Kerikil Tajam (2)

1202 Kata
Sedari sore Amrita sudah merengek meminta dibelikan martabak. Syifa sampai heran, anaknya tidak ada bosan-bosannya memakan martabak. Nyaris tiap hari mereka membelikan Armita, martabak atau terang bulan. Namun hari ini dia juga minta lagi. "Mungkin di masa depan, bakal jadi bos martabak," gumam Syifa.  Galih sebenarnya lelah, namun dia tetap menuruti permintaan anak semata wayang. Mereka pergi ke ujung gang untuk beli martabak. Sepulangnya Galih melihat sebuah mobil bercat hitam berhenti di depan rumahnya. "Siapa ya?" gumam Galih. Begitu pintu mobil terbuka dan Edelweis turun, Amrita juga turun dan menyambut tantenya dengan pelukan. Galih mengamati siapa yang mengantar Edelweis. Dia yakin itu bukan mobil Walikota atau istrinya. Galih tahu kalau istri walikota adalah teman Edelweis dan mereka sering pergi bersama.  Dari platnya saja, bukan plat Surabaya. Plat B adalah Plat Jakarta.  Rasa penasaran Galih terjawab ketika lelaki itu juga turun dari mobil dan mendekati Amrita. Dia menyapa ramah Amrita. Galih memarkir motornya. Wajah lelaki yang mengantar Edelweis tidaklah asing. Wajah itu dia temui hampir setiap hari saat Edelweis masih SMA. Dia adalah orang yang sama yang meminta Edelweis untuk jadi pacarnya. Galih tidak mungkin lupa. Wajahnya Indra memang tidak berubah jauh, selain kumis dan janggut tipis yang mengisi wajahnya.  "Kau... Indra, ketua osismu dulu kan?" tebak Galih.  "Sudah kuduga, kecerdasan Amrita menurun dari ayahnya," gumam Edelweis.  Indra menjabat tangan Galih. "Apa kabar Mas?" tanya Indra dengan seramah mungkin.  "Kamu bukannya mau nikah?" kata Galih dengan tajam. "Apa?" tanya Indra kaget. Dia heran, kenapa dia sendiri yang belum tahu soal pernikahannya sendiri.  "Kau akan menikah tahun depan, aku sudah dengar itu!" Indra merasa tidak nyaman dipelototi oleh kakak Edelweis. Tetapi dia juga akan melakukan hal yang sama bila ada di posisi Galih, mungkin lebih parah. "Ehm, semua itu hanya rumor Mas," jawab Indra.  Galih beralih menatap Edelweis yang menggendong Amrita dengan satu tangannya.  "Kau masuk dulu, aku ingin bicara dengan Indra," kata Galih. Edelweis menolah. Dia menurunkan Amritra dan menyuruhnya masuk. "Bilang ibu, Tante Edelweis sama temannya mau mampir sini." "Edel," tegur Galih. Edelweis mengbaikannya. "Cepat ya sayang." Amrita berlari masuk rumah. "Ibu..." "Mas, kita bicara di dalam. Malu dilihat orang," kata Edelweis Indra menahan senyumnya. Dia selalu terkejut dengan sikap Edelweis yang sekarang. Dulu dia sangat takut pada kakaknya. Entah sejak kapan gadis penakut itu seberani ini. Menentang sekaligus memerintah kakaknya. Menjadi jurnalis sepertinya membuat Edelweis banyak berubah.  Indra ingin bergabung, tetapi sepertinya Galih tidak akan suka. Jadi sebaiknya dia undur diri.  Sambil tersenyum, Indra berkata, "Aku langsung pulang aja Del. Sudah malam. Lagipula Mas Galih pasti ingin istirahat." Edelweis ingin membantah, namun melihat wajah Galih yang tidak enak. Dia mengiyakan. Dia akan berbicara lebih dulu dengan Galih. Indra menyalami Galih, dan mengedipkan mata pada Edelweis kemudian pergi. Kini Galih melototi adik perempuannya. "Kita harus bicara," tegur Galih dengan suara dingin.  Edelweis mengangguk.  Begitu Galih dan Edelweis memasuki rumah, Syifa celingukan mencari sosok teman yang dimaksud oleh anaknya.  "Lah mana tamunya Del?" tanya Syifa.  "Sudah pulang Mbak, takut dicincang mas Galih," gerutu Edelweis. Galih memasang wajah kaku, tidak peduli dilirik tajam oleh Syifa. "Kamu duduk Del, Syifa, kamu temani Amrita," kata Galih dingin. Syifa melirik sekilas. Suaminya itu sedang marah. Dia tidak tahu penyebabnya. Namun dia harus menuruti perintah suaminya itu. Mungkin adik kakak ini akan berbicara tentang tamu yang dimaksud.  Mungkin Galih juga akan menginterogasi tamu Edelweis. Sebab dulu mantan pacar Edelweis sedikit bermasalah dan membuat kekacauan.  Syifa mengajak Amrita masuk ke ruang makan.  "Ayah dan tante mana Ma?" tanya Amrita.  Syifa sudah memindahkan martabak ke piring dan membuatkan es teh. "Mereka sedang bermain game. Tidak boleh diganggu ya," pesan Syifa.  "Kok Amrita tidak diajak?" tanya gadis itu dengan kedua tangan yang penuh makanan.  "Makan satu satu ya, dan gunakan tangan kanan," kata Syifa mengambil makanan di tangan kiri Amrita. "Nanti ya, berikan waktu buat mereka, mengerti?" Amrita mengangguk, dia sibuk denganmartabak di depannya. *** Pagi-pagi buta, sebuah ponsel berbunyi sangat keras. Oliver dan Rio terbangun. "Ponsel siapa sih Liv? tanya Rio masih merem. "Kayaknya punyanya Hanif," jawab Oliver.  Hanif masih mendengkur. Dia tidur dekat tembok, Rio di tengah dan Hanif di ujung. Mereka bertiga tidur memutuskan di kos Oliver. Rio juga, bukannya pulang malah ikut mereka berdua. Mereka mengobrol sampai tengah malam, dan baru saja terlelap. Terbangun lagi, gegera ponsel Hanif.  "Matiin aja teleponnya," kata Rio.  "Kalau dari istrinya gimana?" Oliver cemas. "Dia lagi perang sama istrinya ya? ah untung masih single gue," Rio menyingkirkan tas Hanif ke tembok lain dan menutupnya dengan sarung. Ponsel masih berbunyi, namun suaranya sudah teredam oleh sarung. Rio dan Oliver melanjutkan tidur mereka. *** Keesokan harinya, Hanif sangat kaget melihat istrinya di kantor tempat dia bekerja. Hanif bangun sekitar jam tujuh. Dia bersama Rio dan Oliver memeriksa lokasi demo, apakah aan demo lanjutan atau tidak. Ketika tidak ada, maka dia pergi ke kantor. Baru sampai gerbang dia melihat perempuan yang dia kenal. "Sedang apa kamu di sini?" tanya Hanif dengan suara lirih. Bagaimanapun dia berada di wilayah kerja, dia tidak mau membuat keributan dan menjatuhkan wibawanya. Hanif turun dari sepeda motornya. Dia mendekati perempuan itu. "Semalam tidur di mana kamu Mas?" tanya istrinya. Wajahnya bengap karena menangis semalam. Dia tidak bisa tidur. Pikirannya melayang kemana-mana.  "Di kosan teman. Kita pulang, bicara di rumah. Nggak enak dilihat bos dan teman-temanku," kata Hanif mengajak istri pulang.  Dia berjalan keluar gerbang, namun istrinya masih diam di sana. Hanif berbalik dan mendekati istrinya. "Ayo!" Kata Hanif menggandeng tangannya.  Saat itulah Edelweis yang berada di lantai atas melihat Hanif. Ketika melihat Hanif akan keluar gerbang kantor,  Edelweis menelponnya. Dia ingin menanyakan kelanjutan undangan Pabrik Pelangi. Hanif melihat ponselnya, Edelweis menelpon di saat yang tidak tepat. Istri Hanif membaca nama orang yang menelpon suaminya. Hatinya terasa sakit, namun dia hanya bisa mengigiti bibirnya. "Ya gimana?" tanya Hanif agak ketus. "Mas, kamu mau ke mana? Lanjutan pabrik pelangi gimana?" tanya Edelweis sambil mengintip dari atas. "Sorry, aku ijin hari ini. Kita bicarakan lain kali saja. Kamu bisa tanya Awan nanti," kata Hanif.  "Oke." Edelweis tidak mengatakan bahwa dia sudah tiba di kantor dan melihat Hanif keluar kantor. Dia hanya mengangkat bahu dan menemui Awan.  Edelweis mengetuk pintu. Namun tak ada jawaban, dia membuka pintu, dan Awan tidak ada. Seorang rekan kerja lewat ditanyai oleh Edelweis.  "Pak Awan kemana?" tanya Edelweis.  "Nggak tahu Mbak. Sepertinya belum datang,"jawabnya. Edelweis duduk di meja kerjanya. Editor sudah duduk manis di sana mengerjakan sesuatu.  "Cuma Pak Editor yang rajin di kantor ini," puji Edelweis. "Demi istri dan anak bisa makan," jawab Editor.  Edelweis tertawa. "Pak Awan tumben banget nggak ada di kantor," gumamnya.  Selama bekerja di kantor tv lokal. Awan jarang sekali ambil libur atau cuti. Dia lebih sering berada di ruangannya atau di ruang siaran. Dia adalah orang paling sibuk di kantor ini. Jadi melihat dia tidak di kantor, rasanya aneh.  "Mungkin lagi rapat dengan pemegang saham," kata Editor. "Saham pabrik lagi anjlok gegara demo kemarin," kata Editor. "Lah memangnya Pak Awan itu ikut memiliki saham di sana?" "Bu Roro itu kan saudara jauh Pak Awan," kata Editor.  Duar! Sesuatu meledak di dalam kepala Edelweis. Mana mungkin dia bisa menghindar bila peremepuan itu adalah saudara Awan. Cepat atau lambat Edelweis pasti bertemu dengannya lagi. Baru saja dia berkata dalam hati. Dia melihat Awan berjalan berdampingan dengan Roro Kinanti masuk ke kantor tv lokal.  Edelweis tercengang. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN