Pesugihan (4)

1653 Kata
"Mbak Edelweis ini wartawan kan? Mbak ada berita penting. Baru saja terjadi orang bacok-bacokan," kata Ibu kos tenang. "Apa? Kita harus lapor polisi Bu," teriak Edelweis panik.  "Sudah Mbak, para polisi sudah datang! Sekarang mereka sedang memeriksanya." Edelweis terdengar lega. Dia tidak mau datang ke lokasi terjadinya p*********n bila belum aman. Dia tidak mau jadi salah sasaran.  "Ayo Mbak ke sana. Mumpung masih ramai orang-orang," bujuk Ibu Kos.  Edelweis menguap lebar. Dia sebenarnya ingin tidur lagi. Namun spertinya Ibu Kos tidak akan membiarkan dia tidur lagi. Orang ini dengan gigih membangunkannya dari tidur sucinya.  "Hmm, saya nanti nunggu pres rilis saja Bu," tolak Edelweis. "Ndak boleh begitu. Mbak Edelweis harus datang ke lokasi. Nanti saya mau jadi narasumbernya. Bisa masuk televisi kan Mbak? Biasanya disiarkan di mana, dan jam berapa?" tanya Ibu kos. Edelweis tersenyum kecut.  *** Edelweis bersama Ibu Kos pergi ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) naik motor. Mulanya ingin berjalan kaki, tetapi Edelweis berpikir lebih cepat naik motor. Apa yang dibilang oleh Ibu Kos benar. Orang-orang masih berkumpul di lokasi kejadian.  Polisi sudah memasang tali pita kuning, menandakan tidak boleh ada yang masuk ke dalam area. Namun orang-orang itu berkumpul dan bergerombol di sekitar lokasi. Masing-masing kelompok membahas kejadian dengan versinya masing-masing.  Ibu Kos menunjukkan lokasi kejadian juga menyebutkan kronologi. Edelweis mengernyit bingung. Sebab ibu kos lebih mirip seperti pemandu wisata. Dan Edelweis sebagai turisnya. Ibu Kos tak henti-hentinya berbicara.  "Di sini Mbak Edelweis, si Sartono pemilik warung bakso mendatangi rumah, Paniyo. Kemudian mereka berdebat sebentar. Trus tiba-tiba Sartono marah dan membacok Paniyo," kata Ibu Kos berapi-api.  Edelweis merasa merinding. Apakah orang ini melihat kejadian ini sebagai adegan film atau bagaimana? Kenapa tak ada rasa sedih ataupun takut di matanya? Tetapi Edelweis harus mengesampingkan perasaannya, kini dia harus bekerja secara profesional.  "Mereka berdebat soal apa Bu?" tanya Edelweis. Dia mengeluarkan ponsel dan mencatatnya di sana. Sekarang lebih mudah menulis di ponsel dibanding harus membawa notes kemana-mana.  "Apa ya? Sepertinya terkait isu pesugihan itu lho Mbak," jawab Ibu kos. Dia menoleh pada seorang ibu yang mengenakan daster kembang-kembang.  Ibu itu yang dilihat Edelweis pagi tadi, ibu itu pagi mengenakan daster warna merah, sekarang warna hitam. Motifnya sama, kembang-kembang.  "Mama nabila," panggil Ibu Kos. "Sini, Mbak Edel mau tanya," kata Ibu kos. Beberapa orang menatap Edelweis dengan ekspresi aneh. Edelweis memasang wajah dingin. Dia sednag bekerja sekarang.  Mama Nabila itu berjalan mendekat. "Ada apa Mbak Edelweis?" "Bu, saya mau tanya tadi kan katanya pelaku dan korban saling berdebat. Mereka berdebat soal apa?" "Ooh itu lho. Jadi Sartono tahu kalau yang menyebarkan isu pesugihan itu Paniyo. Dia mendatangi Panjiyo dan menanyakannya. Ternyata Paniyo malah tertawa, menyebut Sartono pantas mendapat karma, karena melakukan penglaris pada usahanya." "Paniyo ini yakin dari mana?" "Ya nggak tahu ya Mbak. Gosip itu sudah sejak lama. Ada yang bilang pernah lihat genderuwo di warung Sartono. Ada yang pernah lihat setan itu menjilati mangkok. Banyak lah Mbak," kata Mama Nabila.  "Jam berapa Sartono mendatangi rumah Paniyo?" "Sekitar jam sepuluh malam Mbak." "Malam-malam kok bertamu?" gumam Edelweis. "Katanya orang-orang si Sartono agak mabuk Mbak. Jadi setengah mendem." Edelweis mencatat dnamengucapkan terima kasih. Mama Nabila memperhatikan gerak gerik Edelweis. Usai menuliskan hal-hal yang penting, Edelweis mengucapkan terimakasih pada Mama Nabila. Dia mengeluarkan kameranya dan mengambil beberapa foto di lokasi kejadian.  "Mbak, kita nggak difoto?" tanya Ibu Kos.  