"Akhirnya aku bisa tahu nomer ponselmu," kata lelaki itu di sebrang sana.
"Kau... darimana kau dapat nomerku?" bentak Edelweis.
Lelaki itu tertawa. "Kenapa kau takut begitu?"
"Aku bisa melaporkanmu ke polisi," ancam Edelweis.
"Memangnya aku melakukan apa padamu? Aku hanya menelponmu. Jangan berlebihan, Del," kata lelaki itu.
"Kau memang sinting Baruna," bentak Edelweis menutup telepon.
Dia langsung memblokir nomer tersebut tanpa ragu. Edelweis ingin memberitahu Kaliandra, namun dia tidak mau menganggu malam pertama mereka. Ah, jadi dia menelpon Galih. Namun yang tepencet malah Hanif.
Belum sempat mematikan telepon, Hanif sudah menjawab.
"Kenapa Del?" tanya Hanif dari seberang.
Terdengar suara keyboard yang ditekan. Hanif pasti sedang menulis sebah berita.
"Tidak apa-apa, salah pencet tadi, mau telepon Galih. Namamu ada tepat di bawah nama Galih di kontak ponselku," jawab Edelweis.
"Oh. Bagaimana tadi pesta walikota?"
Suasana hati Edelweis berubah dari kesal menjadi bahagia mengingat Indra, namun kesal lagi sebab wajah Baruna juga terbayang.
"Kompleks lah. Mas, untuk mengadukan penguntit bisa nggak ya ke polisi?" tanya Edelweis.
"Siapa yang dikuntit? Kamu?" tanya Hanif cemas.
"Bukan, bukan aku. Ada teman tanya," kata Edelweis berbohong.
"Kalau bukan artis, atau orang yang berpengaruh, sepertinya tidak akan diusut," jawab Hanif.
"Begitu ya."
Hanif berhenti mengetik. "Mereka punya banyak kasus yang menunggu untuk diselesaikan. Jadi kasus remen seperti itu hanya yah begitulah. Ngomong-ngomong kamu beneran mau liputan di pabrik pelangi? Mau angkat isu apa?"
Edelweis menelan ludah. Apakah dia harus jujur pada Hanif? Tetapi dia ragu, Hanif ada di pihak siapa. "Belum tahu."
Terdengar suara keyboard ditekan lagi. "Silahkan dilanjut Mas, aku juga mau tidur," kata Edelweis.
"Oke."
Edelweis menutup teleponnya.
Edelweis memikirkan cara agar Baruna tidak menganggunya lagi. Dia pasti berpikir sekarang Edelwesi masih jomblo, maka dari itu dia berani menghubungi Edelweis lagi. Edelweis melihat hasil foto saat di pesta tadi. Ada satu foto selfi dia di sana. Namun di belakang dia duduk, Hanif yang sedang memegang ponsel juga termasuk.
Edelweis menguntit semua media sosial milik Indra. Sayangnya terakhir update, sudah bertahun-tahun lalu. Indra memang jarang menggunakan media sosial. Namun ketika dia membuka media sosial Masbuk, di dinding Indra terdapat foto dia bersama Roro Kinanti. Yang mengunggah namanya tidak dikenal Edelweis. Dia menandai Indra dan juga Roro Kinanti.
Berarti Indra mengenal Bu Roro Kinanti? Apa hubungan mereka?
Edelweis merasa kesal dan juga cemburu. Padahal dia bukan siapa-siapa Indra. Dia pun meluapkan rasa marahnya dengan mengunggah foto dia dengan Hanif di Masbuk miliknya. Di media sosial itu, Edelweis memiliki ribuan pengikut. Tidak semuanya dia kenal.
Dia pun menarik selimut kemudian memejamkan mata.
***
Pagi sekali Edelweis sudah bangun. Tidurnya tidak nyenyak, selain masalah Baruna, dia juga belum memiliki ide untuk liputan apa. Dia membuka media sosial miliknya, postingannya semalam ramai menadapat respon suka dan juga komentar. Edelweis mengabaikannya. Dia menuju grup kuliner. Barangkali ada yang bisa dia liput.
Dia melihat banyak orang yang mempromosikan dagangannaya di grup tersebut. Variatif dari menu dan harganya. Edelweis jarang makan di luar, menu favoritnya terbatas di penyetan, nasi goreng juga bakso.
Dia mengetik kata kunci bakso surabaya. Dia menemukan sebuah unggahan yang menarik dalam situs tanya jawab Muora. Pengakuan dosa seorang karyawan penjual bakso. Edelweis membacanya.
"Sepertinya ini bakal trending kalau dibikin berita," gumam Edelweis.
Dia beranjak dari tempat tidur menuju meja. Membuka laptop dan menyalakannya.
Viral! Bakso pesugihan! Ada Celana Dalam Di pancinya!
Dia sangat sibuk mengetik berita berdasarkan jawaban di situs Muora tersebut. Dia tahu bahwa masyarakat sangat tertarik dengan berita semacam ini. Berita klenik, pesugihan, tumbal pasti akan menyedot banyak pembaca. Padahal belum tentu itu benar, mungkin saja hanya gosip belaka.
Edelweis pernah menemukan sebuah warung, di depannya banyak bertabur bunga warna warni. Mulanya Edelweis berpikir, ada orang yang tidak sengaja menjatuhkan kembang wanginya di sana.
Tetapi ketika dia mengobrol dengan pemilik warung, pemilik warung itu kesal, dengan benda-benda semacam itu di depan kiosnya.
"Lihat to Mbak, ada yang nggak suka sama jualan saya. Makanya ditaburi kembang, garam, atau tanah kuburan," keluh pemilik warung.
Pemilik warung mengaku hampir setiap hari dia menemukan benda-benda itu di depan warungnya. Dia tidak tahu siapa pelakunya. Dan tidak memiliki gambaran siapa yang iri terhadap jualannya.
Edelweis hanya bisa menghibur dan baoak itu sabar.
"Rejeki sudah ada yang ngatur Pak, tidak mungkin tertukar," pesan Edelweis sok bijak.
Padahal belum tentu Edelweis bisa sabar menghadapi situasi tersebut. Dia pun heran, di zaman teknoligi telah berkembang pesat, masih ada orang-orang yang percaya dengan hal mistis tersebut.
Kring!
Ada telepon masuk ke ponsel Edelweis. Galih.
"Halo Mas," sapa Edelweis.
Terderngar suara tawa. "Kamu mau jadi ahli klenik? Beritamu pagi-pagi kok sudah berbau klenik," sindir Galih.
"Ah rese kamu Mas," kata Edelweis.
"Kamu nggak sarapan di sini?" tanya Galih.
"Nanti siang saja. Oh ya Mas, aku ketemu Indra kemarin," kata Edelweis dengan semangat.
"Terus kamu mau apa? Mau mengajak dia nikah? Mau mengaku masih cinta dia?" sindir Galih.
Edelweis merengut. Namun pekikan Syifa terdengar di telepon.
"Sekarang seperti apa dia Del? Makin ganteng? Kerja di mana?" cerocos Syifa mengambil alih telepon dari Galih.
Edelweis tertawa. "Ya Mbak, ganteng banget sekarang. Dia mau mendiirkan perusahaan sendiri." Ketika mengatakan hal itu, Edelweis termenung, impiannya adalah bisa keliling dunia. Apakah Indra saat memilih di bidang itu, memikirkan Edelweis?
"Ajak main ke sini, Indranya Del," kata Syifa.
Edelweis terbatuk-batuk karena ucapan kakak iparnya. Terdengar Syifa dan Galih berdebat.
"Sudah dong, kalian berdua. Aku kan belum selesai ceritanya. Selain Indra, aku juga ketemu Baruna."
Kali ini Galih yang memegang telepon. "Kamu nggak apa-apa? Apa dia melakukan sesuatu yang buruk?"
"Dia sudah tahu nomer ponselku. Aku juga sudah memblokir nomernya."
Galih bersungut. "Bagus. Blokir semua nomer yang dia gunakan untuk menghubungimu. Lebih baik tidak usah meladeni panggilannya. Kalau dia berani bertindak macam-macam, segera bilang Mas. Akan kubuat dia kapok seperti dulu," suara Galih terdengar marah dan kejam.
"Siap delapan enam Bapak Galih yang terhormat," jawab Edelweis.
"Kamu cepat makan sana. Sudah mau jam delapan, nanti maghmu kumat," pesan Galih.
"Iya Mas."
"Del, ajak Indra ke sini," kata Syifa.
"Edelweis tertawa mengiyakan. Kemudian menutup telepon.
Dia hanya membersihkan muka dna sikat gigi, menyambar jaket kemudian keluar kos.
Ketika dia baru sampai pagar, sebuah truk berisi muatan pasir berhenti di depannya. Edelweis menyingkir sedikit. Sopir bertanya pada Edelweis. "Mbak, apa benar ini kediaman Bu Lastri?"
"Benar Pak."
"Terima kasih Mbak," kata sopir itu meminggrikan trucknya.
Edelweis berlalu mau mencari makan. Dia heran dengan Ibu Kosnya. Ibu kos itu seirng sekali merenovasi kosannya. Renovasinya bukan hal-hal kecil, tetapi membongkar dan membangun kembali bagian rumah yang sudah bagus.
"Mungkin Bu Kos punya duit lebih," gumam Edelweis.
Edelweis suka berjalan kaki setiap pagi seperti ini. Sinar matahari sudah terlihat, dan banyak anak-anak berangkat sekolah. Dengan jalan kaki, sepeda, atau sepeda motor. Pagi menjadi tandanya aktifitas warga. Edelweis melewati kumpulan ibu-ibu yang sedang belanja di tukang sayur keliling.
"Eh jangan beli bakso di situ lagi, katanya pakai pesugihan," kata satu ibu memakai daster kembang-kembang.
"Iya, katanya ada genduruwonya di sana," timpal ibu yang memakai baby doll.
"Masa sih?"
"Iya, makanya kalau makan di tempat rasanya enak. Kalau dibawa pulang hih sama sekali gak enak," imbuh ibu memakai daster kembang-kembang itu lagi.
"Permisi ibu-ibu, boleh ikut gabung?" sapa Edelweis.
"Silahkan Mbak," kata ibu - ibu serentak.
Mereka pun dengan riangnya menceritakan soal bakso yang diduga menggunakan jasa pelaris tersebut.
"Bakso di sebelah mana sih Bu?" tanya Edelweis penasaran.
Dia bisa saja menjadikan hal tersbeut sebagai konten. Dia menahan senyumnya.