Pesugihan (3)

1001 Kata
Indra melihat banyak perubahan pada Edelweis. Dia tidak membenci perubahan itu. Edelweis seperti buah yang ranum dan siap dipanen. Apakah sekarang Edelweis memiliki kekasih? Siapa kekasihnya, Indra ingin tahu lebih banyak tentang Edelweis.  "Kamu sudah punya pacar?" Indra ingin melihat bagaimana reaksi juga jawaban dari Edelweis.  Edelweis terdiam.  Mereka saling bertatapan. Edelweis melirik jemari Indra, apakah ada cincin di jarinya atau tidak. Ternyata tidak ada. Apakah berita Indra akan menikah juga hanya rumor? "Kamu lihat apa Del?" tanya Indra tersenyum.  "Kalau aku belum punya pacar, apakah kamu akan melamarku lagi?" goda Edelweis. Dia bicara setengah bercanda, setengahnya lagi serius. Wajah Indra menjadi sedih beberapa saat kemudian tersenyum. "Nanti kamu menolakku lagi."Indra memaksa dirinya tertawa.  "Ndra," panggil Edelweis.  "Ya?" "Aku dengar kamu akan segera menikah. Boleh kutahu dengan siapa? Apakah itu dengan Bu Roro?" tanya Edelweis.  Indra tersentak kaget. "Kamu kenal dengan Kinanti?" tanya Indra.  Edelweis tersenyum, tetapi sorot matanya sedih.  "Kenapa kamu dulu menghilang Del. Aku mencarimu kemana-mana. Bertahun-tahun tidak ada yang tahu kabarmu," ungkap Indra. Suaranya sedikit merintih.  Edelweis tak menjawab. Dia tidak bisa memberitahu pada Indra. Kondisi keluarganya setelah dia lulus SMA. Semuanya sangat kacau, hingga keluarganya memutuskan untuk pulang ke Surabaya, tempat ibunya berasal.  "Aku turut bahagia dengan pernikahanmu, Ndra," kata Edelweis berusaha tulus. Dia ingin lelaki ini bahagia. Meskipun tidak bersamanya. Meskipun Edelweis harus menelan pil pahit seterusnya. Dia berharap hatinya sembuh. Entah kapan. Indra menyentuh jemari Edelweis, dan mengenggamnya. "Del," Indra menyebut nama Edelweis lembut. "Aku tidak ingin pernikahan ini, aku masih tetap ingin kita bersama. Perasaaanku belum berubah Del." Edelweis bimbang. Dia hanya terdiam tanpa mau menjawab apapun.  Saat perjalanan pulang, Edelweis lebih banyak bicara soal pekerjaan. Dia menghindari topik asmara. Indra memahaminya, memberikan waktu pada Edelweis untuk mau menerimanya lagi.  *** Edelweis mendapatkan beberapa fakta terbaru dari grup bencana. Dari Kepala Dinas pemadam kebakaran menyebutkan adanya konsleting listrik yang menyebabkan kebakaran. Tidak ada hal lain.  Hanif menelpon Edelweis, dia menelpon vidio call.  "Hai beb," seru Hanif bercanda.  "Babi," kata Edelweis tak menunjukkan wajahnya. Kamera dia arahkan ke arah gelas yang menopang berdirinya ponsel. Jadi gelap tak terlihat cahaya. "Kok gelap sih?" tanya Hanif.  "Mas, laporan tadi sudah baca?" kata Edelweis tanpa menghiraukan candaan dari Hanif.  "Iya sudah, wah berarti informanku kurang canggih. Tetapi soal pesugihan itu benar lho Del, kamu kalau makan di daerah situ hati-hati. Banyak yang pakai jasa penglaris," kata Hanif.  "Kata Pak Awan, kita itu bukan media gosip. Tidak boleh menulis berita berdasarkan rumor tak berdasar," tegur Edelweis. Hanif tertawa. "Duh lebih pintar kamu sekarang ya," puji Hanif.  "Sialan!"  "Baguslah kalau sudah tahu. Aku tadi cuma mengetes kamu saja. Ternyata kamu lulus," Hanif tertawa.  Edelweis menggerlingkan matanya. "Kok bisa ada rumor pesugihan dari mana sih?"  "Tidak tahu. Bisa jadi ada orang yang bisa melihatnya dalam tanda kutip, atau bisa juga disebarkan oleh orang yang nggak suka dengan warung tersebut. Banyak kemungkinannya." "Cocok Mas kamu jadi konsultan UMKM," puji Edelweis.  "Eh jangan salah, istriku adalah salah satu pelaku Umkm," kata Hanif menyiratkan rasa bangga pada istrinya.  "Istrimu jualan apa sih Mas?"  "Jualan jilbab yang dia jahit sendiri. Besok mau liputan apa?'  "Nggak tahu. Belum mikir. Kasih ide lah," kata Edelweis.  "Kamu masih di bagian feature?" tanya Hanif.  "Hooh." "Nggak mau pindah ke politik?"  "Bilang sana sama Pak Awan," keluh Edelweis.  "Yah beraninya ngadu ke bos. Hmm sudah pernah liputan kuliner?" tanya Hanif.  "Tadi baru aja dari es krim Zanzan, es krim legendaris." Hanif berdecak. "Wah kamu kok nggak ajak aku Del?" Hanif menampilkan wajah kecewa.  "Wajahmu Mas," kata Edelweis. "Kenapa imut ya? Jangan naksir. Nanti aku repot." "Minta ditonjok tahu!" Edelweis mencibir.  "Duh galak amat, ntar susah cari jodoh," ledek Hanif.  Edelweis mematikan telepon.  "Dasar bapak -bapak sinting," maki Edelweis.  Hanif menelpon lagi. Namun Edelweis enggan menerima. Pantang menyerah, Hanif mengirim pesan permintaan maaf. Karena bercandanya keterlaluan.  Edelweis mengabaikannya.  Sebuah nomer asing masuk lagi ke ponselnya. Edelweis tak sengaja menerima telepon tersebut, dia mengira kalau yang menelpon adalah Hanif lagi.  "Kenapa lagi? Minta ditonjok beneran eh?" semprot Edelweis.  "Mintanya disun, bukan ditonjok," jawab lelaki yang menelpon. Edelweis merinding. Suara itu bukan dari Hanif. Jangan-jangan dari  "Baruna?" tanya Edelweis. "Iya sayang, butuh bantuan?" tanya Baruna.  "Mati aja deh lu!" maki Edelweis menutup telepon. Dia langsung memblokir nomer baru yang digunakan Baruna untuk menelponnya.  Edelweis mengubah pengaturan ponselnya menjadi mode pesawat. Agar tidak ada yang bisa menganggunya menulis laporan feature hari ini.  Menikmati Rasa Masa Lalu dengan Es Krim Legendaris. Edelweis menginformasikan bahwa es krim ini telah berdiri bahkan sebelum Indonesia merdeka. dibangun oleh orang italia, kemudian dibeli oleh pengusaha wine. Berkembang sampai sekarang.  Edelweis mengecek foto yang dia ambil tadi saat di kedai es krim ZanZan. Ada foto Indra yang sedang makan, yang diam-diam Edelweis ambil.  Hatinya gelisah memikirkan jawaban untuk Indra. Namun Indra akan menikah. Dia tidak mau menjadi benalu dalam hubungan orang lain. Dia tetap memiliki harga diri sebagai perempuan.  Hatinya kalut. Dia segera menyelesaikan berita tentang es krim. Prinsipnya, pekerjaan tidak boleh terganggu oleh urusna pribadinya. Meskipun banyak salah ketik, karena kecepatan berpikir dan kecepatan mengetik jauh berbeda. Edelweis menikmati suara-suara keyboard ditekan. Seperti alunan musik yang mendayu. Setelah laporan selesai, dia lanjut tidur. Melupakan ponsel yang masih bermode pesawat.  *** Tok - tok! "Mbak Edelweis! Mbak Edelweis!" Edelweis mengerjapkan matanya. Dia masih sangat mengantuk. Namun suara yang memanggilnya dan ketukan di pintu terus berulang dengan gigih. Seolah-olah ada hal mendesak. Sebelumnya dia harus memastikan siapa yang mengetuk pintu di jam tiga dini hari. "Siapa ya?" tanya Edewlweis dengan suara serak. "Ini Ibu Kos Mbak Edel, ada berita gawat," kata ibu kos. Suaranya terdengar panik dan bersemangat. "Sebentar Bu," teriak Edelweis. Dia turun dari ranjang, menuju kamar mandi. Mencuci muka agar kantuknya hilang. Setelah selesai, Edelweis baru membuka pintu. "Mbak Edelweis ini diteleponin sejak tadi kok nggak nyambung?" tanya ibu kos. Edelweis berpikir sebentar, di mana ponselnya. "Ah! Ponselnya saya mode pesawat Bu. Lupa nggak dikembalikan ke mode normal. Memangnya ada apa Bu?" "Mbak Edelweis ini wartawan kan? Mbak ada berita penting. Baru saja terjadi orang bacok-bacokan," kata Ibu kos tenang. "Apa? Kita harus lapor polisi Bu," teriak Edelweis panik. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN