Kaliandra memasang wajah masam seharian. Bahkan ketika Edgar pulang ke apartemen. Edgar langsung mandi dan berganti baju santai. Dia melihat Kaliandra hanya duduk di sofa menonton televisi. Tetapi pandangannya tidak di sana.
"Kal, kamu sudah makan?" tanya Edgar mengambil air putih di kulkas.
"Belum," jawab Kaliandra singkat.
Indra mengecek tidak ada satupn bahan makanan di kulkas. Dia memang tidak pernah menyentuh dapur. Selama hidup di apartemen sendirian, Edgar lebih memilih beli makanan. Dia tidak akan repot cuci piring. Tetapi setelah menikah, dia berharap berbeda.
Kadang dia iri dengan para pegawai yang pulang dengan semangat, dan menolak ajakan makan di luar oleh Edgar.
"Enakan makanan istri, Pak," begitu jawab mereka.
Edgar hanya menjawab Ooh. Karena dia tidak tahu seperti apa enak itu makanan buatan istri. Kaliandra pun tadi pagi hanya masak nasi goreng. Padahal dia tidak pernah suka makanan itu.
"Aku akan pesan makanan, kamu mau apa?" tanya Edgar.
"Aku tidak lapar," jawab Kaliandra.
Edgar mengernyit. Pasti ada yang salah. Apakah Kaliandra sedang datang bulan? Kenapa bar beberapa hari menikah, sepertinya sikap Kaliandra jadi dingin padanya. Apakah cintanya sudah luntur?
Edgar sama sekali tidak mengerti.
Pesanan makanan Edgar datang. Sebungkus nasi padang lengkap dengan rendangnya. Bau langsgung menyergap hidup Kaliandra. Perutnya sudah perih, namun dia tidak nafsu makan. Dia merasa pernikahannya salah. Dia merasa Edgar tidak menghargai dia sebagai istri. Dia merasa lelah dengan pekerjaan rumah yang tak ada habisnya. Dia lelah dan sumpek.
Edgar membuka bungkus nasi padang di meja makan, sednagkan meja tersebut dekat letaknya dengan sofa tempat kaliandra duduk. Dia menyuap dengan nikmat. Kaliandra merasa air lirnya menetes, tetapi dia masih marah dengan Edgar.
Jadi dia tetap keras kepala dan mata memandang televisi yang tidak dia tahu apa acaranya. Sesekali Kaliandra melirik ke nasi yang disendok oleh Edgar. Bumbu lodeh sayur nangka, dan irisan daging rendang. Ditambah sayur daun singkong dan sambal.
Edgar akan menyuap lagi, ketika melihat Kaliandra menatapnya dengan lama. "Kamu mau?" tanya Edgar.
"Nggak," Kaliandra memalingkan wajah kembali ke layar televisi.
Edgar mengangkat bahu. "Ya sudah kalau tidak mau, kuhabiskan lho ya," kata Edgar.
Dia melahap habis nasi padang tanpa sisa.
Kaliandra merasa semakin marah.
***
"Minta satu Bro," kata Hanif menengadahkan tangan.
"Tumben merokok Bro," ejek Rio mengambil satu batang rokok putihan miliknya.
"Lagi sumpek," jawabnya asal.
"Soal pabrik pelangi? Yakin nih kita begadang nungguin ownernya keluar?" kata Rio.
Oliver sibuk mengetik sesuatu di laptopnya menjawab. "Dia sudah keluar dari pabrik sejak sore. Ngapain buang waktu untuk mak lampir itu," Oliver melihat mobil itu keluar dari pabrik dengan kawalan ketat. Lalu mobil pribadi Roro Kinanti menghilang di kerumunan jalan raya.
"Kita cari topik yang lebih bagus," saran Oliver.
"Memangnya aku percaya?' ejek Hanif. "Kau si wartawan paling gigih tidak mungkin meninggalkan buruan."
Rio tergelak mendengarnya. "Bro, dia mengolokmu," lapor Rio pada Oliver.
"Lu nggak pulang Nif? Dicariin bini ntar," sindir Oliver. "Kalau aku sama Rio bebas. Jomblo soalnya."
"Katanya kau mau jadi saudaraku, Liv?" ejek Rio.
"Kalau Edelweis mau," kata oliver tersenyum masam.
"Kutelepon suruh ke sini gimana?" usul Rio.
"Udah tadi, katanya ada janji sama orang. Mungkin cowok," kata Oliver. "Jangan ganggu kencan orang," pesan Oliver.
"Janjian sama siapa ya?" gumam Rio penasaran. "Kau nggak tahu Mas?" tanya Rio pada Hanif.
"Emangnya aku babysitternya dia? Harus selalu tahu tentang Edel?" sindir Hanif mengebulkan asap di wajah Rio.
Rio tersenyum geli. "Kali aja tahu. Biasanya kan kau cenanyang, Mas."
"Cenayang apaan?" balas Hanif dengan nada tinggi. Suasana hatinya sedang buruk. Ditambah rumor yang tidak benar membuatnya bertambah buruk.
Oliver menyadari suasana hati hati Hanif sedang buruk. Dia mengalihkan pembiacaraan mereka. "Yo, beli bubur kacang ijo, di ujung sana. Enak nih abis hujan, makan yang anget-anget."
"Siap!" Rio langsung berangkat.
"Lu kenapa sih Bro, pulang sana daripada nanti berita wartawan saling baku hantam," kata Oliver tenang.
"Males pulang, bini gue ngajak berantem terus," kata Hanif menggerutu.
"Mungkin lagi pms Bro, biasanya cewek kan begitu. Marah-marah tanpa sebab," kata Oliver menenangkan.
"Pusing kepalaku Liv, aku numpang tidur di kosmu aja lah," kata Hanif.
Sebenarnya Oliver tidak setuju. Dia berpikir sebaiknya apapun masalah rumah tangga, segera diselesaikan. Namun dia tidak mau menggurui Hanif. Hanid pasti butuh waktu. Jadi Oliver memberikan izin. "Okelah," kata Oliver tanpa banyak tanya lagi.
Rio datang membawa nampan berisi tiga mangkuk kacang ijo. Dari mangkoknya masih keluar asap panas yang menggugah selera.
Oliber menyodorkan semangkuk pada Hanif. "Makan, atau ntar lu sakit. Yang repot temen," kata Oliver.
Hanif tersenyum masam. "Kukira lu bakal tinggalin gue di sini, terus tinggal geser dikit deket kuburan," kata Hanif.
Rio tertawa dengan guyonan itu. Oliver membalas, "Ntar kubikin edisi spesial buat mengenamu."
Hanif terbahak dan menimpuk Oliver.
Suasana setelah hujan itu memang cukup dingin. Sebagian besar orang memilih duduk diam di rumah. Sebagian yang lain terpaksa beraktifitas di luar rumah. Para kuli tinta itu sedang memantau perkembangan demo di Pabrik Pelangi.
Cuaca boleh saja dingin, dan hidup tidak adil. Namun ketika memiliki orang-orang yang disayang, hati bisa berubah menjadi hangat.
***
"Ndra, antar aku ke rumah Mas Galih ya," pinta Edelweis.
"Kenapa nggak pulang ke kos?" tanya Indra.
"Sebab malam minggu," kata Edelweis mengedipkan mata. "Aku ingin mendongeng untuk Amrita. Dia sangat suka dongeng, dan mau jadi sepertiku, katanya," Edelweis tertawa bila mengingatnya.
"Sepertinya dia anak yang manis," kata Indra.
"Lebih dari manis, dia cantik seperti ibunya, dan cerdas seperti ayahnya. Paket komplit," puji Edelweis.
"Aku juga mau kalau dikenalin," kata Indra menawarkan diri.
"Nanti dia banyak maunya," kata Edelweis memperingatkan,
"Aku malah senang, sepi jadi anak tunggal," kata Indra.
Edelweis berdeham dan mengalihkan pembicaraan. "Bisnismu bagaimana Ndra?" tanya Edelweis.
Indra tersenyum masam. "Tidak mudah memang membangun bisnis baru. Harus punya tim yang solid. Aku masih mencari pekerja yang mumpuni. Sayangnya kamu tidak mau," Indra melirik Edelweis. "Kalau kamu ada teman yang bergabung di tempatku. Kabari ya. Tapi aku juga belum bisa kasih gaji besar, karena masih merintis."
"Iya aku akan bagikan informasi lowongan pekerjaan ya, eh belok situ Ndra," kata Edelweis. "Nah sudah sampai."
Edelweis turun, Indra juga ikut turun.
Sebuah motor juga berhenti di depan pagar. Ternyata Galih dan Amrita. Gadis kecil itu segera berlari ketika melihat Edelweis.
"Tante..." panggil Amrita sayang, sambil memeluk kaki Edelweis.
Edelweis mengelus rambut Amrita dengan penuh sayang. Indra menatapnya. Sedangkan Galih menatap Indra dari ujung kaki sampai kepala.
"Mas Galih, ini temanku, dia..."
"Indra, ketua osismu dulu kan" tebak Galih.
"Sudah kuduga, kecerdasan menurut dari ayahnya," gumam Edelweis.
Indra menjabat tangan Galih. "Apa kabar Mas?" tanya Indra dengan seramah mungkin.
"Kamu bukannya mau nikah?" kata Galih dengan tajam.