Ada Pelangi

1560 Kata
Edelweis menelan ludah. Dia tidak punya ide apapun. Dia merasa ciut di kursinya. Bosnya ini sekarang terlihat seperti monster yang mengancamnya. Edelweis hanya memasang wajah senyum. "Belum ada ide Pak," kata Edelweis jujur. Dia takut kalau berbohong, bosnya akan tahu. Edelweis menduga bosnya punya indera keenam. Jadi dia tidak boleh main-main dengan orang itu. Hanif bersungut. "Sebenarnya kenapa Edelweis harus melipu ke pabrik?" tanya Hanif. "Entahlah, mungkin ada tingkah laku Edelweis yang mencurigakan," jawab Awan. Edelweis diam tak berkutik dipandang oleh dua orang lelaki. Satunya bos, satunya lagi senior. Mereka menatap Edelweis lekat-lekat. "Aku kan tidak melakukan apapun yang merugikan perusahaan," kata Edelweis membela diri. "Memangnya tidak ada cara untuk menolaknya, Wan?" tanya Hanif pada Awan. "Edelweis sudah bertemu dengan Bu Roro. Mana mungkin menolak?" "Kapan mereka bertemu?" tanya Hanif. "Kemarin, pas perta pernikahan walikota. Aku yang mengenalkannya," kata Awan tanpa bersalah. "Kau menggali lubang kuburanmu sendiri Wan," kata Hanif menyeringai. Awan mengangkat bahu. "Aku tidak mengira Bu Roro akan mengundang Edelweis ke pabrik. Sepertinya dia terpesona dengan tulisan Edelweis tentang Wisata tepi sungai," kata Awan. "Tulisan itu memang bisa menghangatkan hati. Tetapi aku masih ragu, apa hanya itu alasannya?" tanya Hanif memandang Edelweis. Edelweis juga memikirkan hal yang sama. Satu-satunya penghubungan mereka hanyalah ... "Apa kalian ada masalah pribadi Del?" tanya Hanif. Indra, pikir Edelweis. Dia menatap Awan dan Hanif. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Jadi dia hanya tersenyum lagi. Awan duduk di kursinya. "Aku berharap ada keajaiban, supaya Edel tidak perlu ke pabrik pelangi," kata Awam. Dia melirik Edelweis. "Semoga kamu beruntung." Hanif tertawa. "Kau membuatnya seperti dia akan pergi ke tiang gantungan. Gampanglah Del, buat sejarah pabrik, atau ekankan pada program CSR nya." Hanif memberikan saran. "Apa itu CSR?" tanya Edelweis. "Ini nih yang aku takutkan kalau dia pergi sendiri. Banyak nggak tahunya ini anak," keluh Awan. "Kau jelaskan Nif." Hanif menyeringai. "CSR itu singkatan dari Corporate Social Responbility. Merupakan bentuk tanggung jawab sebuah perusahaan untuk lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Biasanya mereka mengadakan program yang bermanfaat bagi masyarakat. Mereka memberikan pelatihan yang mendukung daya hidup masyarakat." Edelweis bertanya lagi,"Contohnya apa Mas?" "Banyak sih contohnya Del. Kamu cari saja sendiri," tutur Hanif lelah. "Biasanya ada seminar atau pelatihan Del, pemberian hibah, atau program yang lain dan membantu kesejahteraan masyarakat," tambah Awan. "Kamu harus banyak cari tahu lagi Del. Masih banyak hal yang belum kamu ketahui. Masih mentah. Gitu kok mau direkrut oleh Banyumili," sindir Awan. "Kamu ditawari Oliver, Del?" tanya Hanif kaget. "Kok bukan aku?" Hanif memasang wajah kecewa. "Kalau kalian berdua pergi, kututup saja kantornya," kata Awan ketus. Hanif dan Edelweis tertawa. *** Edelweis duduk di kubikelnya. Menyapa editor dan beberapa jurnalis lain. Hanif menyusul Edelweis di mejanya. "Kau mau liputan apa?" tanya Hanif. "Entahlah." "Ke kebun binatang sana," kata Hanif. "Ngapain?" "Madakno rupo," kata Hanif tertawa dan pergi dari meja Edelweis. Edelweis mengumpat dalam hati.   "Kalian ramai seperti biasa," puji Editor. "Dia memang suka usil Pak, menyebalkan," maki Edelweis. "Tetapi dia juga baik memberikan ide kan Del?" tanya Editor. "Dia usil seperti sama adiknya." "Memang begitu Pak, Mas Hanif itu. Bakat dari orok kali," kata Edelweis kesal.  Editor tersenyum. "Jadi mau liputan apa Mbak Edelweis?"  "Bingung ah Pak, cari makan dulu aja kali ya," kata Edelweis beranjak dan menuju kantin. Di kantin ternyata ada Oliver dan Hanif yang sedang bicara serius. Wajah mereka terlihat tegang, sampai Edelweis tidak berani menganggu. Dia baru kali ini melihat Hanif berekspresi marah. Biasanya dia selalu memasang tampang konyol.  Edelweis duduk agak jauh dari mereka. Dia tidak mau menjadi sasaran pelepasan amarah. Dia ke kantin untuk mengisi energi bukan mendengarkan orang berdebat.  Ting!  Sebuah pesan dari Kaliandra.  Del, makan siang bareng yuk! Aku sedang makan Mbak, di kantin kantor. Aduh Sayang banget. Kamu liputan di mana? Aku ikut? Aku jemput ya di kantor. Edelweis mengetik balasan 'Oke' pada ajakan Kaliandara. Ketika dia mendongak, Hanif dan Oliver telah berpindah duduk di depannya. "Ngapain kalian?" tanya Edelweis.  "Melihatmu makan, yang dimakan ponsel atau nasi?' sindir Hanif.  "Terusin makannya dulu Del," kata Oliver lebih lembut. Edelweis menggerling bingung dengan kelakuan mereka berdua. Tetapi dia lebih memilih menghabiskan makanannya. Kedua lelaki itu melanjutkan obrolan mereka.  "Edelwesi akan liputan di dalam pabrik Pelangi," kata Hanif.  "Aku boleh ikut nggak?" tanya Oliver. "Memangnya kau karyawan sini?" ejek Hanif.  "Aku bisa menyamar," kata Oliver santai.  "No way! Awan bisa mencincangku," tolak Hanif.  Oliver mendesah. Kemudian keduanya tertawa. Edelweis tidak mengerti selera humor bapak-bapak.  Ponsel Edelewis berdering lagi, belum sempat Edelweis menerima Kaliandra telah memanggilnya dari pintu masuk kantin tv lokal.  "Edelweis!" Bukan hanya Edelweis, tetapi juga kedua lelaki yang duduk di depannya juga menoleh ke belakang. Nampak Kaliandra dengan balutan blouse hitam yang menawan. Rambutnya panjangnya telah dipotong pendek.  "Kalia," sapa Oliver. "Oliv! Kenapa kau bisa ada di sini?" teriak Kaliandra begitu menyadari Oliver ada di sana.  Oliver berdiri dan menjabat erat tangan Kaliandra. "Maaf, aku tidak bisa datang ke pesta pernikahanmu. Ada beberapa urusan di kota sebelah. Baru tadi pagi aku kembali ke sini." Kalia memaklumi. "Aku tahu kau memang sibuk sana sini. Makanya susah cari pacar," ejeknya. "Ada tuh satu," kata Oliver berbalik menunjuk Edelweis. Edelweis mendelik.  "Kau pacaran dengan makhluk ini Del? Jangan mau!" kata Kalian kaget. Oliver tertawa. "Dia belum menerima lamaranku," kata Oliver mengedipkan sebelah mata.  Mampus sudah! Kenapa Oliver menyebutkannya di sini. Di tempat umum, di kantin kantornya. Dia akan jadi bahan gosip seluruh awak media yang ada di kota ini. Bahkan Hanif saja sepertinya kaget dengan perkataan Oliver. "Edel, kenapa kamu belum memberitahuku soal itu," keluh Kaliandra menghampiri Edelweis. "Aku tidak tahu kalau Mbak Kal mengenal Mas Oliver," kata Edelweis memberikan alasan.  "Di dunia usaha, jarang yang tidak mengenal Oliver. Dia terlalu gigih sebagai wartawan," kata Kaliandra. Entah memuji atau merasa jengah dengan sikap Oliver tersebut. "Aku wartawan sejati. Sudah mengalir dalam darahku," kata Oliver.  "Hati-hati berumur pendek," kata Hanif mengingatkan.  Oliver menepuk-nepuk bahu Hanif. "Tenang kawan, aku masih hidup selama, ehm, seperti judul lagu, seribu tahun lagi." Oliver tertawa renyah. Hanif hanya menyeringai.  "Lagu jaman dulu ya?" kata Kaliandra. "Menunjukkan umur," ejek Kaliandra. Baru Edelweis tertawa. Dia tidak menyangka Kaliandra akan menggoda Oliver yang usianya lebih tua darinya.  Kaliandra menoleh pada Edelweis. "Sudah selesai makannya? Yuk berangkat." "Pengantin baru kok menculik karyawan kami, harusnya menculik walikota," sindir Hanif usil.  "Sayangnya Walikota kalian sangat sibuk. Jadi sebagai sitri aku harus memakluminya," balas Kaliandra.  Edelweis merasa meski sudah sah sebagai istri walikota, sifat dasar Kaliandra tidak berubah. Apalagi dia memang aktifis perlindungan perempuan.  "Harusnya ibu walikota hadis di acara-acara formal, potong tumpeng atau pita dan dadah dadah pada ibu-ibu," ejek Hanif lagi.  Edelweis tidak bisa membiarkan mulut jahil Hanif. Dia mencubir pinggang Hanif.  "Aduh!" jerit Hanif.  Edelweis pun menarik tangan Kaliandra untuk meninggalkan kantin. Kaliandra mengucapkan selamat tinggal pada Oliver dan Hanif yang masih merintih.  Oliver melambaikan tangannya. Hanif mendengus.  "Sialan tuh Edelweis," umpat Hanif.  Oliver tertawa. "Syukurin!" *** "Maaf ya Mbak Kal, Mas Hanif memang begitu. Usil banget," kata Edelweis begitu mereka sudah di mobil.  Kaliandra tersenyum. "Tidak apa Del, hal itu udah biasa. Guyonan. Nggak aku ambil hati kok." Edelweis merasa lega.  "Kita mau kemana Del?" tanya Kaliandra.  "Ke kebun binatang Mbak," jawab Edelweis. "Ngapain ke sana?"  "Liputan soal ramai tidaknya wisata saat weekend seperti ini." "Oh ya, katanya ada kebakaran dekat kosmu. Kamu aman kan?"  "Amaan Mbak," Kaliandra meengangguk angguk. Dia menyuruh sopir untuk menuju ke Kebun binatang.  "Bagaimana rasanya menikah Mbak Kal?" tanya Edelweis menggoda.  "Rasa pernikahan atau malam pertamanya?" "Dua-duanya." Edelweis menjawab jujur.  Kaliandra tertawa. "Banyak yang perubah. Kami masih harus adaptasi kebiasaan-kebiasaan baru. Dan walikota masih sering canggung kalau bersamaku." "Masa sih Walikota secanggung itu? pacarnya pasti banyak dulu," Edelweis menutup mulutnya. Kaliandra menjawan dengan tenang. "Dari luar dia memang nampak seperti buaya darat. Tetapi dia jarang menjalin hubungan asmara, karena tekanan dari dalam." "Hmmm..." Edelweis tak bertanya lagi. Dia merasa sungkan kalau tah terlalu banyak tentang kehidupan rumah tangga orang lain.  "Indra bagaimana Del?" "Kemarin kami ketemu, kami makan es krim ZanZan. Dan berita soal pernikahannya itu benar. meski dia masih meminta kami bersamanya." Edelweis bercerita dengan sedih. Hatinya terasa terisi ketika mengucapkan kelimat terkahir. Dia juga tidak tahu apa maskud Indra. Apakah Indra akan menggagalkan rencana pernikahannya. Atau malah menjadikan Edelweis sebagai pacar rahasia.  Edelweis pusing memikirkannya.  "Apa Mbak Kal tahu siapa yang menikah dengan Indra, apakah itu Roro Kinanti?" Kaliandra sangat kaget ketika Edelweis mengucap nama itu. Rasanya seperti kesetrum listrik statis. "Kamu kenal dengan Kinanti?" "Dia pemilik saham terbesar perusahaanku." Kaliandra mendesah. Mereka dikenalkan dan dijodhkan. Namun keduanya belum menyetujuinya. Kudengar Roro juga punya kekasih orang luar. Entahlah berita tentang mereka banyak yang simpang siur." "Bukannya biasanya gosip tentang orang papan atas dittup dengan rapat?" tanya Edelweis heran.  "Yah, nggak semua sih. Ada yang menjual kehidupan mereka juga. Ada yang hanya umpan untuk kemulusan bisnis," kata Kaliandra. "Pak, hati-hati, di sini biasanya banyak yang ngebut tanpa tahu aturan," pesan Kaliandra pada sopirnya. "Iya Bu," jawab sopir pribadinya.  "Kalau Indra minta ketemu lagi, kamu mau Del?" tanya Kaliandra.  "Entahlah. Aku masih bingung dengan perasaanku sendiri Mbak. Kukira aku akan sangat senang dengan munculnya Indra. Bukannya aku nggak senang ketemu dia, tapi rasa senangnya hanya skeitar 70 persenlah. Bukanlah seratus. Ditambah berita soal pernikahan itu, aku sedikit kecewa dan patah hati," kata Edelweis. "Yah, angan-angan kadang memang suka berlebihan. Ketika sudah di depan mata, ternyata tidak se 'wah' yang kita duga. Benar kan?"  Edelweis mengangguk setuju. Kaliandra melihat ke depan. Sebuah motor memotong jalan tepat di depan mobil mereka. Kaliandra berteriak. "Awas Pak!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN