Jebakan

1335 Kata
Indra datang terlambat lagi. Dia tidak menyangka bahwa pesawatnya akan delay karena cuaca. Sekarang dia harus memaklumi kata terlambat, yang sebelumnya haram dia lakukan. Indra memilih setelan jas hitam, dia terlalu malas untuk memilih warna lain.  Namun dia mengembalikan jas hitam, dan mengambil blazer sebagai gantinya. Kemaja juga diganti dengan kaos. Celananya dia ganti dengan jeans biru dan sepatu sneaker. Dia tidak ingin berpenampilan terlalu berlebihan dalam acara pesta ini. Sayangnya dia tidak memiliki batik. Semua kemeja batik masih ada di Jakarta.  Saat dia memasuki ballroom hotel SharkCro, sudah banyak orang datang juga pulang. Namun acara masih berlangsung, Indra lega.  Dia masuk, banyak wajah asing yang di depannya. Tak satupun dia kenal. Indra melihat kedua sahabatnya kini menikah. Menjadi mempelai di sana, Indra tersenyum ikut bahagia.  Dia melihat masih banyak antrian yang menyalami kedua mempelai. Indra memutuskan untuk makan lebih dulu saja. Namun matanya menangkap dari belakang seorang perempuan dengan kebaya warna salem. Tubuhnya sangat indah dilihat, dan betapa terkejutnya Indra ketika mengenali wajah dalam riasan tersebut. Edelweis, cinta pertamanya. Kaki Indra bergerak sendiri. Dia berjalan menuju perempuan itu. Perempuan itu hendak menghampiri beberapa lelaki, Indra merasa tidak suka. Dia memanggil Edelweis untuk memastikan, apakah benar atau bukan. "Edelweis." Perempuan itu terdiam. Dia masih berdiri di sana.  Indra memanggil lagi.  "Edelweis." Perempuan itu berbalik. Dugaan Indra benar, dia adalah Edelweis. Cinta pertamanya yang hilang tanpa kabar.  Indra mengerjapkan mata. Keheningan berada di antara mereka seolah menghidupkan kenangan yang telah lama terkubur. Indra melihat Edelweis masih sama, bahkan lebih cantik dari masa sekolah dulu. "Indra," kata Edelweis terbata.  Mereka saling bertatapan lama. Tidak peduli betapa bisingnya di dalam gedung itu. Suara tawa dan suara musik berbaur menjadi satu. Sedangkan dua orang ini seperti berada di tempat lain. Hanya mereka berdua. Hingga seseorang merusaknya.  Seorang lelaki mencekal tangan Edelweis.  "Del, kita bicara sebentar," kata Baruna. Suaranya lebih seperti memerintah daripada meminta izin. Edelweis menepiskan tangan Baruna. Namun Baruna mencengkram lagi. Indra merasa tidak suka.  "Siapa dia Edelweis?" tanya Indra. Wajahnya menggelap kesal.  "Bukan siapa-siapa. Dia orang gila," jawab Edelweis mengibaskan tangan Baruna. Baruna menatap tajam Edelweis. Berani-beraninya gadis ini menyebutknya orang gila. "Aku pacarnya, kau siapa?" tanya Baruna dengan kepercayaan tinggi. Indra mendengus dan sedikit kaget. Edelweis menendang pelan betis Baruna dengan sepatu heelsnya. Meskipun pelan, tetap saja Baruna kaget. "Aduh!" "Dia bukan pacarku. Hanya orang gila yang suka menguntitku," balas Edelweis tajam. Dia melototi Baruna dengan ancaman, kalau kau berani bertingkah lagi, aku akan membuatmu menyesal. Kira-kira begitulah tatapan Edelweis. Indra tersenyum. Edelweis telah menjadi orang yang berbeda. Sekarang dia bisa melindungi dirinya. Indra merasa tenang. Dia hanya berdiri dengan angkuh menatap rendah Baruna yang diberi pelajaran oleh Edelweis. Baruna menyingkir dan mengancam. "Kita belum selesai Del," katanya. Indra langsung bergerak menutupi Edelweis dari Baruna. Matanya menatap tajam pada Baruna. Tekanan aura Indra membuat Baruna menciut dan segera angkat kaki.  Indra berbalik. "Kau baik-baik saja Del?" Edelweis tersenyum. "Baik Ndra. Semuanya selalu baik." Suasana canggung kembali hadir. Mereka diam cukup lama. Ketika keduanya ingin bicara, Awan memanggil Edelweis.  "Del, sini!" kata Awan seperti memanggil anak kucing.  "Bosku memanggil, Ndra," kata Edelweis izin pamit.  Indra sepertinya masih syok. Sehingga dia hanya mengangguk saja. Terlihat sekali Indra tidak ingin Edelweis pergi. Namun dia tidak sanggup mengatakan apapun. Edelweis pergi. Indra menatap punggung perempuan yang pernah dicintainya itu.  Awan menyambut kedatangan Edelweis dengan senyum pekerja. Edelweis hapal betul. Jarang sekali Awan menlibatkan dia dalam pesta pesata pertemuan dengan orang penting.  "Del, ini kenalkan. Orang penting dalam perusahaan kita, Nona Roro Kinanthi," kata awan.  Edelweis tersenyum manis. Sambil mengingat-ingat di mana dia mengenal nama yang tidak asing tersebut. Di dalam kepalanya seolah-olah banyak Edelweis membuka catatan dan juga mengulang beberapa agedan hari kemarin. Smapai dia ingat pernah melihat nama tersebut di kertas kepemilikan saham yang diberikan oleh Awan beberapa waktu lalu. Tubuh Edelweis membeku. Perempuan ini adalah pemimpin perusahaan tempat dia bekerja. Kenapa Awan mengenalkannya padanya? Edelweis kini hanya bisa tersenyum. Dia berharap tidak mengatakan atau melakukan suatu hal yang bodoh.  "Saya senang berjumpa dengan jurnalis yang bersemangat seperti kamu, Edelweis," kata Roro. "Terima kasih Bu," kata Edelweis.  "Sekarang kamu sedang liputan apa?" tanya Roro. Edelweis belum mebuka mulut, Awan yang lebih dulu menjawab. "Saat ini Edelweis tengah meliput berita yang menarik pembaca. Kemarin dia menulis tentang wisata tepi sungai," jawab Awan. Edelweis hanya melirik bosnya. Wajahnya penuh dengan keringat dingin.  "Tulisan yang hangat. Pasti orangnya juga demikian," puji Roro.  "Dia masih perlu banyak belajar, masih belum punya pengalaman," kata Awan. Edelweis hanya mengangguk setiap ucapan Awan.  Sampai Roro menatap Edelweis dengan sorot mata menilai. Edelweis hanya tersenyum. Ingin sekali dia berteriak dan bertanya soal kelanjutan kasus pencemaran tersebut. Namun bosnya ada di sini, Edelweis tidak berani. Sepertinya dia lebih takut pada Awan, dibanding Roro pemilik perusahaan.  "Aku akan senang sekali kalau Edelweis mau datang ke pabrik, dan melihat kinerja kami," kata Roro dengan senyum. Keringat Awan makin banyak. Edelweis menunggu gerakan dari Awan, apakah dia harus menjawab atau tidak.  Awan mulai membuka mulutnya. "Sepertinya Edelweis belum..." Kalimat itu menggantung di udara, sebab tangan Roro terangkat. Meminta Awan untuk diam. Matanya menelisik Edelweis, seolah mampu menembus dan membaca isi hati Edelweis.  Edelweis kini harus menjawab Roro. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk mencari tahu tentang pabrik pelangi. Mungkin dia memang tidak bisa memberitakannya. Tetapi Banyumili bisa. Dia bisa mengungkapkan semua yang dia tahu pada Banyumili. Biarkan mereka yang mempublikasikan pada masyarakat.  Edelweis ingin pabrik tersebut bertanggung jawab penuh atas musibah tersebut. Matanya berkilat-kilat senang. Bahkan dia tidak menyadari Awan yang gelisah berdiri di sampingnya. Berdoa agar Edelweis menolak undangan Roro.  "Dengan senang hati," kata Edelweis. Jawaban Edelweis seperti membuat Awan berada di ujung tiang gantungan.  "Aku akan suurh pegawaiku nantyi membuatkan surat undangan untukmu, Edelweis. Aku menunggu di pabrik," kata Roro dengan senyumnya yang menyeramkan. "Aku masih ada urusan lain. Sampai jumpa Edelweis, Awan." Roro menyalami Edelweis dan Awan. Kemudian dia berlalu pergi.  Awan seketika melototi Edelweis. "Kenapa kau menerimanya?" desis Awan marah. "Kau bisa dijebak nanti." Edelweis hanya mengangkat bahu. Dia tidak bisa mengungkapkan rencana rahasianya pada Awan. Bisa-bisa bosnya akan mencincangnya sebelum dia pergi ke pabrik. Dia harus mencari sekutu yang akan mendukungnya. Dia akan menelpon Oliver dan Hanif meminta saran.  Acara pernikahan sebentar lagi selesai. Para tamu mulai pulang. Sedangkan Edelweis dan Awan masih di sana. Mereka harus mewawancarai sebentar para mempelai. Sepanjang menunggu semua tamu pulang, Awan menceramahai Edelweis banyak hal. Apa apa yang tidak boleh Edelweis lakukan nanti saat liputan di pabrik.  Edelweis tidak mendengarkan satupun. Kepalanya kini dipenuhi dengan kenangan-kenangan masa lalu yang indah. Kemudian berganti menyebalkan ketika mengingat kebersamaannya dengan Baruna. Dia menyesali setiap momen bersama lelaki itu.  "Kenapa wajahmu begitu? Kau sedang memikirkan apa?" tanya Awan dengan mencolek pundak Edelweis. "Apa?"  "Kau melamun ketika aku bicara hal penting ya?" geram Awan.  Edelweis tergagap. "Tidak Pak, aku mendengarkan semuanya," jawab Edelweis dengan yakin. Padahal dia tidak ingat sama sekal Awan memincingkan matanya tidak percaya. Edelweis memasang wajah polos.  Para mempelai dan kedua orangtua mempelai turun dari panggung. Para pelayan hotel terlihat mulai membersihkan area gedung. Awan berdiri dan menyiapkan kameranya.  "Suit-suit," Edelweis bersiul. "Kali ini, Pak pimred yang turun sendiri ke lapangan," kata Edelweis.  Awan tak menggubris. Dia berjalan pelan dan menoleh pada Edelweis. "Kenapa malah bengong, siapkan pertanyaanmu." Edelweis menelan ludah. "Iya Pak." Edgar melihat kedua orang itu datang menghampirinya. Kaliandra memeluk Edelweis lagi. EDelweis hanya tertawa.  "Sekali lagi selamat untuk pernikahannya, Pak Edgar," kata Awan menjabat erat tangan Edgar. "Terima kasih Pak Awan." Edelweis tidak tahan untuk memberitahu Kaliandra. "Mbak Kal, aku ketemu Indra," bisik Edelweis di telinga Kaliandra.  "Apa?" Edgar dan Awan menoleh pada Kaliandra. Edgar mengangkat alisnya.  Kaliandra menutup mulutnya kaget. Tetapi dia tidak melihat Indra menyalaminya tadi. "Gar," panggil Kaliandra.  Awan menyingkir mempersilahkan Edgar.  "Maaf Pak Awan, sebentar ya," kata Edgar. Dia ingin tahu apa yang membuat istrinya begitu heboh. Seseorang dari ujung ruangan berjalan pelan. Suara sepatunya membuat beberapa orang menoleh. Suara musik mulai berhenti. Edelweis melihatnya. Dia mencengkram gaun pengantin Kaliandra.  Kaliandra bertanya, "ada apa Del?"  Namun pertanyaannya tidak perlu jawaban, saat dia mengikuti mata Edelweis memandang ke arah pintu.  "Indra," kata Edgar dan Kaliandra bersamaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN