Edelweis tersenyum dengan senang. Kali ini dia berhasil menyelaikan laporan berita feature dengan baik. Edelweis memencet tombol kirim. Setelah laporan selesai terkirim, dia ingin meluruskan punggungnya. Bagaimanapun bekerja sering duduk tetap tidak sehat. Dia berdiri dan merenggangkan badannya.
"Sudah selesai Del?" tanya Syifa.
"Sudah. Mbak, aku lapar. Amrita belum pulang ya?" tanya Edelweis celingukan.
"Sudah pulang dari tadi. Sekarang lagi main. Kamu terlalu fokus di depan laptop, jadi tidak dengar Amrita pulang tadi," kata Syifa. Dia mengintip pekerjaan Edelweis. "Kalau sudah selesai, bantuin Mbak cuci piring ya."
"Kupikir bekerja di rumah itu lebih enak. Ternyata lebih banyak tugasnya," keluh Edelweis.
Syifa mencubit tangan Edelweis. "Cuma cuci piring saja. Sinetronnya sudah mulai ini lho."
"Oh ibu-ibu... cocok sekali. Tontonannya sinetron." Edelweis menghindari ketika akan dicubit lagi oleh Syifa. Dia pergi ke dapur sambil tertawa-tawa.
Edelweis mengerjakan cuci piring dengan riang. Dia gembira sebab yakin akan tulisannya ini bisa menjadi headline besok. Dia merapal judul yang dia buat tadi.
Menghidupkan Kenangan Masa Muda Walikota Edgar Madhava Pada Wisata Tepi Sungai
Edelweis berharap kembali ke berita bagian news, namun dia juga menyukai diminta untuk meliputan feature seperti ini. Tiba-tiba dia ingat dengan impiannya dulu. Keliling dunia. Edelweis ingin menertawakan mimpi konyol tersebut. Keliling Indonesia saja sudah mahal, apalagi keliling dunia. Di usianya yang nyaris kepala tiga ini, dia bahkan jarang menjelajah kota-kota di Jawa Timur. Dia hanya sibuk di kota Surabaya dari ujung ke ujung.
Edelweis selesai mencuci piring. Dia mengelap tangannya ketika matanya melihat secarik kertas di atas kulkas. Undangan gathering bagi pecinta kucing. Edelweis mendengus. Komunitas itu membuatnya merinding. Sebab mengingatkan dia pada seseorang di masa lalu.
Masa lalu yang menyebalkan.
"Del, ponselmu bunyi," kata Syifa.
Edelweis meremas kertas tersebut dan membuangnya ke tong sampah. "Siapa yang menelpon Mbak?" tanya Edelweis.
"Nggak tahu. Aku sibuk," jawab Syifa. Matanya tak lepas dari layar televisi.
Edelweis meringis melihat nama yang tertera. Nama bosnya. Awan.
"Ya Pak?" jawab Edelweis.
"Liputanmu lumayan, sepertinya kamu memang memiliki potensi," kata Awan.
Edelweis tersenyum lebar.
"Kamu punya potensi di bagian feature Del. Kamu lanjutkan meliput bagian feature saja ya," kata Awan menutup telepon.
Edelweis ingin membantah, tapi telepon telah ditutup. Uh, orang itu selalu bersikap seenaknya. Edelweis kesal, dia melampiaskan ke kakak iparnya. Edelweis mengambil remot di meja dan memindah chanel televisi kemudian kabur.
Syifa berteriak memanggil Edelweis.
Edelweis sudah kabur sambil terkikik geli. Dia pergi membeli siomay di depan kompleks berjalan kaki. Sudah lama dia tidak menikmati bagaimana tenangnya kompleks ini. Di sini memang banyak anak-anak kecil berlarian sebab tak memiliki lapangan atau tempat bermain. Mereka hanya bermain di dalam rumah, atau di pinggir jalan. Sebab jarang yang memiliki halaman luas juga. Semua halaman disulap menjadi garasi mobil.
"Sore Mbak Edel," kata seseibu yang menggendong seorang bayi. Dia juga membeli siomay.
"Sore juga Bu, umur berapa anak cantik ini?"
Edelweis juga suka orang-orang di sini. Semuanya ramah. Berbeda dengan kosnya. Dia tidak tahu siapa yang tinggal di kos sebelahnya. Karena dia pagi kerja pulang larut malam. Tetapi bekerja dari rumah ini membuatnya bisa bernapas.
***
"Loh Bapak pulang lagi ke apartemen? Tidak tidur di rumah dinas?" tanya sopir Edgar.
"Aku mau pulang saja, lebih nyaman di apartemen."
"Ehm, anu Pak. Beredar rumor tidak sedap tentang Bapak," kata sopir lirih sambil menyerahkan kunci mobil Edgar.
Edgar menoleh pada sopirnya. "Rumor apa?"
"Katanya ini katanya loh Pak. Bapak dan Mbak Edelweis ada hubungan gelap," jawab sopir itu ragu-ragu.
"Maksudnya apa?"
"Karena tinggal di apartemen, dan Mbak Edelweis kos. Katanya ada yang pernah lihat Bapak menjemput Mbak Edel di kosnya. Kemudian Mbak Edel tidak pulang sampai dua hari. Dan munculah rumor bahwa Pak Edgar tinggal bersama Mbak Edelweis di apartemen.."
Edgar menaikkan alisnya. Soal dia menjemput Edelweis itu benar. Dia mengumpat dalam hati karena kurang berhati-hati. Tetapi tinggal bersama Edelweis? Wah Kaliandra bisa membunuhnya.
"Itu hanya rumor tidak berdasar. Aku tidak pernah tinggal bersama wartawan itu," kata Edgar sinis. Da harus bersikap seperti itu sekarang, sebab nama Edelweis akan buruk karena ulahnya.
Edgar menyilangkan kedua tangannya. "Bila ada rumor buruk lainnya. Cari tahu siapa orangnya, dan bawa dia padaku," perintah Edgar.
"Iya Pak."
"Aku ingin orang itu secepatnya ditemukan," kata Edgar.
Sopir itu menunduk. Tangannya sedikit gemetar. Dia pasti bingung karena majikannya saat ini terlihat sangat marah. Entah hukuman apa yang akan diberikan, dia yakin pemecatan akan dijadikan pilihan terakhir. Sebagai sopir pribadi Edgar sejak lama, dia tahu majikannya jarang menggunakan cara kotor. Jarang, namun bukan berarti tidak pernah.
***
Edgar ingin menelpon Edelweis, namun dia urung lakukan. Dia malah membuka akun berita. Berita yang ditulis Edelweis sudah tayang. Dia membacanya dengan serius. Sambil tersenyum, dia mengarahkan mobilnya menuju sebuah tepi sungai yang tenang dan menghanyutkan.
Edgar menghentikan mobilnya di dekat kios tambal ban. Edgar memandang kios itu beberapa menit. Kenangan itu seperti sebuah film yang putar kembali.
Bagaimana empat remaja naik motor dan berkenala sampai di sini. Seingatnya, dia berboncengan dengan Kaliandra. Ya, Edgar ingat itu. Bagaimana Kaliandra memeluk pinggangnya, dengan kedua tangannya. Kenapa dia baru sadar sekarang.
Kaliandra seiring memperlakukannya berbeda dengan yang lain. Tetapi dia tidak pernah menyadari perasaan Kaliandra, karena menganggap hal tersebut biasa Kaliandra lakukan. Ah tapi saat itu dia memang bocah naif.
Edgar berjalan menuju tanggul, menaiki tangga tanggul. Pada deretan di atas tanggul tersebut, banyak sekali warung yang dibangun. Tentu saja sebagai walikota Edgar tahu, semua bangunan ini ilegal. Tetapi dia bukan datang ke sana untuk mengobrak mereka. Edgar hanya ingin menghidupkan kenangan lamanya.
Seperti yang Edelweis tulis.
Pada malam yang berangin dan gerimis, walikota Edgar bersama tiga temannya bermotoran ke kota tetangga. Mencari tempat yang lebih menarik untuk dikunjungi. Menghabiskan malam, dengan secangkir kopi dan jagung bakar di tepi sungai. Bersama dengan para sahabatnya, berbincang soal masa depan dan kebodohan.
Edgar tersenyum membaca setiap kalimat yang Edelweis tulis. Gadis itu memang sangat menarik. Mungkin Kaliandra benar, dirinya kagum dengan kebebasan dan keberanian Edelweis. Bukan seperti Edgar yang takluk pada setiap keinginan kedua orangtuanya.
Yang Edelweis tidak tahu, karena Kaliandra tidak menyebutkannya. Malam itu Edgar berencana masuk ke dalam sungai. Dia mendengar suara-suara dari dalam sungai, memanggilnya untuk menceburkan diri ke dalam sungai.
Indra memeganginya dengan kuat, bahkan meninjunya.
Edgar ingat, Kaliandra menjerit dan Yanuar syok tidak mampu bergerak. Hanya Indra yang meraih tangannya dan melemparkannya jauh dari mulut sungai.
Sampai sekarang dia tidak tahu apa alasannya. Kenapa dia melakukan itu?
"Mau pesan apa Mas?" tanya seorang pelayak warung kopi.
Edgar tersenyum duduk di depan meja. "Kopi hitam manis," jawab Edgar memandang sungai yang gelap.
"Kalau malam tidak kelihatan Mas, sungainya. Di sini ramainya sore sampai magrib. Banyak anak-anak yang suka melihat marahari terbenam di sini," kata pelayan itu tanpa ditanya. "Kalau menurut saya ya biasa saja. Wong setiap hari lihat."
Edgar tersenyum. "Memang yang setiap hari yang selalu ada di sekitar kita, maknanya tidak terasa. Baru terasa setelah hilang.
Pelayan itu tertawa. "Kalau matahari tidak mungkin hilang, mungkin saya yang tidak mampu melihatnya lagi."
Dia meletakkan secangkir kopi di meja. "Monggo kopinya."
Edgar tak pernah meminum kopi hitam. Dia terbiasa dengan teh tawar, aneka jenis teh selain melati. Kebiasaan ketika tinggal di Inggris.
Edgar membawa kopinya keluar warung. Dia duduk di belakang warung. Sebuah meja panjang, dan teralis. Menandakan di bawahnya sudah area sungai.
Beberapa orang muda sepertinya nampak asyik dengan ponsel mereka. Banyak yang main game di ponsel. Edgar ingat Indra, si maniak game ponsel. Indra bisa lupa waktu saat main ponsel, yang sialnya selalu mendapat nilai bagus meski tak belajar.
Entah dia pintar atau beruntung.
Ponselnya berdering. Edgar menjawabnya.
"Aku ada di tepi sungai kita dulu," kata Edgar menutup telepon.
Dia duduk menikmati angin yang menerpa wajahnya. Tepi sungai ini bisa saja dia sulap dengan gemerlap lampu dan sebuah taman yang indah. Bisa juga para warung ini digusur dan diganti dengan sebuah cafe besar.
Lantas, apakah begitu caranya menghidupkan kenangan?
Mengubah bentuk lama yang usang, menjadi yang lebih bagus dan dinilai mewah.
Lantas, di mana kenangan itu berada? Kenangan apa yang bsia dilihat sepuluh tahun mendatang?
Radio dinyalakan oleh pemilik warung kopi. Tentang lagu kenangan. Lagfu dari Kla Project Jogjakarta mengalun lembut.
Edgar memberanikan diri menyesap kopi yang dipesannya. Tidak buruk, sebab dia memesan yang manis.
Dia melihat jam di tangannya, menunjukkan pukul sebelas malam. Warung ini tidak sepi, masih banyak pemuda dan orangtua yang meramaikannya. Ada juga sekelompok bapak yang main kartu di sini.
Edgar berdiri dan membayar kopi. Dia ingin menikmati suasana ini lebih dekat dengan sungai. Jadi dia berjalan pelan menuruni anak tangga ke tepi sungai. Dia berdiri di sana, di tepi sungai. Namun dia memperikirakan aliran sungai masih jauh di sana.
Keriuhan yang jarang Edgar lihat. Tawa keras yang juga jarang dia dengar. Entah kenapa dia merasa tenang di sini. Seolah-olah jiwa mudanya masuk ke dalam tubuhnya dan merasakan hidup itu benar-benar menyenangkan.
Dia tidak melihat orang lain harus menunduk setiap melihatnya. Dan kemudian bicara hati-hati di depannya. Atau para pekerja perempuan yang diam-diam meilirik dan tersipu ketika Edgar menatap mereka.
Edgar merasa damai di sini. Tetapi dia tidak akan berada terlalu dekat dengan sungai. Dia tidak ingin kejadian tempo dulu terulang lagi.
Dai hanya cukup berdiri di sana, dan menikmati suasana ini. Menyimpannya lagi ke dalam memorinya.
"Edgar!"
Seorang perempuan mencengkram lengannya. Napasnya memburu. Wajahnya sedikitt pucat dan penuh keringat, bajunya juga.
"Kenapa kau lari-lari?" tanya Edgar.
"Kau.. kau tidak mendengar suara apapun lagi kan?" tanyanya.
Edgar menyadari, perempuan yang di depannya ini ketakutan. Takut dia akan masuk ke dalam sungai, dan hilang.
Edgar merengkuh perempuan itu ke pelukannya.