"Yah, angan-angan kadang memang suka berlebihan. Ketika sudah di depan mata, ternyata tidak se 'wah' yang kita duga. Benar kan?"
Edelweis mengangguk setuju.
Kaliandra melihat ke depan. Sebuah motor memotong jalan tepat di depan mobil mereka. Kaliandra berteriak. "Awas Pak!"
Ciiiit!
Sopir menginjak pedal rem kuat-kuat. Mobil berhenti mendadak, membat Edelweis dan Kaliandra menubruk bangku di depannya. Sopir mengmpat kesal. Dia menoleh pada majikannya. "Anda nggak apa-apa Bu?"
Kaliandra dan Edelweis masih berpegangan pada holder pintu. Mereka masih mengatur napas dengan baik.
"Tidak apa-apa Pak," jawab Kaliandra. "Tolong hati-hati ya," pinta Kaliandra.
"Inggeh Bu," jawab sopir sedikit menyesal.
Meskipun yang salah adalah motor, tetapi yang kena rugi banyak adalah kendaraan yang lebih besar. Kecuali mobil walikota sih.
Kaliandra bertanya pada Edelweis, "kamu gimana DEl, ada yang luka?"
Edelweis mengibaskan tangannya. "Aman. Di daerah sini memang begitu, harus super hati-hati. Apalagi di jam pulang sekolah. Banyak dari mereka nyetirnya ngawur. Padahal yang belum sim pasti banyak,"keluh Edelweis.
Kaliandra tertawa kecil. "Aku juga belum punya. Tetapi sudah kemana-mana,"akunya.
"Kok bisa?"
"Bisa donk. Dulu bikin sim itu sulit kalau nggak kolektif. Kalau harus tes sendiri, gak tahu deh bakal lulus atau tidak," Kaliandra menjulurkan lidahnya.
Edelweis tertawa. "Untung sekarang punya sopir pribadi ya," sindir Edelweis.
"Iya dong. Lebih aman begitu. Aku bakal kalut kalau nemuin kejadian seperti tadi. Mereka masih anak-anak ya, apakah sudah cukup umur untuk membawa motor?" keluh Kaliandra.
"Di sini, anak sd juga banyak yang memakai motor Bu," ucap sopir. "Karena transportasi publiknya sudah jarang ada, kecuali jarak jauh. Lebih mudah kemana-mana menggunakan motor. Tetapi efeknya begitu, mereka belum tahu haluan dan kalau menyetir ugal-ugalan. Dikira jalan milik nenek moyangnya."
"Bener Pak, bulan lalu aku meliput jumlah kecelakaan itu banyak melibatkan anak di bawah umur. Ada yang meninggal juga. Serem."
"Kayaknya aku harus ngomong sama Edgar ya, biar ada program edukasi buat masyarakat tentang bahayanya anak di bawah umur mngendarai motor itu. Bisa jadi program bagus itu," kata Kaliandra.
"Edukasi soal itu juga sudah sering dilakukan sih Mbak Kal. Tetapi praktiknya kalah sama kebutuhan. Sekarang angkot jarang, jadi tidak bisa bergantung dengan angkot. Satu-satunya kendaraan yang bisa diandalkan adalah motor. Lagian sekarang uang limaratus ribu sudah dapat motor," jelas Edelweis.
Kaliandra menatap Edelweis dengan mata berbinar-binar. "Kamu sekarang terlihat seperti wartawan betulan Del," puji Kaliandra.
"Apa sih Mbak Kal, aku memang wartawan. tapi masih jadi pupuk bawang," kata Edelweis merendah.
"Pupuk bawang apa, tulisan tepi sungai itu trending lho. Banyak yang suka," kata Kaliandra. "Sepertinya Indra juga membacanya, makanya dia mau datang ke Surabaya."
Edelweis menatap ke luar jendela. Tidka tahu harus merespon seperti apa. Kaliandra menyadari perubahan sikap Edelweis, jadi dia memutuskan tak menyebut nama Indra lagi.
Sepanjang perjalanan Kaliandra mengubah topik terhadap isu-isu liputan yang pernah Edelweis kerjakan. Dia selalu tertarik dengan setiap cerita Edelweis.
"Mbak Kal, setelah ini pasti sibuk dengan agenda sebagai istri walikota," kata Edelweis.
"Yah aku malas sebenarnya, pekerjaanku sendiri juga sudah banyak."
"Tapi masih bisa nemein aku liputan ya," ejek Edelweis.
Kaliandra terbahak. "Aku suka bersamamu. Hilangs udah rasa jenuh dan bosanku. Entah kenapa sekarang rasanya jenuh berada di rumah sendirian. Dulu sih biasa aja."
"Ehem, bau-bau pengantin baru," sindir Edelweis.
***
Kaliandra pulang lepas magrib. Ketika dia sampai di apartemen, ternyata Edgar sudah di rumah. Lelaki itu duduk membaca dokumen yang terpampang di ponselnya sambil tiduran di sofa panjang. Kakinya yang jenjang bahkan tidak muat di sofa. Dia menambahkan satu bangku dari meja makan untuk menopan telapak kakinya.
"Tumben sudah pulang," kata Kaliandra.
"Pegawaiku spertinya kesurupan serempak. Mereka selalu menyuruhku pulang cepat."
Kaliandra tertawa. Dia masih belum percaya telah menikah dengan lelaki pujaan hatinya. Dan lelaki itu malah cuek cuek saja.
Kaliandra menunduk di atas Edgar, kemudian perlahan mengecup pipi Edgar. "Pulang cepat, tetapi di rumah masih bekerja, hmmm," kata Kaliandra kecewa.
Edgar menggaruk pipi yang tidak gatal. Dia belum terbiasa dengan tindakan-tindakan Kaliandra yang lebih ke kontak fisik. Bukannya dia tidak suka. Tetapi dia belum terbiasa. Jadi dia hanya diam saja.
Kaliandra pergi ke kamar mandi. Usia mandi, dia menatap dirinya di depan cermin.
"Apa aku kurang cantik, kenapa Edgar biasa saja? Apa aku harus lebih agresif?" gumam Kaliandra.
Pintu kamar mandi di ketok oleh Edgar.
"Kal, mandimu kok lama? Jangan pingsan di sana."
Kaliandra mendengus. Dia membalut tubuhnya dengan handuk piyama dan keluar dari kamar mandi dengan cemberut.
Edgar masih sibuk dengan ponselnya. "Enaknya kita makan apa ya? Aku lagi pingin sate. Kamu mau apa Kal? Kupesankan sekalian di Hoofod," kata Edgar.
Kaliandra hanya diam kemudian masuk kamar.
Edgar bingung, dia salah apa?
***
Edelweis mendowload aplikasi Masbuk. Ada sebuah permintaan teman, wajahnya tidak asing. Siapa ya? Nama belakangnya mirip Hanif. almubarak. Karena malas menelusuri lagi, Edelweis pun mengkonfirmasi permintaan pertemanan tersebut. Kemudian dia membuka grup kuliner, memantau kuliner mana yang asyik untuk diliput.
Ada lontong balap, rujak cingur, tahu campur, pecel semanggi, lontong kupang, sate kelopo, sate karak, sate lisidu, tahu tek dan lainnya.
Memandang foto-foto makanan itu, Edelweis menjadi ngiler. Hanya dari foro saja, sudah bisa membangkitkan selera makannya. Bagaimana bila mencobanya? Namun dia tidak mungkin mencoba semua makanan itu dalam sehari. Mana yang akan dia liput dulu besok? Dia ingin mencoba aneka sate, apakah sate karak, lisisdu?
Ponsel Edelweis berbunyi. Hanif melakukan panggilan video padanya.
Seperti biasa, Edelweis menghadapkan kamera ke belakang gelas.
"Mati lampu Del? Belum bayar listrik, gajimu kurang ya?" ejek Hanif.
"To the point please, aku sibuk," kata Edelweis sambil matanya menjelajahi foto - foto makanan itu.
"Besok kan undangan dari Bu Roro, hari Sabtu?" tanya Hanif.
Edelweis termenung. "Masa besok sih mas?" tanya Edelweis tak yakin. "Bukannya Sabtu depan?"
"Kan undangannya kamu bawa, cek lagi tanggalnya," kata Hanif.
Edelweis bangkit dair duduknya. Hanif bisa mendengar suara kursi dipindahkan, kemudian beberapa barang ditumpuk dikasur. Namun dia tidak bisa melihat Edelweis.
"Aku vidcall, kok tetep hitam ya. Padahal pingin lihat jerawat di jidatmu itu Del," ejek Hanif.
"Siapa suruh vidcall. Telepon biasa aja kan bisa, emang rese aja sampean," balas Edelweis. "Aku taruh mana ya?" gumam Edelweis.
"Kalau hilang, kita nggak bisa masuk lho," ucap Hanif menakut-nakuti.
"Baguslah, aku mau liputan kuliner aja," kata Edelweis tak sedih.
"Yaudah cari dulu Del, ku mau boker," kata Hanif.
"Boker sana sialan! Ngapain bilang!" maki Edelweis.
Dia menemukannya undangan tersebut ada di meja rupanya. Kenapa dia mencarinya di tas dan di kasur ya? Aduh, Edelweis menggerutu. Dia belum menyiapkan materi apa yang akan dia tanyakan di pabrik pelangi. Dia ingin menelpon balik Hanif, meminta saran.
"Ah tuh orang pasti masih boker," keluh Edelweis.
Ponselnya berdering lagi. Indra yang menelpon. Edelweis ragu mengangkatnya. Deringnya tak mau berhenti. Tangan Edelweis bergerak sendiri di luar kemauannya.
"Halo?"
"Kamu sibuk ya Del?"
"Nggak Ndra. Ada apa ya?"
"Kamu tahu tempat rujak cingur yang enak?" tanya Indra antusias.
"Tahu, kamu mau ke sana?"
"Iya, sama kamu ya?"
"Oke, aku juga mau liputan di sana."
"Besok sore ya, aku jemput di kos."
"Oke."
Edelweis merenung setelah panggilan ditutup. Besok dia harus ke pabrik pelangi bertemu Roro Kinanti. Malamnya bertemu Indra. Ah apa benar yang dia lakukan ini? Ah pasti tidak akan apa-apa.
Dia menelpon Hanif. Telepon biasa.
"Ya Del?"
"Udah kelar urusan alamnya?"
"Udah. Del, kemungkinan kita besok batal ke pabrik," kata Hanif.
Informasi ini membuat Edelweis girang. "Tetapi kenapa?" tanya Edelweis.
"Ada deh, masih rahasia."
"Sialan. Apa akan terjadi sesatu Mas? Gempa bumi?' tebak Edelweis.
"Ngawur aja. Udah lihat besok. Tetapi kamu tetep siapin pertanyaannya."
Edelweis mendesah. "Aku bingung mau ambil isu apa."
"Ambil isu yang menarik tetapi tidak menyinggung mereka. Sejarahnya, peran pabrik terhadap masyarakat sekitar, Csr itu lho Del. Masa udah lupa?"
"Iya iya," jawab Edelweis kesal.
Begitu percakapan berakhir, Edelweis menyusun beberapa pertanyaan untuk besok. Dia akan mengambil sejarah pabrik pelangi. Tidak ada yang istimewa, namun dia harus bisa membuatnya menarik. Edelweis mengehela napas panjang.
Semoga besok dia tidak jadi ke pabrik pelangi.
Esoknya, permintaan Edelweis terkabul. Terjadi demo besar-besaran di depan pabrik pelangi. Para warga yang menuntut ganti rugi mereka terhadap peristiwa pencemaran limbah Pabrik Pelangi.
Mereka ingin pabrik ditutup.