Rencana

1003 Kata
Edelweis menanti jawaban yang membuat rasa penasarannya hilang. Oliver hanya berdiri di sana dengan tampang biasa saja. Edelweis tidak bisa menebak apa yang dipikirkan oleh lelaki itu.  "Apa maksud kata-kata tadi Mas Oliver?" ulang Edelweis.  "Ah, di sekitar kosmu lagi banyak kejadian," kata Oliver. Matanya tidak memandang Edelweis sama sekali.  Edelweis berasumsi bahwa Oliver sedang berbohong. Jadi dia akan terus menuntut Oliver. "Kejadian apa Mas?"  "Hmm, ada pencurian beberapa waktu lalu. Pencurian motor. Kamu hati-hati kalau parkir sepeda motor. Pastikan kunci kontak telah kamu kantongi sebelum meninggalkan motor." Edelweis mendengus tidak percaya. "Itu seperti alasan yang dibuat-buat." "Astaga. Kamu curigaan sekali. Memang cocok jadi jurnalis," kata Oliver.  Mereka berdua sedang asyik berbicara sampai tidak sadar bahwa ada seorang lelaki lain yang menghampiri mereka dengan ekspresi marah.  "Kenapa kamu ada di sini Edelweis?" geram lelaki yang bernama Awan, sekaligus pimpinan redaksi Edelweis.  Edelweis menoleh dan menampilkan senyum dipaksakan.  Oliver menyela, "Aku yang memanggilnya ke sini tadi. Aku menawarinya untuk bergabung dengan Banyumili," kata Oliver tiba-tiba. Edelweis menggerlingkan matanya. Kenapa orang ini membicarakan hal tersebut bahkan pada bosnya? Sungguh Edelweis tidak bisa menduga cara berpikir Oliver.  Awan membetulkan letak kacamatanya, namun usaha terlihat tenang gagal. Jadi dia melepas kacamata dan mengelapnya dengan ujung kemeja yang telah keluar. Awan memang jarang berpakaian rapi. "Kenapa seenaknya mau mengambil karyawanku?" geram Awan.  Oliver mengangkat bahu. "Katamu, aku boleh mengambil Edelweis." "Sebagai istri atau pacar. Bukan anggota Banyumili," kata Awan meluruskan.  Oliver tertawa. "Aku juga sudah melamarnya beberapa hari yang lalu, tetapi belum dijawab." Edelweis menatap dua lelaki itu bergantian. Bagaimana mereka bisa membicarkannya tepat ada di hadapan orang yang bersangkutan. Edelweis ingin segera pergi dari situasi canggung tersebut.  "Seenaknya mau menjadikan dua peran untuk Edelweis. Dia belum layak untuk gabung dengan Banyumili," kata Awan tajam. Edelweis semakin ingin menciut. Dia tahu dia belum kompeten, namun mendengarnya langsung dari atasannya membuatnya rasa percaya dirinya runtuh.  "Kau salah, aku melihat adanya potensi yang besar pada gadis ini," kata Oliver mengedipkan satu matanya pada Edelweis. Edelweis ingin berterima kasih, tetapi melihat kedipan mata itu, dia hanya bisa tersenyum kecut.  "Belum. Dia masih mentah. Masih harus banyak belajar mengendalikan diri," kata Awan.  Oliver terlihat ingin membela Edelweis lagi, namun Awan menyuruh Edelweis segera pulang. "Mana tugasmu?" tanya Awan pada Edelweis dengan dingin.  "Segera kukirim Pak, saya pamit dulu," kata Edelweis segera kabur dari sana.  Oliver ingin mencegah, tetapi Awan melototinya. Dia juga tidak tega melihat Edelweis dimarahi Awan karena tugasnya belum selesai.  "Aku tidak akan melepaskan Edelweis ke Banyumili. Di sana terlalu berbahaya untuk orang yang memiliki simpati besar seperti dia," kata Awan ketika Edelweis sudah jauh dari mereka.  Oliver tersenyum. "Kukira kau membencinya," kata Oliver. "Tidak ada yang membenci gadis manis seperti Edelweis. Hanya saja sifat naifnya seringkali membuatnya terlibat masalah." "Aku akan mengajari dan menjaganya," kata Oliver. "Dan buktinya kau juga celaka," balas Awan.  Oliver tertawa. "Kau menusuk kelemahanku." "Jangan libatkan dia," kata Awan tajam berlalu. Oliver hanya menyeringai saja. *** Edelweis segera mencopot sepat kets dan berlari kecil menuju ruang tengah, hingga dia tersandung kaki kursi ruang tamu.  "Aduh kakiku!" teriak Edelweis.  Syifa yang sedang menonton sinetron india melongokan kepala. "Kenapa Del?"  Edelweis berjalan sambil berlompatan satu kaki. Syifa memandangnya dengan heran dan menahan tawa.  "Sakit kakiku Mbak," rengek Edelweis. "Makanya jangan lari-lari. Kayak Amrita aja," olok syifa.  "Ini semua gara-gara Pak Awan." "Kok bisa?" "Dia memandangku dengan sorot mata tajam. Seperti ada laser yang menyorot padaku, serem." Edelweis bergidik. Syifa ragu. "Masa sih? Mata manusia ada lasernya?" Edelweis mendengus sebab Syifa malah tertawa. Dia duduk di dekat Syifa, menyalakan kembali laptopnya. Dan sekarang sibuk dengan berita wisata tepi sungainya. Dia juga baru membuka beberapa pesan dari Kaliandra. Semua jawaban Edgar ditulisnya di sana.  2. Apa kira-kira rencana yang akan anda bangun untuk wisata tepi sungai ini? Hmm, wisata tepi sungai bisa menjadi wisata desa. Dikelola oleh desa, sehingga pendapatannya bisa menunjang pembangunan di desa tersebut. Tentunya pembangunan sebuah wisata akan didampingi penuh oleh pemerintahan kota. Dalam bayangan saya, wisata tepi sungai ini alangkah indahnya bila ditambah dengan perahu. Jadi suasananya akan mirip dengan di Venesia. Kami akan membicarakannya lebih lanjut dengan stakeholder yang lain.  Jawaban khas walikotanya keluar, padahal Edelweis berharap Edgar akan menjawab sebagai seorang warga. dan bukannya bupati.  Ting! Pesan masuk lagi ke ponsel Edelweis. Dan itu dari Edgar langsung.  Aku ingin adanya sebuah kafe dengan musik live di tepi sungai. Ketua osis kami adalah seorang vokalis band. Kami pun dipaksa untuk membentuk band. Sayangnya band kami memang gagal, sebab Kaliandra pernah membanting gitar. Ketua osis kami, Indra, akhirnya lebih sibuk untuk mencari cara untuk mengganti gitar tersebut. Dia selalu memikul tanggung jawab lebih banyak dari tugasnya. Bahkan yang bukan bagian tugasnya pun, dia ambil karena dia suka. Kami bertiga selalu berpikir bahwa dia adalah ambisius.  Tetapi kami semua tahu, bahwa sifatnya untuk membantu orang lain lebih besar. Kudengar dia pernah kabur dari perkuliahan, entah apa sebabnya. Tidak ada yang tahu. Setelah itu dia menghilang, terakhir aku dengar dia akan menikah tahun depan. Tetapi itu hanya rumor, mungkin saja tidak akan terjadi.  Edelweis melempar pelan ponselnya. Kenapa Edgar membahas soal Indra dan rencana pernikahannya. Ah moodnya menghilang seketika. Dia bersadar di sofa, tubuhnya terasa lelah. Energinya yang meluap tadi sekarang telah tersedot entah kemana.  Ah Indra. Kalau kau tak bisa jadi milikku, enyahlah dariku. Syifa menoleh heran. Tadi Edelweis siap bertempur dengan laptopnya. Sekarang seperti tanaman layu kurang air.  "Kenapa lagi Del?" tanya Syifa. "Nggak mood." Syifa berdiri dan berjalan menuju dapur, dia mengambil jus buah nanas dan diberikan pada Edelweis. "Minum dulu, biar energinya balik." Edelweis menerinya dengan senang. "Mbak emang yang terbaik," puji Edelweis. Dia menengak jus itu dalam tiga tegukan dan menaruh gelas di meja. Kemudian dia bergelut kembali dengan laptop. Pesan dan wajah Awan yang marah kini menjadi cambuk agar dia segera menyelesaikan laporan wisata tepi sungai ini. Edelweis memang sengaja selalu sibuk, agar pikirannya tetap waras. Dan tidak selalu mengenang lelaki itu. Dia telah meninggalkan Jakarta. Tidak mungkin mereka akan bertemu lagi di kota ini, yang letaknya ratusan kilometer dari Jakarta. Tiba-tiba Edelwesi menemukan judul yang sangat bagus untuk artikel tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN