Edelweis melihat berita lewat ponsel. Ratusan warga melakukan demo di dekat Pabrik Pelangi. Untungnya dia belum berangkat ke sana. Di dalam tayangan itu, para warga meminta ganti rugi sebab air dan tanah warga di sekitar tercemar. Selain itu mereka juga menuntut pabrik ditutup saja.
Hanif nampak pada chanel tv lokal menyiarkan berita tersebut.
Awan menelpon Edelweis, sehingga dia terpaksa menutup apliasi mitup nya.
"Ya Pak," jawab Edelweis.
"Kamu sudah lihat berita?"
"Sudah Pak. Semalam dapat bocoran juga dari Mas Hanif."
"Dasar orang itu. Hidungnya lebih panjang dari pinokio," kata Awan lebih kearah memuji timbang memaki. Kamu sebaiknya hindari jalanan yang mengarah ke pabrik pelangi. Sebab pasti macet luar biasa," pesan Awan.
"Siap Pak."
Edelweis menonton berita Hanif sampai selesai. Dia kagum dengan Hanif dengan kepiawaiannya dalam bekerja, tetapi risih dengan sifat usilnya itu. Edelweis hanya geleng-geleng kepala.
"Selamat pagi pemerisa Tv Lokal. Pagi ini Pabrik Pelangi berhenti beroperasi, pasalnya ribuan warga mendatangi p dan melakukan demo di dekat pabrik. Mereka menuntut ganti rugi atas pencemaran yang terjadi baru-baru ini. Mereka menilai Pabrik Pelangi tidak serius dalam menanggapi permasalahan yang terjadi. Selain itu, mereka juga menntut pabrik pelangi agar berhenti beroperasi sampai pencemaran ini selesai ditangani dengan baik. Demikian, saya Hanif Almubarak melaporkan dari Rungkut Surabaya."
***
Kaliandra menyiapkan sarapan spesial. Nasi goreng pakai telur ceplok. Dia sudah belajar keras, dan menggunakan resep yang dibilang paling enak. Dia juga menyiapkan kopi, dan teh dan air putih. Kaliandra juga menaruh beberapa lalapan seperti timun, kacang panjang, dan kol.
Dia bahkan menata semua hidangan terlihat estetik dan indah bila difoto. Dia menunggu Edgar keluar kamar untuk sarapan bersama.
Edgar sudah bersiap dengan baju batik dan celana hitamnya. Dia akan mengahiri beberapa terkait pembangunan jalan dan jembatan di wilayahnya.
"Gar, sarapan yuk," panggil Kaliandra dengan senyum ramah.
Edgar berjalan mendekat, memandangi makanan yang tersaji di meja. "Aku nggak makan nasi goreng pagi hari Kal. Lagian kamu kenapa repot masak sih?" tegur Edgar.
Dia bahkan berlalu tanpa mencicipi masakan istrinya.
Kaliandra menatap Edgar dengan sorot mata sedih. "Dicicipi sedikit saja Gar, bagaimana rasanya," pinta Kaliandra. Suaranya serak.
Namun Edgar tidak memperhatikannya. "Nggak ah, aku sarapan di kanton kantor saja. Aku berangkay ya," kata Edgar berlalu begitu saja meninggalkan Kaliandra yang matanya sudah basah.
***
Hanif pulang ke rumahnya. Dia mau mengambil baju kotor untuk dikirim ke laundry dekat kantor. Namun ketika menyadari pintu depan tidak terkunci, dia menyebut salam dan senang melihat istrinya ada di rumah.
"Kamu kapan datang dek? Gimana Bapak ibu sehat semua?" tanya Hanif merangkul dan mengecup pipi istrinya.
Istrinya hanya memandanginya.
"Kamu kurang sehat?" tanya Hanif menyentuh dahi istrinya. "Istirahat saja dulu. Apa perlu kubelikan obat?"
Istrinya tetap diam. Hanif merasa ada yang tidak beres. Dia mendekati istrinya dan bertanya lembut. "Ada apa?" tanya Hanif.
"Perasaanku akhir-akhir ini nggak enak," jawab istrinya. Dia menatap mata Hanif. "Kamu nggak selingkuh kan Mas?"
Hanif tersentak kaget. Dia tidak menyangka pertanyaan itu keluar dari mulut istrinya. "Kamu ini bicara apa Dek? Aku ini sibuk kerja. Bukan main perempuan," kata Hanif marah. Dia merasa tuduhan itu tidak benar. Dia kecewa dan juga marah.
"Aku hanya tanya Mas, kenapa kamu marah?"
Hanif menatap istrinya dengan geram. "Siapapun suami yang ditanya seperti itu pasti marah. Bila istri meragukan suaminya. Apa alasanmu menuduh begitu?" tanya Hanif.
Sang istri hanya bungkam dan melangkah masuk kamar.
Hanif menghela napas. Sangat sulit mengahadapi apa maunya perempuan. Mereka menuduh tanpa bukti, kemudian ngambek karena lelaki marah atas tuduhan tersebut. Hanif memutuskan untuk pergi keluar rmah. Menjernihkan pikiran.
***
Edelweis sudah berdandan rapi. Terlalu rapi malah. Dia mengganti ransel dengan tas selempang rajutan bermotif bunga tulip. Edelweis ingin meminjam baju Syifa, tetapi dia lagi tidak ingin diinterogasi kedua kakaknya. Dia ingin menikmati waktu bersama Indra,meski hanya sebentar.
Ponselnya berdering. Dari Hanif. Tumben sekali, pikir Edelweis.
"Halo Mas, ada apa?"
"Kamu di mana Del?"
"Lagi di kos?"
"Nggak pingin ngopi di Taman Makan Pahlawan?"
"Nggak Mas, aku ada janji."
"Oh ada Oliver juga di sini," kata Hanif. Dia menyerahkan ponselnya pada Oliver. "Hai Del, nggak pingin gabung di sini?"
"Maaf Mas, aku ada janji dengan orang lain."
Edelweis bisa mendengat nada suara Oliver yang kecewa. "Oh begitu. Baiklah, selamat bersenang-senang."
"Iya Mas, terima kasih."
Sifat Oliver memang baik. Dia bukan orang yang suka memaksakan kehendak, berbeda dengan satu mantannya yang menyebalkan. Edelweis sudah memblokir semua nomer yang berasal dari Baruna. Dia tidak mau Baruna masuk dalam kehidupannya lagi.
Bersama Baruna, bisa membuatnya stres.
Dia bisa bebas dari Baruna, setelah lepas dari kantor bimbingan belajar yang telah digelutinya lima tahun. Kedatangan Baruna merusak citranya sebagai pendidik. Beruntung dia lolos wawancara kerja di media tv lokal. Media yang tidak memandang status, umur, dan juga riawat pendidikan.
Edelweis ingat, dia butuh penyesuaian lebih lama. Namun Awan dan senior Hanif sering membantunya. Hanif dengans ifat usilnya, Awan dengan sifat kebapakannya. Belum lagi, editor yang selalu menenangannya ketika dimarahi oleh Awan.
Edelweis merasa betah bekerja di tv lokal. Dia seperti menemukan rumah baru. Rumah yang nyaman untuk ditinggali.
Tin! Tin!
Sebuah suara klakson terdengar di depan kos. Indra! Begitu pikiran pertama yang terlintas di kepala Edelweis. Dia membuka pintu kamar, dan menguncinya. Dia berlari kecil ke depan pagar. Dugaannya benar. Itu Indra yang sedang menyetir mobil.
Lelaki itu mengedikkan kepala, menyuruh Edelweis masuk ke mobil.
Edelweis tersenyum mengiyakan.
***
"Kita mau ke mana?"
"Katanya mau rujak cingur?" Edelweis balik bertanya.
Indra melihat spion dan tertawa. "Maksudnya di daerah mana?"
"Tahu kok," kata Edelweis menjulurkan lidahnya.
"Oh sekarang jahil ya kamu," ledek Indra mesem.
Edelweis mengabaikan ledekan Indra dan membuka pencarian rujak cingur. Karena maslaah pabrik pelangi, dia belum sempat mencari rujak cingur yang paling bagus. Jadi dia memilih yang ada di halaman utama pencarian saja.
"Kenapa kok memilih rujak cingur Ndra? Memangnya kamu sekarang suka makanan pedas?" tanya Edelweis.
"Semua tentang aku, kamu masih ingat Del?" tanya Indra penuh harap.
"Kalau aku jawab iya, kamu mau apa?" tantang Edelweis.
Indra melirik dengan licik. "Menurutmu apa?"
"Katanya mau menikah dengan Bu Roro," sindir Edelweis.
"Hah, siapa yang bilang?" tanya Indra kaget.
"Kamu."
"Kapan?" tanya Indra kaget. "Kami bahkan baru bertemu minggu lalu di pernikahan Edgar Kaliandra. Mana mungkin akan menikah?"
"Kemarin saat aku menanyakan apakah itu Bu Roro, sepertinya kamu mengenal akrab Bu Roro Kinanti," kata Edelweis mengingatkan.
"Memang ada rencana orangtua akan menjodohkanku dengan seorang anak temannya. Tetapi kami belum bertemu, dan aku tidak ingin menikah dengannya. Apalagi setelah ketemu kamu."
"Maksudmu, kamu beneran belum mau menikah?"
"Rencana perjodohan itu diatur penuh oleh orangtua. Tetapi yang bersangkutan, aku dan perempuan itu belum menyetujuinya."
Edelweis menahan senyumnya. Dia merasa senang dengan jawaban tersebut, tetapi malu untuk mengakuinya. Dia berpura-pura menatap jalan di depan.
"Gimana sudah lega?" tanya Indra. Dia melirik memperhatikan reaksi Edelweis. Indra bisa membaca mimik wajah Edelweis.
"Apanya?" tanya Edelweis pura-pura galak.
Indra tertawa kecil. "Kamu itu bukan tipe orang bisa berbohong Del," puji Indra.
"Lihat depan, aku masih sayang nyawaku," kata Edelweis.
"Kalau aku sayang padamu," kata Indra menatap jalan.
Edelweis mengenggam erat tasnya. Dia berusaha menormalakan detak jantungnya yang seperti bom akan meledak. Dia ingin detik ini mereka terus bersama.
Mereka mendatangi ke salah satu warung yang menjual rujak cingur. Warung itu tepat berada di pinggir jalan raya utama kota Surabaya. Indra dan Edelwis selalu memilih meja yang dekat dengan jalan. Mereka suka menikmati makan sambil melihat pemandangan jalan. Rujak cingur adalah salah satu makanan khas Surabaya. Cingur merupakan bagian sapi yaitu moncong atau mulutnya. Benar, bibir sapi itu direbus lama sehingga dagingnya empuk dan kenyal. Sedangkan rujaknya sama seperti rujak lainnya. Ada buah nanas, bengkoang, tage, timun, tempe dan tahu. Bumbu rujak cingur ini khas dengan petisnya.
"Kalau makan rujak cingur hati-hati Del," kata Indra di sela-sela makan.
"Hmm kenapa?" tanya Edelweis.
"Nanti suaramu bisa mirip sapi. Maaaah. Ini kan mulutnya sapi," Indra menirukan suara sapi.
Edelweis menatap Indra dengan geli. "Mirip banget kamu jadi sapi," ejek Edelweis.
Indra melanjutkan makan. Meski matanya menatap Edelweis lekat-lekat.
"Abis ini kita kemana?"
"Ke taman makan pahlawan yuk," ajak Edelweis teringat dengan Hanif dan Oliver di sana.
"Mau ziarah?" tanya indra konyol.
"Nggak, kita ngopi. Ada temanku di sana," kata Edelweis dengan semangat.
"Temanmu lelaki?" tebak Indra.
"Iya, mereka wartawan senior. Aku sering meroptkan mereka. Mau kukenalin nggak?"
Tentu saja Indra tidak ingin. Dia sedang ingin berdua saja dengan Edelweis. Menebus tahun-tahun yang terlewat. Namun Indra tahu, Edelweis bukan gadis penyendiri yang selalu membutuhkan bantuannya. Kini perempuan yang ada di depannya terlihat bersinar terang. Dia layaknya elang yang terbang sendirian, kokoh dan kuat.
Indra memandang Edelweis cukup lama. Sampai Edelweis salah tingkah.
"Ada apa Ndra? Ada yang aneh di wajahku?"
Ada, kamu tsangat cantik, batin Indra.
"Ada bekas petis di mulutmu," kata Indra menyeringai.
Edelweis menyeka mulutnya dengan tisu. Namun tak menemukan apapun. Dia mendengus karena menyadari bahwa Indra mengerjainya.
Edelweis menatap pemandangan di luar warung, dan memekik girang.
"Ada pelangi!" jerit Edelweis membuat beberapa orang ikut menoleh ke langit.
"Sepertinya daerah sana habis hujan, padahal di sini cerah," gumam Indra.
Edelweis menatap pelangi itu dengan gembira. Rasanya sudah lama sekali dia tidak menatap pelangi. Hari-harinya sibuk dengan pekerjaan, dengan laporan, kasus, deadline. Ah rasanya benar-benar tenang.
Indra mengambil ponsel dan mengabadikan sneyum Edelweis. Dia mengambil beberapa foto, Edelweis tidak sadar. Buru-buru Indra menyimpan kembali ponselnya, ketika Edelweis berbalik.
Edelwis mencoba mengambil foto pelangi dengan kamera slrnya. "Kamu nggak ambil foto Ndra? Bagus lho viewnya dari sini."
"Aku sudah ambil tadi. Pelangi yang paling indah," kata Indra.
Sebuah mobil berhenti lantaran lampu merah. Seorang perempuan membuka kaca pintu mobilnya. Dia berharap sesak di d**a dan pusing kepalanya bisa lenyap dengan udara segar.
Tetapi yang dilihatnya adalah wajah dikenalnya. "Indra Wibisana dan Edelweis? Mereka saling kenal rupanya," gumam perempuan itu.