Rengkuh Aku

1548 Kata
Kaliandra tersenyum membaca hasil liputan dari Edelweis di apartemen Edgar. Dia memang berencana tinggal di sana, sampai hari pernikahan. Entah kenapa dia merasa tidak bisa meninggalkan Edgar dalam situasi seperti sekarang. Edgar dalam kondisi tertekan. Terutama pernikahan dengannya. Meskipun dia sudah berhasil meyakinkan Edgar untuk menikah, Kaliandra tidak yakin Edgar akan aman sepenuhnya. Pada kondisi tertentu, Edgar bisa bertindak nekat. Dan Kaliandra tak ingin hal itu terjadi.  Sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Senyum Kaliandra makin melebar membaca nama di sana. Edgar Madhava.  "Aku ada di tepi sunga kita dulu," kata Edgar menutup telepon.  Deg! Kaliandra merasa jantungnya berhenti berdetak satu detik. Napasnya langsung terasa berat. Dia ingat kejadian itu. Kejadian yang nyaris membuat Edgar tewas. Tanpa banyak berpikir, Kaliandra mengikat rambutnya dengan asal, menyambar tas tangan dan ponsel di kasur kemudian berlari keluar apartemen. Dalam perjalanan turun di lift, Kaliandra menelpon sopirnya untuk bersiap.  Begitu keluar lift, sopir dan mobilnya sudah siap.  Kaliandra menyebutkan nama tepi sungai tersebut di kota sebelah.  "Ngebut Pak, lewat tol atau lewat bawah. Terserah. Pokoknya ngebut." Suara Kaliandra terdengar sangat panik.  "Baik Bu," jawab sopir. Dia memutuskan tetap lewat tol, akan lebih cepat.  Dalam perjalanannya Kaliandra sangat khawatir. Tak henti-hentinya dia menelpon Edgar, namun tidak tersambung. Sepertinya ponsel Edgar mati atau dalam mode pesawat. Kebiasaan buruk Edgar memang begitu. Ketika dia ingin sendirian dan tidak mau diganggu, maka dia pasti tidak mau ponselnya berdering.  Tidak peduli sepenting apapun itu.  Kaliandra menatap cemas pemandangan di jendela. Dia berusaha berpikir positif, bahwa Edgar baik-baik saja. Kejadian buruk dulu tidak akan terulang lagi. Lagipula di sana, jam segini pasti masih ramai. Terakhir kali Kaliandra ke sana, banyak warung yang dibangun dan juga pemuda yang ngopi.  Tidak akan terjadi apapun pada Edgar. Dia lelaki dewasa sekarang. Bisa membedakan halusinasi atau bukan. Edgar sudah sering mengalami tekanan politik, sekarang dia pasti lebih bisa mengendalikan dirinya.  Semua akan baik-baik saja, Kaliandra.  *** Perjalanan yang biasanya ditempuh dalam waktu tiga jam, bisa dipotong satu jam. Kaliandra segera membuka pintu mobil dan berlari menyebrang jalan. Dia tidak peduli dengan sepatunya membentur aspal dengan keras, karena Kalianda setengah berlari. Dia perlahan menaiki tangga, menuju warung. Kehadiran wanita cantik di sana, membuat beberapa pemuda memandang ke arah Kaliandra. Malam begini, dia mencari siapa? Kaliandra tengak tengok, mencari sosok Edgar. Dia tidak menemukannya.  "Mbak, cari siapa?" tanya seorang penjaga warung kopi.  "Iya, saya mencari tunangan saya. Ah, sebentar," Kaliandra menunjukkan foto Edgar di ponselnya. "Ini orangnya, wajahnya ganteng, tubuhnya tegap pak. Bapak lihat ndak?" tanya Kaliandra terbata-bata. "Oh Mas yang tadi, sepertinya dia turun ke bawah Mbak, coba cari. Biasanya ada orang-orang yang suka duduk di pinggir sungai," jawab penjaga itu. Kaliandra mengucapkan terima kasih dan melesat ke bawah. Dia menyalakan senter ponselnya untuk menerangi jalan, sebab ada undakan di bawah.  Dan Kaliandra melihatnya, melihat Edgar sedang berdiri di depan sungai.  Kaliandra berlari secepat dia bisa, dan menyambar tangan Edgar. "Edgar!" teriak Kaliandra. Edgar membalikkan badan, dan memeluk Kaliandra.  Kaliandra menenggelamkan kepalanya di d**a bidang Edgar. Tubuh Kaliandra gemetar dan dia pun menangis di pelukan Edgar. Edgar membiarkannya. Edgar tahu, Kaliandra pasti merasa ketakutan. Kalau dia akan bertindak tanpa pikir panjang lagi. Namun tentunya situasi sekarang berbeda. Dia ingin Kaliandra melupakan masa lalu buruk itu. "Kenapa dulu kau tak pernah bilang? Kalau kau menyukaiku Kaliandra?" tanya Edgar berbisik. Kaliandra memeluk Edgar dengan erat. "Sebab kau tak pernah memandangku sebagai sosok perempuan." "Sekarang aku yakin, kau adalahperempuan," bisik Edgar. "Tubuhmu mungil, dan aku juga bisa merasakan sesuatu menekan perutku," kata Edgar jahil.  Kaliandra melepaskan pelukannya dan mencubit perut Edgar dengan keras. "Dasar m***m," maki Kaliandra.  Edgar tertawa. "Kal, terima kasih ya untuk selalu berada di sisiku," kata Edgar. Kaliandra memandang Edgar dengan tatapan aneh. "Kamu kesurupan Gar?" Edgar mendengus. Kaliandra memang bukan perempuan yang suka diberikan gombalan. Dia berbalik berjalan pergi.  Kaliandra menyusul dan merangkul lengan Edgar.  "Kita satu tahap lebih maju," kata Kaliandra mantap.  "Maju mundur kena," sahut Edgar yang kemudian mengaduh karena dicubit Kaliandra lagi.  *** "Sudah ketemu Mbak, tunangannya?" tanya penjaga warung kopi. Edgar dan Kaliandra memutuskan untuk duduk di warung saja, daripada duduk di tepi sungai. Sebab banyak nyamuk. "Iya Pak, ini tak kasih tali biar nggak kabur lagi," kata Kaliandra.  Penjaga warung itu tertawa. "Wajahnya Mas ini kok tidak asing. Artis ya?"  Kaliandra menahan senyum. Edgar meringis. "Iya Pak, artis tidak laku sayangnya," jawab Edgar. "Jadi selebgram saja Mas, pasti laku," saran penjaga warung. Edgar dan Kaliandra saling berpandangan. Kemudian tertawa kecil. Mereka duduk di belakang warung dengan meja panjang.  Mereka duduk bersebelahan. Di hadapan mereka meja, dan pagar besi. Mereka saling diam. Namun lengan Kaliandra masih terpaut di lengan Edgar. Edgar sebenarnya malu, sebab beberapa orang yang mereka lewati melirik dengan tatapan ingin tertawa juga ingin tahu. Edgar bertaruh mereka pasti berpikir, dia dan Kaliandra adalah pasangan yang habis bertengkar kemudian berbaikan. Ah, semoga tidak ada yang mengenalinya sebagai seorang walikota Surabaya.  "Gar, setelah jabatan walikota selesai, kamu nggak ada niat jadi artis kan?" tanya Kaliandra. "Memangnya kenapa?" "Kamu nggak bisa akting maupun nyanyi. Jadi sebaiknya nggak usah, cari pekerjaan lain," kata Kaliandra.  Edgar tertawa terbahak-bahak. "Aku masih bisa main gitar," sahut Edgar. Kaliandra geleng-geleng. "Permainan gitarmu jelek. Sumbang semua." Edgar melepaskan tangannya dari rangkulan Kaliandra. Dia menutup wajahnya. Tawanya keluar tanpa bisa ditahan.  "Sejak kamu pindah keluar negeri. Bukannya pertukaran pelajar, malah pindah. Indra mati-matian mempertahankan band kita. Untungnya ada Edelweis, suaranya merdu. Jadi aku yang menggantikanmu main gitar," Kaliandra bercerita.  Edgar menyimak. "Bagaimana kalian semua bisa kenal dengan Edelweis?" "Kau tidak ingat?" tanya Kaliandra "Sama sekali." "Dia adalah anak yang dibully saat ulangtahun dulu, kau kan yang mengantarkannya pulang," kata Kaliandra menjelaskan.  "Apa? Anak berwajah suram itu?' Edgar kaget. "Wajah suram apa, dia itu sudha cantik dari dulu," bantah Kaliandra. "Dia cantik, dan sekarang lebih cantik. Aku kalah cantik ya?" goda Kaliandra. "Cantik atau tidak bukan itu maslaah utamanya. Ketika memutuskan untuk menikah, pilihlah yang cocok dengan hati," bantah Edgar. "Begitu ya, berarti hatimu cocok denganku. Dan bukan Edelweis." Wajah Edgar memerah. Dia terlihat mencari alasan. "Bukan itu saja. Aku mencari sekutu yang kuat. Edelweis pasti habis dibantai orangtuaku," kata Edgar tergagap.  "Hmmm begitu. Tetapi aku akan menambahkan kriteria untuk memilih pasangan," kata Kaliandra. "Apa itu?" "Lelaki itu harus baik perilakunya," kata Kaliandra.  "Aku setuju. Tidka boleh terjaid kdrt." "Dan juga baik dompetnya," lanjut Kaliandra menyeringai. "Untunglah aku! Gajiku akan cukup untuk makan tiga kali sehari buat dua orang," jawab Edgar.  Kaliandra terkekeh. Dia menepuk pelan punggung Edgar. Edgar pun tertawa. Mereka habiskan malam itu sambil bercanda dan mengenang masa lalu.  Kaliandra banyak menceritakan masa SMAnya dengan Edelwies.  "Jadi Edelweis dan Indra sempat berpacaran?" tanya Edgar. "Tidak hanya pacaran cinta monyet. Indra bahkan melamar Edelweis." Edgar terlihat kaget. "Anak gila itu!" Kaliandra setuju. Indra memang gila. Namun kenapa orang gila tidak bisa menemukan Edelweis. Mana dia duluan yang bertemu Edelweis karena Edgar.  "Kau belum memberitahu Indra, tentang Edelweis?" tanya Edgar. "Edelweis belum siap. Lagipula aku ingin tahu kelanjutan hubungan Indra dengan pacarnya. Apakah mereka akan melanjutkan ke jenjang pernikahan atau tidak." "Lagipula kenapa Edelweis tidak menghubungi Indra lebih dulu," tanya Edgar kesal.  "Dia pasti punya alasan sendiri." Edgar menatap pemandangan malam di depannya. Sesekali melirik perempuan yang duduk di sebelahnya. Perempuan itu jelas tidak memakai make up. Mungkin dia terburu-buru menyusulnya. Perempuan itu kini sibuk dengan ponselnya. Sepertinya dia sedang asyik berkirim pesan dengan Edelweis.  Edgar tidak tahu sejauh apa Kaliandra dekat dengan Edelweis. Tetapi hanya dengan Edelweis, Kaliandra bisa bersikap lepas. Besok hari, Edgar pasti mendapatkan banyak pesan di ponselnya. Selain urusan pabrik yang belm beres, ada hal lain yang menganggu pikirannya. Rumor tentang dia dan Edelweis. Apakah Kaliandra sudah mendengarnya? Edgar ingin tahu.  "Kal, ada rumor yang mengatakan Edelweis adalah pacar simpananku," kata Edgar hati-hati. "Bagaimana menurutmu?" "Hmm, aku tidak percaya," jawab Kaliandra tanpa berpikir. Edgar merasa lega. "Aku lebih percaya, seorang walikota mengejar-ngejar jurnalis perempuan, karena jurnalis itu cantik dan bebas." Senyum Edgar lenyap. Kaliandra meletakkan ponselnya. "Gar, aku hanya ingin punya satu anak. Apakah kau punya hutang? Keuangan dipegang siapa? Urusan rumah biar dikerjakan asisten, termasuk masak. Aku akan memasak kalau aku ingin," kata Kaliandra panjang. Edgar butuh beberapa detik untuk mencerna semua perkataan Kaliandra.  "Percakapan apa ini?" tanya Edgar. "Percakapan penting. Persiapan sebelum menikah," jawab Kaliandra.  "Biasanya persiapan pernikahan adalah membahas gedung, gaun, bujet, mas kawin. Kok ini malah urusan setelah menikah?" tanya Edgar. Kaliandra tersenyum, kepalanya miring. "Karena memang itu hal yang penting. Soal gedung, gaun dan lainnya bisa diserahkan pada vendor. Tetapi kehidupan setelah menikah, mana bisa diwakilkan orang lain. Selain itu aku juga ingin tahu kesiapanmu menikah. Jangan setelah menikah kau hanya perlu asisten yang mengurus semua keperluanmu, dan mengabaikan hak-hakku sebagai istri." Edgar kini menyimak Kaliandra dengan serius. "Aku ingin punya dua anak, laki-laki dan perempuan. Dan aku lelaki yang tidak punya hutang. Aku juga bisa membantu pekerjaan rumah tangga, tetapi aku tidak suka mencuci baju." "Pantas laundrymu segunung," kata Kaliandra.  "Aku masih merasa geli membicarakan kehidupan setelah menikah. Bisa kita akhiri sampai sini saja?" keluh Edgar. Kaliandra menyeringai. "Untuk hari ini cukup. Besok ada lagi." "Astaga," keluh Edgar. Mereka saling tertawa. Edgar merasa tidak sabar untuk menjalani peran sebagai suami dan juga ayah. Dia membayangkan ada gadis mungil yang akan bermanja-manja padanya, memanggilnya ayah.  Ting! Sebuah pesan masuk ke ponsel Kaliandra.  Kal, aku akan ada di Surabaya besok pukul 16.00. Bisa aku ketemu denganmu dan juga Edgar? Edgar dan Kaliandra saling berpandangan membaca pesan dari Indra Wibisana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN