hati. Kebebesan pers, kebebasan berpendapat, kebebasan hidup nyaman, semuanya harus digadaikan karena uang dna kalah power.  "b******k!" Maki Edelweis.  Sebuah pesan menyadarkan Edelweis, dia memiliki tanggung jawab yang belum selesai. Pesan dari Awan, untk segera mengirimkan laporannya.  Edelweis menatap kembali pada gedung kantor media lokal tempat Lina bekerja. Dia berjanji pada dirinya, bahwa lelaki b******k itu harus diberi pelajaran setimpal.  Edelweis memacu motornya menuju rumah Galih. Namun dia memilih halan memutar melewatid depan kantornya. Padahal baru sehari, namun dia sudah rindu dengan kantor, dengan meja kerjanya, bertengkat dengan Hanif. Uh, apakah dia termasuk workaholic?  Edelweis menepis anggapan itu dan langsung kembali ke rumah Galih. Awan pasti akan marah dan menerornya bila dia tidak segera mengirimkan laporannya.  Edelweis baru mau menyalakan motornya, kemudian dia melihat Hanif keluar dari kantor. Panjang umur dia. "Mas Hanif!" panggil Edelweis masih duduk di atas motor dan melambaikan tangan ke arah Hanif.  Hanif mendengar dan berjalan cepat ke arah Edelweis. Senyum jahilnya mulai muncul. "Bukannya kamu di skors ya? Kok udah masuk?" goda Hanif. Edelweis merengut. "Siapa yang diskors? Ngadi-ngadi aja sih. Mas udah dengar kabar dari Oliver?" tanya Edelweis.  "Oliver, sudah. Kenapa?" tanya Hanif. "Aku curiga apakah kecelakaan yang menimpanya itu bener kecelakaan atau direncanakan?" kata Edelweis berspekulasi.  Hanif tertawa. "Mikirmu kejauhan. Tuh Oliver di dalam. Mau ketemu?"  "Oh ya? Ngapain dia di sini, dan bukan rumah sakit?"cecar Edelweis.  "Kutelepon ya!" Hanif merogoh ponsel di saku celana dan menelpon Oliver. "Bro, turun, ada bidadari mencari." Edelweis memonyongkan bibirnya karena dipanggil bidadari.  Hanif menutup telepon dan memandang Edelweis. "Bidadari turun dari motor," ejek Hanif.  Edelweis menggerakan tangannya ingin memukul Hanif. Tetapi hanya gertakan.  Hanif pun pura-pura mengaduh. "Aduh sakit!" "Nggak kena kali!" bantah Edelweis.  Keduanya tertawa, ketika Oliver menujukkan batang hidungnya.  "Kalian berdua ini seperti orang pacaran kalau dilihat dari jauh. Bersenda gurau di pinggir jalan," ledek Oliver. "Idih amit-amit!" Edelweis mengetuk -ketuk dahinya.  "Nggak lucu Liv," kata Hanif sedikit kesal.  Oliver mengangkat kedua tangannya. "Bercanda bro." "Oke, aku tinggal dulu ya. Aku mau ke polsek kota," kata Hanif berpamitan, dia menuju parkir dan mengendarai motornya menjauh dari kantor. "Hati-hati," teriak Edelweis.  Hanif hanya memberikan jempol.  "Kamu katanya liputan dari rumah Del, kok ke sini?" tanya Oliver.  "Motorku bergerak sendiri Mas," jawab Edelweis mengiba.  Oliver tertawa.  "Mas Oliver, aku mau tanya sesuatu." "Ya?" "Mas, kecelakaan kemarin bukan ulah orang pabrik kan?"  "Eh kok bisa begitu?" tanya Oliver.  "Ya karena sehari sebelumnya ada orang mencurigakan di festival layangan kemarin. Aku pikir ada hubungannya dengan kasus pencemaran pabrik itu." Oliver tersenyum. "Aku baik kok Del. Kamu nggak usah berpikir macam-macam." "Oh baguslah," kata Edelweis lega.  "Tapi sebaiknya kamu tetap tinggal bersama Galih ya, sampai kondisi benar-benar aman," kata Oliver. Edelweis mengangkat kedua alisnya. "Apa maksudnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN