Kerikil Tajam (3)

1039 Kata
Roro Kinanti berjalan menuju kantor tv lokal. Dia akan membuat konfrensi pers di media tersebut. Awan mendukung sepenuhnya.  Entah bagaimana caranya Awan bisa membujuk Roro untuk membuat tayangan konfrensi pers terkait pencemarah dan demo pada pabrik Pelangi. Roro Kinanti tidak mengetahui bagaiaman prosedur kerja di pabrik tersebut. Dia mendapat saham lantaran ayahnya.  Dan ketika muncul masalah pencemaran, Roro tidak ambil pusing. Sebab sudah diatasi oleh manager di pabrik. Lain halnya bila sudah mendatangkan demo dan diliput banyak media. Dia tidak bisa diam saja.  Awan menjelaskan singkat tentang acara yang akan diikutinya. Namun perhatiannya teralihkan pada hal lain. "Nona Edelweis, selamat pagi," sapa Roro Kinanti.  Awan terdiam karena heran kenapa Edelweis ada di kantor.  Edelweis tersenyum ramah. "Selamat pagi juga Ibu Roro." Dia menatap pada Awan meminta penjelasan.  Awan menangkap umpan tersebut. "Del, nanti siang, Bu Roro akan mengadakan konfrensi pers di media kita. Nanti kamu atau Hanif yang akan memandunya," kata awan.  "Siap Pak," kata Edelweis.  Awan menggiring Bu Roro untuk masuk ke ruang kerjanya. Sedangkan Edelweis segera melesat pergi ke ruang siaran menyiapkan banyak hal.  *** Hanif kembali ke kantor setelah menyelesaikan urusan dengan istrinya. Dia tidak tahu kenapa istrinya memiliki pikiran aneh tentang kedekatannya dengan Edelweis. Dia sudah menjelaskan dengan baik dan berharap istrinya mengerti, hubungan dia dan Edelweis hanyalah hubungan kerja. Tidak lebih tidak kurang.  Begitu memasuki kantor, suasana terasa suram. Banyak pegawai yang berwajah kusut dan takut. Ada apa ini? Dia pergi ke ruang siaran. Beberapa orang saling menggelengkan kepalanya. "Duh Edelweis kok berani ya, bicara seperti itu?" "Untung saja bukan live, masih bisa diedit." Hanif menyela mereka. "Ada apa?" "Kacau siaran tadi. Edelweis bikin ulah," kata seorang kameramen.  "Bikin ulah apa?" tuntut Hanif.  Dua kameramen itu menceritakan kejadian tadi. Mereka menceritakan ada salah satu pengiklan yang datang kemari untuk konfrensi pers. Pengiklan itu CEO nya Pabrik Pelangi.  "Terakit demo pencemaran itu?" tanya Hanif. "Betul, dan tugas broadcastnya jatuh pada Edelweis. Nggak tahu kenapa Edelweis yang dipilih," ujar kameramen satu. "Mungkin karena dia cantik?" tebak kameramen dua. "Gosipnya Bu Roro sendiri yang meminta, padahal Pak Awan sudah menolak keras." Hanif juga merasa aneh. Kenapa Bu Roro memiliki ketertarikan pada Edelweis. Apakah Edelweis telah menganggu Bu Roro. Tetapi dalam hal apa? "Terus apa yang terjadi?" tanya Hanif lagi.  "Edelweis mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan Bu Roro. Dia bahkan mengkritik iklan yang membungkam media tv lokal," kata kameramen satu. "Apa?" Hanif terperanjat. "Dia bicara soal iklan juga? Gila tuh anak." Kameran dua mengangguk- angguk. "Entah lagi kesurupan atau bagaimana, Edelwesi berani mengatakan hal itu. Padahal Awan sudah memberikan kode keras pada Edelweis. Akhirnya proses perekaman gambar bakal mengalami perombakan besar. Hanif turut menyesal atas kejadian itu. Sayangnya kini dia tidak bisa membantu memperbaiki keadaan.  "Sekarang di mana Edelweis?" tanya Hanif.  "Masih di ruang studio siaran sama Awan. Bakal habis nasib Edelweis di tangan Awan," kata kameran dua.  Hanif dan dua kameramen berpisah. Hanif pergi menuju ruang studio siaran. Studio itu kedap suara dari luar. Namun Hanif bisa melihat dari kaca lebar yang memisahkan dari ruangan luar. Edelweis duduk di kursi, wajahnya menunduk. Sedangkan Awan berdiri dan berjalan mondar mandir.  Meskipun kedap suara, Hanif tahu Awan sedang meneriaki Edelweis. Sedangkan gadis itu meringkuk saja. Hanif merasa kasihan. Dia juga ikut andil dalam kesalahan Edelweis, seharusnya dia yang memandu acara tersebut. Namun kali ini apakah dia bisa membantu gadis itu? Di dalam ruangan, Awan rasanya ingin meledakkan gedung ini. Seharusnya dia tahu, seharusnya dia bisa menduga hal ini akan terjadi. Membiarkan Edelweis dengan semangat yang belum terkontrol itu pasti akan membuat masalah. Dan masalah ini bukan masalah biasa, dampaknya bisa sangat besar. Mereka akan kehilangan satu iklan yang cukup besar dalam opersional mereka.  "Kenapa kau lakukan itu Edelweis?" tanya Awan setelah membentak-bentak Edelweis.  "Saya punya alasan pribadi Pak," kata Edelweis. "Saya hanya menyampaikan pendapat pribadi." Pendapat pribadi di saat kerja sebagai wartawan? Dan mengkritik langsung pada narasumber yang notebene memberimu makan?" Sindirian tajam itu melukai harga diri Edelweis.  Awalnya dia tidak berniat untuk menyinggung hal tersebut, namun Bu Roro menganggap bahwa kejadian pencemaran adalah sesuatu yang lumrah terjadi. Untuk apa dibesar-besarkan? Mereka berjanji akan memberikan ganti rugi. Edelweis tidak bisa diam mendengarnya.  "Aku ingin kau mendinginkan kepalamu beberapa hari. Setelah itu kau harus minta maaf pada Bu Roro," kata Awam. "Tidak ada kata tapi!" "Pak Awan! Anda tahu semua yang saya katakan benar, pencemaran itu merampas hak sehat banyak orang, dan dia bisa gampangnya mengatakan hal itu di depan kamera. Dia yang harusnya instropeksi diri." Edelweis berdiri dan beragumen.  Hanif melihat dari luar ikut merasa kepalanya pening. Apalagi Awan.  "Itu bukan hakmu bicara di sini. Di sini kau pekerja, buruh. Harusnya kau ingat itu sebelum mulutmu bicara." Edelweis menggertakkan giginya. Rasa marah, kecewa dan sedih bercampur jadi satu. Dia tahu dia salah, tetapi tetap saja, kenapa mereka tidak mengerti? "Selama ini, kupikir, Pak Awan, Mas Hanif bisa berdiri di depan garis untuk membela masyarakat. Tetapi demi iklan, kita sudah menggadaikan kemanusian kita." Awan tidak bergeming atau tersentuh dengan ucapan Edelweis. Dia justru merasa lebih marah. "Kalau kau ingin smeuanya berjalan sesuai idealismu sendiri. Dirikan media mu sendiri. Sanggup tidak bertahan tanpa investor? Kalau kau ingin dipekerjakan oleh perusahan, kau harusnya mendahulukan etiket kerja, bukan pendapat pribadimu seperti ini." Awan melihat Hanif menunggu di luar. Dia mendengus. Awas saja kalau Hanif membela Edelweis kali ini. Dia juga akan memberikan sangsi tegas pada mereka berdua. Apalagi Hanif malah menghilang saat dibutuhkan.  "Pikirkan lagi kesalahanmu. Aku ingin permintaan maaf keluar dari mulutmu sendiri!"  Awan keluar ruangan membanting pintu. Edelweis sampai tersentak. Dia mengusap bulir belir bening di sudut matanya. Dia masih belum menerima kesalahannya. Dia merasa tidak melakukan kesalahan.  Awan berjalan cepat ke arah Hanif.  "Ikut aku ke ruanganku, sekarang!" Awan mendesis, tetapi Hanif mendengarnya dengan jelas.  Dia mengekor di belakang Awan. Dia harus menyiapkan kata-kata untuk memberikan penjelasan mengenai absennya dia tadi pagi. Dia yakin Awan pasti mengerti kalau urusan rumah itu juga sama pentingnya dengan kantor. Lagipula dia juga jarang absen. Bisa dibilang dia terlalu bersemangat kerja.  Begitu mereka berada di ruangan, Awan sengaja mengunci pintu kantor.  Hanif merasa ada yang tidak beres. Ada apalagi ini.  Awan terlihat ragu-ragu mengatakannya. Namun dia sudah banyak mengalami masalah karena Edelweis. Dia juga ingin Hanif tahu. "Aku sudah tahu, siapa yang melaporkan Edelweis ke kantor," kata Awan.  Jantung hanif berdetak lebih keras. "Siapa Wan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN