Indra sengaja melipir ke lobi hotel. Sebab beberapa klientnya memang hadir di sana. Dia bisa datang ke pernikahan kedua sahabatnya lantaran bisnisnya juga ada di sini. Meksipun datang terlambat, dan belum menyapa pengantin, Indra berniat kembali ke tempat tadi setelah urusannya selesai.
Jadi di sinilah dia berada, berjalan menuju kedua mempelai yang menatap heran ke arahnya. Indra tersenyum lebar. Dia rindu pada semua sahabatnya di Indonesia. Dan ketika dia menemukan Edelweis juga di tempat ini. Sebuah brankas yang telah dikunci rapat dalam hatinya, telah tebuka.
Semua kenangan-kenangan indah bersama Edelweis. Masa putih abu-abunya.
Awan merasa akan ada reuni, jadi dia memilih menjauh. Memberikan kesempatan pada para mempelai untuk mengobrol dengan tamu. Lagipula Awan sudah cukup mengambil foto tadi. Medianya sudah merilis secara bertahap pernikahan Edgar.
Berita tentang Edgar masih selalu trending. Namun ada beberapa berita yang dia tunda atau malah dia lenyapkan, sebab di dalamnya Edelweis terlibat. Awan yakin bahwa Edelweis bukan perempuan seperti yang dirumorkan. Setahun bekerja sama, Edelweis malah bisa dibilang gadis lugu, karena tidak terlihat membawa pacar.
Jurnalis yang sering bersamanya pun hanya Rio, sepupu jauh Edelweis.
Namun melihat situasi ini Awan yakin, lelaki yang baru muncul pasti beruhubungan dengan tiga orang tersebut. Awan tidak menyukai sinetron. Jadi dia lebih baik membuka laptop dan bekerja, Memanta berita-berita yang tayang di medianya.
Indra memadang tiga teman di depannya bergantian. Dia sangat senang bertem mereka sekaligus.
Dia menghampiri Edgar lebih dulu. Mereka berjabat tangan erat, saling melempar lelucon dan tinju tangan.
Kaliandra mengangkat gaunnya dan mendekati Indra.
"Ndra, lu ganteng banget sekarang," kata Kaliandra.
Indra meletakkan dua jari membentuk v di bawah dagunya. "Tentu. Tetapi yang paling berubah adalah.." Indra memandang Edelweis dengan lekat.
Edelweis berdiri dengan canggung.
Kaliandra tertawa. "Iya, aku sangat kaget saat bertemu Edelweis pertama kali. Kupikir malaikat menyamar menjadi manusia."
Edgar merasa tidak enak sebab Awan menunggunya. "Ndra, aku ke sana dulu."
Indra mengangguk. "Walikota memang harus memberikan konfrensi pers."
Edgar tertawa kecil.
Kaliandra memandang Edelweis dan Indra bergantian. Dia bisa saja memberikan waktu buat mereka berdua. Namun sepertinya Edelweis merasa keberatan. Jadi dia menemani dua orang yang pernah menjalin hubungan cinta itu. Sampai Edgar memanggilnya.
Kaliandra meninggalkan Indra dan Edelweis.
"Kamu tinggal di mana Del?" tanya Indra.
"Aku ngekos di sini. Kamu kapan balik ke Indonesia?" tanya Edelweis.
Bukannya menjawab Indra menatap lekat perempuan yang ada di depannya. Rasa rindu yang dia pupuk dan sembunyikan itu merekah lebat memenuhi seluruh hati dan pikirannya. Dia ingin memeluk Edelweis dan mengatakan banyak kata rindu.
Namun Edelweis menatap Indra seolah-olah Indra adalah orang asing. Indra bergeming. Apakah Edelweis telah melupakan diirnya?
"Ndra," panggila Edelweis membuyarkan lamunan Indra.
"Kita ke bawah yuk del. Pesen kopi," kata Indra mengajak.
Edelweis ragu sedetik. Kemudian mengiyakan ajakan Indra. Setelah nyaris sepuluh tahun mereka tidak bertukar kabar, Edelweis ingin tahu semua tentang Indra. Terutama apakah dia benar akan menikah atau tidak.
Mereka berdua kelar dari ruang tempat pernikahan, menuju lift, keduanya tetap diam.
Indra jelas ingin bicara banyak. Namun Edelweis menunjukkan sikap enggan.
Mereka telah sampai di restoran kafe. Keduanya memilih meja yang jauh dari panggung sebab ada musik live di sana. Mereka memilih meja dekat jendela yang menghadap ke kolam renang.
"Kamu jurnalis sekarang Del?" tanya Indra.
Edelweis mengangguk. Dia sangat bingung, apa yang akan dia katakan. Apa kabar? Aku merindukanmu? Apakah kau akan menikah? Apakah kau masih ingat aku? Apakah kau ingat janjimu? Apakah kau ...
Semua pertanyaan itu hanya berakhir di tenggorokan. Edelweis sama sekali tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya.
"Aku tidak percaya kalau kau jurnalis, mana ada jurnalis yang pendiam begini?" Indra menggodanya. "Aku baru beberapa bulan di Jakarta Del. Mungkin seterusnya di sini. Aku mau membuat perusahaan sendiri," kata Indra.
Senyumnya masih sama di mata Edelweis. Senyum yang membuat jantung Edelweis berlompatan.
"Perusahaan apa?" tanya Edelweis.
Indra menatap lekat dua mata Edelweis. "Perusahaan travel," jawab Indra.
Edelweis tercengang dengan jawaban itu.
"Perusahaan yang mengantar banyak orang menuju tempat yang ingin mereka datangi. Di dalam kota maupun di luar negeri," imbuh Indra.
Edelweis masih membisu.
Ponsel Edelweis berdering. Awan menelponnya.
"Maaf, aku angkat telepon dari bos dulu!" kata Edelweis.
"Silahkan."
Edelweis menerima telepon, namun begitu diangkat yang didengarnya adalah Awan marah-marah.
"Del, kamu di mana? Pekerjaan kita belum selesai. Kamu harus wawancara live dengan walikota dan istrinya," teriak Awan di telepon.
Indra mendengarnya,namun tidak memberikan reaksi apapun.
Edelweis menyesal tidak menyingkir saat menerima telepon tersebut.
"Iya Pak, saya segera ke sana," kata Edelweis.
Indra tersenyum. "Pergilah Del, kita bisa bertemu lagi kan?" tanya Indra.
"Iya tentu."
Edelweis pamit dari Indra. Namun dalam perjalanan naik ke lantai atas, bagaimana Indra bsia menghubunginya? Namun dia akan memikirkannya nanti, Awan sudah menunggu dengan tanduk di kepala.
Edelweis berjalan cepat menuju ruang yang digunakan pesta tadi. Dia memasang senyum lebar dan tentu kuping tebal.
Awan terlihat siap memarahinya, namun dia tidak mengatakan apapun di depan kedua mempelai. Dia hanya melototi Edelweis yang baru datang. Edelweis hanya bisa tersenyum. Semua masalahnya akan selesai dengan senyum. Terutama menghadapi bos yang super galak.
***
Edelweis pulang ke kosnya. Dia melepas sepatu hak tinggi it dan menyimpannya lagi di kotak. Sepatu itu dia pinjam dari kakak iparnya. dia melepas kebaya dan mengapus make up.
Dia masih memikirkan pertemuannya dengan Indra. Kaliandra benar, Indra sangat tampan. Dia seperti artis kpop berdarah indonesia. Dengan kedua lesung pipitnya. Dulu Indra memakai kacamata, sekarang dia menggunakan kontak lensa.
Indra bertubuh tegap dan atletis. Meski dia maniak game di ponsel, dia juga sering lari sore hari. Setiap sore, bila tak ada kegiatan ekstrakuliker, Indra akan mengajak Edelweis lari-lari di stadion. Edelweis kewalahan kalau harus menyamai kecepatan lari Indra.
Ting!
Edelweis menyambar ponslenya dengan cepat. Jantungnya berdegup kencang. Dia memikirkan Indra, mungkinkah dia?
Apakah ini benar nomer ponsel Edelweis jurnalis dari tv lokal?
Benar. Ini siapa? Ada yang bisa dibantu?
Bukan balasan pesan lagi, melainkan nomer tersebut menelpon ponsel Edelweis.
Tangan Edewleis sedikit gemetar, bila itu Indra. Apa yang akan dia katakan? Hatinya belum siap.
"Halo," sapa Edelweis.
Suara di sana hening.
"Halo, ini siapa?" Edelweis berkata ulang.
"Akhirnya aku bisa tahu nomer ponselmu," kata lelaki itu di sebrang sana.
"Kau... darimana kau dapat nomerku?" bentak Edelweis.