Edelweis tersenyum. Kemudian memfoto Ibu Kos dan Mama Nabila. Mama Nabila bertanya. "Beritanya akan tayang di mana Mbak Edel?Kapan tayangnya?" "Di chanel tv lokal Bu, untuk jam tayangnya bukan saya yang menentukan. Maaf, permisi sebentar ya," kata Edelweis menghindar. Dia mendatangi petugas polisi dan mengajukan beberapa pertanyaan. Polisi itu menjawab ala kadarnya dan meminta Edelweis untuk konfirmasi lagi ke atasannya.  Edelweis mengangguk. Dia menghampiri Ibu Kos dan mengajaknya pulang. Ibu kos menolak, Edelweis disuruh pulang sendiri. Edelweis sampai bertanya, alasan ibu kos.  "Masih banyak yang harus dibahas Mbak, istri Paniyo itu kasihan. Kita akan bantu-bantu dulu," kata Ibu Kos. Edewleis mengangguk, dan dia memutuskan pulang sendiri. Dia masih sangat mengantuk. Otaknya masih belum bisa mencerna dengan baik.  Untunglah, meskipun masih dalam keadaan mengantuk. Edelweis sudah mengirim tayangan kasus semalam ke kantor. ponselnya berdering tanpa henti. Panggilan dari Awan.  Edelweis mengangkatnya masih setengah merem. "Halo." "Kamu masih tidur Del? Cepat bangun. Ke kantor sekarang," kata Awan.  "Bukannya sudah kukirim Pak soal kasus pembacokan itu?" tanya Edelweis. "Iya, kita harus diskusikan hal itu dan juga undangan dari Roro sudah datang," kata Awan. Edelweis spontan membuka mata, mendengar kata Roro. Perempuan yang akan dinikahi oleh Indra. Dia tahu, saatnya akan tiba. Dan dia tidak bisa menghindari pertemuan tersebut. "Iya Pak," kata Edelweis. *** "Tumben ke kantor Beb," goda Hanif seperti biasa.  "Kan mau ambil gaji," balas Edelweis.  Hanif tertawa. Dia mengikuti Edelweis masuk ke ruangan Awan.  "Kamu ngapain ikut-ikutan?" keluh Edelweis.  "Ada perlu juga." Hanif tidak tersenyum.  Awan melihat mereka berdua datang. Dan menyuruh duduk. "Del, kamu akan pergi ke pabrik ditemani oleh Hanif," kata Awan. "Eh kenapa demikian Pak?" "Kami takut kau akan kesulitan di sana," kata Awan. "Dan soal pembacokan itu kita akan menunda penanyangannya. Karena masalahanya ternyata belum tuntas." "Maksudnya Pak?" "Kami akan menanyangkan kalau situasi sudah lebih aman. Kami tidak ingin menampilkan berita yang berujung petaka karena terburu-buru. Kau harus minta konfirmasi pada polisi. Kita membutuhkan informasi yang kredibel." "Narasumberku ada di tempat kejadian Pak, semuanya tetanggaku," bantah Edelweis. "Benar, alangkah baiknya kalau yang menyangkan bukan atas namamu. Kami khawatir soal keamananmu."  "Tetapi mereka semua tetanggaku orang baik Pak," bantah Edelweis.  Hanif dan Awan saling berpandangan bertukar pikiran.  "Del, apakah kamu pikir hal ini sederhana? Berita yang memprovokasi dan tidak bersumber dari dua arah, tidak dicek kebenarannya akan terjadi miss, atau malah berita palsu alias hoax." "Bapak menyebut berita saya adalah hoax?" nada suara Edelweis meninggi. "Bukan Del. Kita tidak membahas tentang beritamu saja. Tetapi pandanganmu ke depannya. Kalau kasus seperti ini, sebaiknya kamu langsung bertanya kepada polisi. Biar polisi yang menyelidiki. Jangan bergerak sendirian. Termasuk pencemaran kemarin," kata Awan. Mata Edelweis menyipit. Apakah bosnya tahu rencana Edelweis.  "Del, kami berharap banyak padamu untuk ke depannya. Berhati-hati dalam bertindak.Tidak ada berita seharga nyawa.  Kalau kamu merasa berita itu sulit kamu tangani, sebaiknya mundur." Edelweis mengangkat tangannya tidak mengerti. "Kenapa bicara kalian muter-muter begini? Sebenarnya ada apa? Saya memang belum bertanya ke kapolsek. Namun disidang seperti ini, rasanya keterlaluan." "Ada yang melaporkanmu ke kantor," kata Hanif.  Edelweis menoleh. "Melaporkanku? Karena apa?" "Katanya kamu bertindak yang mempermalukan profesi wartawan juga kantor ini. Tetapi dia tidak menyebutkan tindakan apa. Dia hanya melaporkan seperti itu." Edelweis terduduk lemas di kursinya. Dia mengingat-ingat apa yang dilakukannya kemarin.  "Sebaiknya kamu pindah kos," kata Awan. "Dan jangan meliput apapun kecuali feature, untuk saat ini," kata Awan.  Hanif setuju.  "Aku nggak percaya kalau yang melaporkannya adalah tetanggaku," gumam Edelweis. "Aku tidak melakukan apapun yang menyenggol hati mereka." Awan mengangkat bahu. "Hati manusia tidak ada yang tahu Del. Di depan bisa baik, di belakang belum tentu. Laporan itu masuk baru tadi pagi. Aku pun tidak yakin ada hubungannya dengan liputanmu semalam. Lain kali jangan bergerak sendiri." "Tengah malam itu aku dibangunin ibu kos, ada pembacokan. Aku ke sana pun bersama beliau. Di sana tidak hanya lelaki tetapi juga ibu-ibu hadir. Tidak ada yang aneh, kecuali penyebab pembacokan itu. Pelaku dituduh melakukan pesugihan." Awan dan Hanif saling berpandangan lagi.  "Apakah kau mengenal pelaku maupun korban?" tanya Awan. Edelweis menggeleng. "Tidak, aku nggak pernah beli bakso di sana. Jadi bagaimana bisa?"  "Pesugihan ya? Rumor semacam ini memang meresahkan," gerutu Awan. "Sebab tidak bisa dibuktikan secara kasat mata. Dan lagi bila tidak ada korban jiwa, atau tindakan kriminal, polisi pun malas mengusutnya." Hanif berseloroh. "Memangnya bisa menangkap hantu?"  Awan tergelak. Edelweis tidak menanggapi lelucon itu. Dia masih berpikir siapa yang melaporkannya?  "Jadi pelaku itu membacok korban karena merasa marah dengan isu itu?" tanya Awan. "Sepertinya begitu. Aku akan lihat catatanku lagi," kata Edelweis membuka fitur note di ponsel pintar. "Iya begitu. Sebelumnya warung pelaku terbakar," imbuh Edelweis. "Warung terbakar kemarin milik pelaku, malamnya dia mendatangi korban dan membacok korban. Gila!" Awan geleng-geleng kepala. "Apakah dia menduga yang membakar warungnya adalah korban? Atau ada pihak lain yang memprovokasi pelaku untuk membacok korban? Atau ada penyebab lain? Edelweis menatap kosong. Dia tidak berpikir jauh sampai sana.  "Aku tidak tahu pasti Pak," kata Edelweis terbata-bata.  "Tulis berdasarkan komentar kepolisian saja. Jangan gunakan asusmsi pribadimu De," pesan Awan.  "Iya Pak." "Memang berita yang belum jelas kebenarannya, bisa mengundang petaka," kata Awan tiba-tiba. "Hanya berdasarkan katanya, katanya, katanya, tanpa konfirmasi lebih lanjut, isu dilemparkan ke publik. Banyak yang percaya kemudian marah, dan melakukan tindakan yang tercela. Karena itu kita harus hati-hati dalam meliput suatu kejadian," pesan Awan lagi. "Memangnya pernah terjadi Pak?"  "Di sekitar kita tak terhitung jumlahnya. Misal si istri diisukan selingkuh. Suami tak terima kemudian menyiram si istri dengan air mendidih. Hal semacam itu pernah terjadi kan? Atau terkait pesugihan itu. Karena jualan baksonya laris terus, padahal di kanan kirinya ada penjual bakso yang lain, kenapa hanya dia saja yang laris? Banyak yang menduga pasti menggunakan jasa alam ghoib." Edelweis mengangguk-angguk.  "Tapi barang ghoib itu kan memang ada Pak," bantah Edelweis.  Hanif tertawa. "Memang ada, tapi apa kita punya kapasitas untuk menghilangkan pesugihan itu? Biar Gusti Pangeran saja yang menghukumnya. Hal itu di luar kuasa kita." "Benar kata Hanif Del. Memangnya kamu bisa lihat makhluk itu? Tidak kan? Kamu hanya mendengar orang lain bicara , dia pakai pesugihan, dia pakai jasa pelaris dan semacamnya. Kemudian kamu percaya, dan tidak akan pernah mau datang lagi ke sana."  "Tapi kita kan nggak bisa berpikir semua orang penjual menggunakan jasa seperti itu. Terus bagaimana kita mengantasispasinya?" "Makanya berdoa Del, sebelum makan. Asal makanan itu halal, ya makan saja. Urusan para penjual pakai pesugihan atau tidak, jangan dipikirkan. Serahkan pada Yang Di Atas." "Terus kapan berita ini tayang Pak?" tanya Edelweis. "Nanti setelah kamu dapat konfirmasi dari kepolisian," jawab Awan. "Nah sekarang kita ganti topik. Apa yang akan kamu tulis tentang Pabrik pelangi?"  Edelweis menelan ludah. Dia tidak punya ide apapun. Dia merasa ciut di kursinya. Bosnya ini sekarang terlihat sperti monster yang mengancamnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN