Bertemu

1616 Kata
Kal, aku akan ada di Surabaya besok pukul 16.00. Bisa aku ketemu denganmu dan juga Edgar? Pesan itu membuat Kaliandra bingung. Apakah dia akan memberitahu Edelweis apa tidak. Edgar menyerahkan semua keputusan pada Kaliandra. Sebab dia merasa tidak ingin ikut campur pada hubungan Indra dan Edelweis.  Kaliandra memutuskan tidak akan mempertemukan mereka.  "Kenapa?" tanya Edgar. "Kupikir kau akan langsung mempertemukan mereka tanpa banyak pikir." "Tidak tahu. Aku tidak yakin itu keputusan yang baik." "Apa yang menurut kita baik, belum tentu orang lain merasa demikian. Berikanlah mereka kesempatan bertemu. Mereka pasti bisa bersikap bijak," kata Edgar. "Katanya terserah aku, kenapa malah ikut campur?" sindir Kaliandra. Dia membuka pintu kamar. "Besok aku akan pulang ke rumah." "Eh kenapa?"  Kaliandra menengok ke belakang. "Karena kondisimu sudah lebih baik, sudah bisa bersikap bijak." Kaliandra menutup pintu kamarnya. Edgar masih tercengang, sebab Kaliandra meniru kata-katanya tadi Kemudian dia tertawa kecil dan melangkah masuk ke kamarnya sendiri.  Dia pasti akan kesepian. Setelah ditempel beberapa hari, kemudian Kaliandra akan pergi. Edgar baru kali ini merasakan sensasi rindu. Dia harus bersabar, mereka akan bersama sebentar lagi.  *** Kaliandra sudah lebih duduk di restoran cepat saji, Edgar tidak bisa datang karena pekerjaan yang dia tinggalkan kemarin malam. Dia dilarang bolos lagi oleh asisten pribadinya.  "Ternyata jadi walikota pun tidak bisa bertindak seenaknya sendiri," gumam Kaliandra.  Dia menunggu selama tiga puluh menit, namun Indra belum muncul. Kaliandra sampai heran. Indra yang dia kenal bukanlah orang yang suka terlambat. Kaliandra memutuskan menelpon Indra. Bisa menjadi jamur dia kalau di sana terus menerus.  Sayangnya telepon tidak diangkat. Kaliandra mengulanginya lagi, namun hasilnya sama. Tidak ada jawaban. Kaliandra kesal dan memutuskan pulang ke rumah.  Lewat telepon, Kaliandra mengomel panjang lebar pada Edgar. Edgar sampai harus menjauhkan telepon dan memeriksa beberapa pekerjaan lewat laptop. Dia menyabarkan dirinya sendiri. Seorang perempuan memang butuh banyak bicara untuk melegakan hatinya. Artinya dia harus siap diomeli kapanpun dan berapa lamapun. Tanpa menyela atau memarahainya balik.  Keesokan paginya, ada pesan dari Indra. Dia meminta maaf. Kal, aku minta maaf tidak datang kemarin. Ada urusan mendesak tiba-tiba. Aku akan mengusahakan datang pada saat pernikahanmu dengan Edgar. Aku senang kedua sahabatku akan menikah. Selamat bahagia. Kaliandra kini sedang bersama Edelweis. Menatap Edelweis lama, dan masih ragu untuk memberi tahu jurnalis itu tentang Indra.  "Apa yang Mbak pikirkan?" tanya Edelweis, sebab sejak datang sampai mereka selesai makan, Kaliandra hanya menatapnya dengan tatapan kosong. Seolah pikiran dan jiwanya tidak ada di sana.  "Hmm, aku memikirkan pernikahanku yang tinggal beberapa jam lagi," jawab Kaliandra.  "Apakah Mbak menyesal akan menikahi walikota?" tanya Edelweis hati-hati. Kaliandra tertawa kecil. "Tidak. Itu adalah salah satu impianku. Dan ketika mau terwujud, mana mungkin aku menyesal." "Kadang apa yang kita impikan, ternyata kenyataan tidak seindah bayangan kita." "Hmmm..." "Indah karena kita belum memilikinya, saat sudah di posisi tersebut, kita merasa muak dan lelah." Kaliandra mengaduk aduk sedotan dalam gelas jus jeruknya. "Manusia memang tidak pernah puas dengan apa yang dicapainya kan? Selal ingin lebih dan lebih." Edelweis menghela napas. "Iya, dulu aku ingin keliling dunia, mengunjungi satu kota ke kota di Eropa. Nyatanya sampai sekarang, aku masih belum bsia keluar Indonesia." Dia menatap pada Kaliandra. "Mungkin kebahagianku memang di sini." Kaliandra selalu kagum bagaimana Edelweis menatap hidupnya. Dia selalu bisa berpikir positif. Apakah sudah waktunya dia memberi tahu tentang Indra? "Del, kau harus datang di pesta pernikahanku," kata Kaliandra tegas seperti perintah. "Tentu, aku pun meliput acara sakralmu," kata Edelweis. "Hah?" "Mbak belum tahu? Kantorku dapat penanyangan eksklusif pernikahan walikota." Kaliandra tercengang. "Tapi kami bukan selebritis," suaranya menunjukkan dia tidak suka dengan wacanca tersebut.  Edelweis tertawa renyah. "Aku bercanda Mbak. Walikota menolak publikasi apapun." Kaliandra bernapas lega.  *** Edelweis kembali ke kantornya untuk mengambil undangan pernikahan. Undangan untuknya memang dikirimkan ke kantor bersama dengan yang lain.  Awan keluar dari ruangannya untuk mengambil sesuactu, namun perhatiannya teralihkan ketika melihat Edelweis di sana. "Del, ikut ke ruanganku," kata Awan masuk ke ruangannya. Edelweis mengangkat alisnya. Kemudian membuntuti Awan.  "Ada apa Pak?" tanya Edelweis.  "Duduk saja dulu, ada yang ingin kutanyakan," kata Awan serius.  Edelweis pun duduk, kedua tangannya di atas paha. Dia seperti orang yang akan melakukan wawancara pekerjaan. Sangat kaku. Sebab Edelweis tahu, Awan bukan orang yang suka memanggil bawahannya ke dalam ruangan tanpa alasan. Pasti ada hal serius yang ingin Awan bicarakan.  "Apakah kamu akan bergabung dengan Banyumili? Tanya Awan.  Ah. Soal Banyumili rupanya. Edelweis memahami kekhawatiran Awan.  "Saya belum mempertimbangkan sebab merasa pengalaman masih kurang," jawab Edelweis berusaha diplomatis.  Awan mengangguk angguk. "Aku tidak akan menahanmu untuk mencari perusahaan yang lebih bagus. Hanya saja, terkait Banyumili kamu harus memikirkan ulang. Dan jangan lupa bilang sama Galih. Aku bertanggung jawab atasmu pada Galih." "Saya mengerti. Namun apakah boleh tahu alasannya kenapa Bapak sangat melarang saya ikut dengan Banyumili?"  Tanya Edelweis.  "Terlalu berbahaya. Banyumili melakukan banyak peliputan terhadap isu isu sensitif. Wartawannya harus kuat mental seperti baja, dan juga harus siap apapun yang terjadi. Kamu masih belum siap Edelweis."  "Apakah kecelakaan terhadap Oliver juga risiko yang harus ditanggung?" Edelweis masih saja curiga soal kecelakaan itu.  "Itu hanya ancaman kecil, Oliver belum berhasil menyentuh mereka. Karena itu aku ingin kamu tidak terlibat apapun dengan Oliver dalam menggali informasi tentang pabrik. Sangat berbahaya Edel. Bukan buatmu saja, tetapi juga keberlangsungan perusahaan ini. Yang artinya tempat kita semua mencari makan ini."  Edelweis terdiam. Dia tidak menyangka Awan akan mengatakan semua hal itu padanya. Padahal dia sudah berniat akan menolaknya. Huh!  "Pikirkan lagi baik-baik. Dan perhatikan langkah mu dalam bertindak."  Edelweis mengangguk dan berjalan lesu keluar ruangan Awan.  "Kenapa Ben? Dimarahi sama Awan?" Tanya Hanif yang berdiri di depannya.  Edelweis menatap senior itu dengan sebal. "Bab beb bab beb gundulmu," umpatnya.  Hanif mengangkat bahu dengan geli.  Edelweis memutuskan pulang ke rumah. Dia masih belum diizinkan ke kantor. Dia ke kantor hanya untuk mengambil.undnagan saja. Pada pernikahan pejabat publik, akan diperiksa satu persatu tamu undangan yang hadir, dengan kartu undangan. Tidak membawa berarti tidak boleh masuk.  *** Beberapa hari kemudian hari pernikahan Edgar Madhava dengan Kaliandra digelar meriah di hotel SharkCro. sebuah hotel bintang lima paling terkenal di Surabaya. Mereka lebih memilih di hotel dibandingkan menggunakan pendopo Pemerintahan Kota, sebab Edgar tak suka memanfaatkan jabatan untk kepentingan pribadi. Selain itu mereka juga bisa membatasi tamu undangan.  Edelweis pun janjian datang dengan Hanif dan Awan. Dia tidak ingin berada di pesta tersebut sendirian. Akan lebih banyak tekanan daripada hiburan.  Hanif datang lebih dulu. Dia datang sendirian tanpa istrinya. Hanif mengenakan celana kain berwarna hitan dan kemeja putih. Nampak seperti pegawai magang. Edelweis menghampirinya.  "Mana Pak Awan?" Tanya Edelweis.  "Sepertinya masih di kantor. Kita masuk duluan saja Del," kata Hanif. Edelweis setuju.  Mereka berdua masuk ke dalam ruang Pesta Hotel SharkCro. Ruangan itu dialasi dengan karpet merah. Dengan tempat duduk yang diatur tapi dan dibalut kain putih. Sedangkan dekorasi tempat pengantin duduk, didesign dengan tempat raja dan ratu duduk. Di samping kanan kirinya tempat kedua orangtuanya mempelai.  Di bagian kiri ruangan sudah disediakan prasmanan dengan menu mewah, sedangkan di dalam ada live musik. Edelweis merasa sangat terharu melihat Kaliandra dengan balutan Jawa dan riasan para. Edelweis melangkah menuju panggung dengan jantung berdegup kencang. Padahal bukan dia yang menikah, tetapi rasa gugup dirasakannya juga.  Edelweis berjalan lebih dulu, di belakangnya Hanif. Mereka mengalami kedua mempelai. Kaliandra bahkan memeluk Edelweis lama.  "Jangan menangis, nanti riasannya luntur," pesan Edelweis.  Kaliandra mengangguk. Dia menyeka sudut matanya dengan tisu. Edgar berdiri tegak. Dia mengalami Edelweis dengan kaku. Bagaimanapun dia pernah naksir Edelweis. Meski ditolak.  "Tolong jaga Mbak Kal, Pak Edgar," pesan Edelweis.  Edgar hanya mengangguk dan tersenyum.  Edelweis dan Hanif bergantian selaman dengan orang lain. Baru menyerbu tempat prasmanan. Hanif bahkan sudah memenuhi piringnya dengan semua lauk yang ada. Edelweis melihatnya sampai heran.  "Nggak sekalian mbungkus, Mas? Sindir Edelweis.  "Kamu bawa kresek?" tanya Hanif tanpa malu. Edelweis mendengus. Susah menang berurusan dengan orang bebal. Edelweis memegang gelas berisi es jeruk. Dia menunggu Hanif selesai makan. Edelweis beranjak untuk menemui beberapa kenalannya. Namun ketika dia mengenali sosok lelaki itu, Edelweis merinding.  Kenapa orang itu ada di sini? Apa dia juga kenalan Kaliandra atau Edgar? Edelweis berbalik, namun tangannya dipegang. "Edelweis!" panggil lelaki itu.  Edelweis mengibaskan tangannya, terpaksa lelaki itu melepaskan tangan Edelweis. Dia menatap Edelweis dengan sorot mata lapar.  "Kamu cantik sekali dengan kebaya modern ini,warna salemnya juga memancarkan aura yang baik dari wajahmu," pujinya.  Edelweis tidak menjawab, ekspresinya dingin dan jutek. Terlihat sangat tidak berbicara dengan lelaki itu. Dia tidak peduli apapun yang dikatakan lelaki ini. Dia tidak ingin berurusan apapun dengan orang ini lagi. Orang sinting.  "Maaf, saya masih ada urusan lain. Permisi Pak Baruna," kata Edelweis sinis. Lelaki yang dipanggil Baruna itu menelan ludah. Dia jelas ingin menahan Edelweis, namun dia tidak mau membuat keributan di pesta pernikahan walikota. Jadi dia diam membiarkan Edelweis berlalu dari hadapannya.  Edelweis lega, lelaki itu tidak menguntitnya seperti tindakannya dulu. Sangat susah lepas dari lelaki posesif dan hypersex itu.  Edelweis kembali ke dekat Hanif. Dia sudah selesai makan. Dia nampak serius dengan layar ponselnya. Edelweis duduk di deretan bangku di depan Hanif. Kemudian dia mengambil foto selfi dirinya, dimana Hanif juga masuk ke dalam foto.  Edelweis sengaja melakukannya. Sebab dia yakin mata Baruna mengikutinya kemanapun. Untuk jaga-jaga dia akan memanfaatkan Hanif sebagai tameng.  "Del, aku pulang duluan ya," kata Hanif. "Ada perlu. Kamu makan lagi sana, perbaikan gizi," saran Hanif kemudian pergi begitu saja, meninggalkan Edelweis dengan perasaan dongkol. "Sialan," umpat Edelweis.  Dia melihat Oliver sedang berbincang-bincang dengan Awan dan beberapa orang lain yang tidak dikenal Edelweis.  Edelweis berdiri dan ingin menghampiri mereka, namun seseorang memanggil namanya lagi.  "Edelweis." Edelweis mematung. Suara ini, dia sangat mengenalnya. Suara lelaki yang sangat dirindukannya.  "Edelweis." Lelaki itu memanggil lagi. Edelweis berbalik. Lelaki itu ada di sana, dengan setelan blazer hitam dan kaos putih. Rambutnya ditata rapi. Banyak perbedaan dengan sosok yang dia ingat. Namun Edelweis tahu, lelaki itu adalah lelaki yang sama. Indra Wibisana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN