Edelweis pergi ke arah tempat yang ditunjuk ibu-ibu tadi. Tidak ada yang aneh sepenglihatan Edelweis. Namun dia teringat dengan konten yang dia tulis tadi pagi. Dia jadi ingin menengok isi panci milik tukang bakso tersebut. Namun apa dia berani?
Edelweis menggelengkan kepalanya. Tentu saja dia tidak berani. Apa hak dia untuk memeriksa panci tukang bakso tersebut. Jadi dia segera pergi dari tempat itu. Edelwesi membungkus nasi kuning yang dia beli, kemudian dia pulang.
Ddalam perjalanan ke kos, sebah nomer tanpa nama menelpon kembali. Edelweis menduga yang menelpom adalah Baruna. Jadi dia menolak panggilan tersebut.
Ting!
Edelweis, sedang sibuk ya? Indra.
Mata Edelweis melotot ketika membaca pesan tersebut. Ternyata yang menelponnya adalah Indra. Dia menelpon balik Indra. Dia berhenti di depan rumah seseorang, kosnya masih luamayan jaraknya. Dia malah memilih duduk di trotoar sambil menelpon.
"Halo."
Baru mendengar suaranya saja, jantung Edelweis sudah berdegup kencang.
"Hai Indra, ada apa telepon?"
"Kamu ada di mana Del. Bisa ketemu hari ini?"
Edelweis mengigit bibirnya. "Aku ada di rumah. Tapi nanti aku harus pergi liputan."
"Hmm begitu ya, mau liputan apa? Kuantar."
"Liputan es krim yang enak. Ada satu yang terkenal di sini. Memangnya tidak merepotkan?" tanya Edelweis.
"Tidak. Tolong bagikan lokasimu ya, nanti kujemput," kata Indra.
Edelweis girang bukan main, dia tak berhenti tersenyum. Mereka asyik bicara, bahkan suara perut Edelweis yang bernyanyi, tidak dia pedulikan karena hatinya gembira.
"Lho Mbak Edel, ngapain di sini?" tanya ibu berdaster kembang-kembang yang ternyata pemilik rumah.
"Ah ya hanya duduk saja Bu, sambil berjemur," kata Edelweis.
"Masuk saja Mbak Edel, masa duduk di pinggir jalan begitu. Nanti dikira apaan," kata ibu itu lagi.
Indra tentu saja mendengar percakapan tersebut.
"Kamu duduk di pinggir jalan Del?"
"Ah.. iya, eh enggak," Edelweis bingung bercampur malu menjawabnya. "Ndra, nanti aku telepon lagi," kata Edelweis meakhiri panggilan telepon. Edelweis menunduk dan berpamitan sama ibu itu.
"Teleponan sama pacar ya Mbak? Sampai lupa waktu," goda ibu itu.
"Iya maaf Bu," kata Edelweis malu.
"Nggak apa Mbak. Emang begitu kok kalau lagi jatuh cinta. Semuanya indah, duduk di pinggir jalan, padahal gotnya kotor juga nggak jadi masalah," kata ibu itu lagi.
"Ah Ibu, meledek saya," keluh Edelweis tertawa kecil.
"Mari masuk Mbak," kata Ibu itu menawarkan.
"Terima kasih Bu, saya pulang saja. Ini nasi kuningnya belum saya makan," kata Edelweis menunjukkan kresek yang ditentengnya sejak tadi.
Ibu itu tertawa sambil geleng-geleng kepala.
Edelweis pamit dan segera pulang ke kosnya.
***
Sampai di kos, Edelweis melahap nasi kuning sambil tersenyum. Hanya ditelepon Indra, rasanya sudah seperti terbang ke angkasa. Dia menenangkan hatinya. Dia tidak boleh terlalu berharap. Bisa saja smeua perasaan Indra sudah berubah. Dan dia sekarang ini hanyalah sekedar teman lama.
Edelweis menghabiskan makananya yang berubah menjadi hambar. Usai makan, Edelweis segera mandi. Di kamar mandi, bukannya hanya mandi, tetapi dia juga mencuci baju. Ritual mandi yang harusnya selesai dalam beberapa menit, malah berubah menjadi sejaman.
Setelah semua bajunya sudah selesai dicuci, Edelweis mendengar ada sara sirine yang lewat depan kosnya. Kosnya memang langsung berada di jalan raya besar. Jalan yang menghubungkan antar kecamatan. Dia bergegeas menyelesaikan mandinya dan menengok ke grup bencana yang diundang oleh Hanif kemarin.
Edelweis berharap lokasi kebakaran jauh dari kosnya. Namun betapa kagetnya dia membaca informasi yang diberikan oleh Dinas Pemadam Kebakaran di gruo. Lokasi kebakaran berada di skeitar kos Edelweis.
"Jadi, sirine tadi.." gumam Edelweis.
Dia segera bersiap untuk datang ke lokasi. Dia mengambil kaos panjang dan celana panjang, kemudian mengikat rambutnya cepat. Dia mengenakan sepatu. Ponselnya berdering sedari tadi. Dari Awan dan Hanif. Awan mengirim pesan untuk segera ke lokasi bencana. Hanif menelpon lagi.
"Del, kebakarannya dekat kosmu ya?" tanya Hanif. Suaranya terdengar cemas.
"Iya Mas, aku ini mau ke sana," jawab Edelweis.
"Katanya ada orang yang sengaja Del, sebab diduga warung tersebut menggunakan pesugihan," kata Hanif.
"Apaa?"
"Kamu gali informasinya. Aku akan bantu," kata Hanif menutup telepon.
Edelweis memacu motornya lebih cepat ke lokasi. Dia segera mengambil foto juga video kebakaran. Dia juga mengambil foto saat para pemadam kebakaran menyemprotkan air ke dalam api. Foto yang ada manusianya terlihat lebih hidup, begitu pesan Awan.
Setelah mengambil gambar dan video, Edelweis bertanya ke beberapa warga yang ada di lokasi kebakaran bagaimana kejadiannya. Ternyata ibu-ibu berdaster itu pas lewat warung dan melihat kepulan asap hitam dari warung tersebut. Asap itu makin lama makin besar, dia pun segera meminta tolong kepada warga di sekitarnya.
Salah seorang warga segera menghubungi Dinas kebakaran.
Pemilik warung sedang tidak enak badan, jadi hari ini dia memang menutup warungnya dan istirahat di rumah.
Dinas kebakaran mengirim tiga mobil pemadam, agar api tidak menyebar ke tempat lain. Sebab wilayah itu kawasan padat penduduk.
Edelweis bertanya dari satu ke orang lain, barangkali ada klue yang menyebutkan soal warung itu pesugihan. Mungkin saja dia bisa menemukan pelaku.
Namun ternyata nihil. Edelweis menyingkir dan mengirimkan foto ke Awan. Awan menelpon Edelweis.
"Bagaimana Del kondisi di sana?"
"Kebakarannya sudah diatasi Pak. Tetapi warungnya habis tanpa sis. Untunglah tidak ada korban jiwa," kata Edelweis singkat.
"Kamu tanyakan pada petigas pemadam kebakaran, apa penyebab kebakarannya," pesan Awan.
"Iya Pak. Tadi Hanif telepon katanya dia dapat info kebakaran ini disengaja Pak," kata Edelweis.
"Jangan percaya rumor. Kamu harus mengambil narasumber yang kredibel, yang dapat dipercaya dan memiliki keahlian di bidang tersebut. Kita ini media bukan tempat gosip," pesan Awan.
"Iya Pak," jawab Edelweis.
Dia menunggu para petugas selesai, dan baru melakukan wawancara.
"Kami belum bisa memastikan penyebab kebakaran Mbak, kami harus menyelidiknya lebih lanjut," kata petugas tersebut.
Edelweis mengangguk, dan dia pun berjalan menuju tempat di parkir motornya. Dan kembali ke kosan untuk mengetik berita.
Saat mengetik berita. Api Melahap Sebuah Warung Bakso Di Surabaya.
Edelweis menyelesaikan laporan beritanya, baru mengecek ponselnya. Ternyata ada beberapa pesan dari Indra. Buru-buru Edelweis menelponnya.
"Sorry Ndra, tadi ada kebakaran dan aku liputan sebentar," kata Edelweis menjelaskan.
"Tetapi kamu nggak apa-apa kan?" tanya Indra cemas.
"Nggak kok, aku aman."
"Kalau begitu aku akan berangkat menjemputmu ya," kata Indra.
"Iya, aku mandi sebentar. Bau asap semua," kata Edelweis.
"Oke."
Indra datang setengah jam kemudian di depan kos Edelweis. Dia mengenakan kaos polo shirt warna putih dan celana jeans biru. Dia memakai sepatu sneaker dan juga topi.
Edelweis keluar juga memakai pakaian santai. Dia juga memakai kaos dan jeans, kaos warna merah. Edelweis tetap menggnakan ransel alih-alih tas selempang. Sebab kamera dan laptopnya harus dia bawa. Senjata tempurnya para jurnalis digital.
Indra berdiri di dekat pintu pagar kos ketika Edelweis keluar dan menyapa Indra.
"Lama ya nunggu ya?" tanay Edelweis.
"Aku baru tiba kok," jawab Indra.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Indra.
Edelweis melihat Indra membawa mobil dengan merk sejuta umat berwarna hitam. Dia menatap jam tangannya, sudah sore, waktunya para pekerja pulang. "Gimana kalau naik motor aja? Jam segini pasti terjebak macet kalau naik mobil?" tanya Edelweis.
Indra tanpa ragu mengiyakan. "Sudah lama aku tidak naik motor," kata Indra.
"Kubonceng kalau begitu," kata Edelweis.
Indra tertawa. "Tidak mau. Di mana harga diriku sebagai lelaki?"
"Di dalam hati," jawab Edelweis.
***
Mereka sampai di kedai es krim Zangrandi di pusat kota Surabaya. Es krim ini merupakan es krim legendaris yang berdiri sejak zaman kolonial Belanda. Kedai ini memproduksi es krimnya sendiri, dan bukan mengambil barang pabrikan. Mereka selalu menggunakan bahan-bahan segar seperti s**u sapi, gula asli dan juga buah-buahan.
"Kamu pesan rasa apa Del?" tanya Edelweis.
"Banana split," jawab Indra.
"Oke," kata Edelweis.
Mereka telah bersepakat bahwa yang membayar adalah Edelweis. Edelweis perlu bersikukuh karena mulanya Indra menolak. Tetapi Edelweis juga keras kepala. Dia beralasan, sedang menjamu turis lokal.
"Pesanan kita samaan ya?" kata Indra begitu es krim pesanan mereka diantar ke meja.
"Iya, aku juga suka banana split," jawab Edelweis. Dia sibuk mengambil beberapa foto dan memutar piring es krim agar foto yang dihasilkan bagus.
"Aku boleh makan nih?" tanya Indra menggoda.
Edelweis tertawa. "Maaf, kebiasaan buruku. Silahkan makan dulu Ndra," kata Edelweis. Dia masih sibuk dengan kameranya.
Indra mulai memakain es krimnya sambil mengamati Edelweis.
"Lokasi kebakaran dan kosmu dekat ya Del, kamu harus hati-hati juga Del," pesan Indra.
Edelweis meletakkan kameranya, dia mulai memakan es krim tersebut. "Iya dekat. Tahu nggak, tadi seniorku bilang kalau kebakaran itu disengaja. Karena pemilik warung bakso dituduh menggunakan pesugihan," cerita Edelweis.
"Masih ada yang menggunakan pesugihan? Trus bagaimana?"
"Belum tahu penyebabnya. Masih diselidiki," kata Edelweis.
"Kasihan kalau ternyata rumor soal pesugihan itu palsu, mereka tidak punya bukti, hanya berdasarkan katanya-katanya. Kemudian melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Ada korban jiwa nggak?" tanya Indra.
"Untungnya enggak," jawab Edelweis asyik menikmati es krim setiap sendoknya.
"Makanmu belepotan, memangnya anak kecil," kata Indra sambil menyerahkan tisu.
Edelweis tersenyum. "Harusnya tadi ke sini ke Amrita. Kalau dia tahu, aku ke kedai ini sendirian. Bakal ngambek dia," kata Edelweis tertawa kecil.
"Siapa Amrita?"
"Keponakanku, anaknya Mas Galih. Kamu masih ingat kakak lelakiku?" tanya Edelweis.
"Tentu saja. Dia kakak yang protektif," jawab Indra. Indra menatap lekat pada perempuan yang ada di hadapannya. "Sudah lama kerja jadi jurnalis Del?"
"Baru setahunan."
"Sebelumnya kerja di mana?" tanya Indra.
Edelweis berpikir sebentar. "Di mana ya, banyak tempat. Berganti-ganti jenis pekerjaan. Dari guru privat, kerja di pabrik dan lainnya."
"Nggak pingin kerja bareng aku?" tanya Indra.
"Di perusahaan travelmu?" tanya Edelweis.
Indra mengangguk.
Edelweis menggeleng. "Aku suka jadi jurnalis Ndra. Banyak hal yang kupelajari di sini, dan belajarku belum tuntas. Masa harus pindah lagi?" Edelweis tertawa kecil.
"Kamu sudah punya pacar?"
Edelweis terdiam.
Mereka saling bertatapan. Edelweis melirik jemari Indra, apakah ada cincin di jarinya atau tidak. Ternyata tidak ada. Apakah berita Indra akan menikah juga hanya rumor?