Awan Gelap

1129 Kata
Flash back Awan sedang memeriksa laporan rating dan juga jumlah penonton setiap hari. Dia sedang puas dengan laporan Edelweis. Gadis itu memiliki bakat untuk membuat tulisan feature yang enarik. Dia bisa menarik banyak pembaca baru. Pujian dan masukan positif ditujukan pada Edelweis.  "Anak ini sudah memiliki fans garis keras rupanya," gumam Awan. Seseorang mengetuk pintu.  "Masuk," kata Awan. Lelaki itu masuk ke kantor Awan. Kacamatanya sangat tebal, entah berapa minusnya. Dia memakai kemeja lusuh dan celana panjang yang kotor, ada bekas kopi di celananya. Bekas itu bahkan sudha mulai memudar saking lamanya.  "Bagaimana?" tanya Awan menatap lurus pada lelaki itu. Lelaki itu mengangguk. Dia menyerahkan hasil permintaan Awan untuk menyelidiki siapa penelpon yang melaporkan Edelweis. Awan membayar orang itu, kemudian orang itu pergi. Dia mulai membaca hasil penyelidikan lelaki itu. Dan dia kaget, sebab alamat dan foto perempuan itu, Awan mengenalnya.  Dia adalah.... Flash Back Selesai. *** Awan mengamati Hanif. Sepertinya Hanif juga memiliki masalah di rumah. Mulanya Awan tidak percaya, dan meminta orang tersebut untuk memastikannya lagi. Hasilnya tetap sama. Jadi di sinilah dia, memanggil Hanif untuk memberitahukannya.  "Aku sudah tahu siapa yang melaporkan Edelweis tempo hari," kata Awan. Reaksi Hanif terkejut dan penasaran. Ternyata Hanif belum memiliki dugaan, atau dia memang tidak pernah terpikir ke arah sana.  "Siapa Wan?" tanya Hanif. "Bu Roro?" Awan mendelik. "Kenapa kamu berpikir itu Bu Roro?" "Tentu saja. Hanya dia yang berselisih dengan Edelweis. Aku yakin mereka saling mengenal di luar kantor." Awan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia mulai ragu untuk mengatakan kebenaran pada Hanif. Awan takut Hanif akan kalap dan menghajar istrinya.  Sebaiknya dia mencari cara agar Hanif dan Edelweis tidak selalu terlihat bersama. Mereka harus dipisahkan. Awan tidak menyangka akan ada kejadian seperti ini. Terlebih lagi, satunya adalah jurnalis senior yang paling dihormatinya.  Meski demikian, Awan yakin kesalahpahaman ini terjadi bukan sepenuhnya salah Hanif. Dia akan memikirkannya lagi nanti. "Bener Bu Roro atau bukan Wan?" tuntut Hanif tidak sabar.  "Bukan," tegas Awan. Dia akan menyimpan identitas pelapor sementara ini.  "Lalu siapa?" tanya Awan.  "Rahasia." "Bah!" umpat Hanif. "Kau menyuruhku ke ruanganmu, mengunci pintu, dan menyebutnya rahasia. b*****h kau!" Awan mengabaikan sumpah serapah Hanif. Dia berjalan membuka pintu.  "Sudah. Kau keluar. Kita dikejar deadline," kata Awan masam.  Hanif merasa sangat kesal. Merasa dipermainkan oleh Awan. Dia pergi ke luar dengan langkah terpaksa.  Awan menutup pintu. "Belum saatnya," gumam Awan. Dia berjalan ke meja, duduk di kursi dan kembali bekerja. Slogan hidupnya, Dikejar Daedline.  *** Edelweis keluar studio penyiaran. Rambutnya acak-acakan karena dia sendiri yang mengacak-acaknya. Setiap dia melangkah, Edelweis merasa semua orang memandangnya diam-diam. Kemudian berbisik - bisik. Setiap Edelweis memandang ke arah mereka, mereka segera memalingkan muka.  Mereka memperlakukan Edelweis dengan aneh. Tetapi Edelweis tidak peduli. Dia tetap berpegang teguh dengan prinsipnya. Dia tidak melakukan kesalahan. Dia hanya kesal karena Awan tidak membelanya.  Edelweis kembali ke mejanya. Editor sedang libur hari ini, Edelweis merasa kesepian tanpa teman bicara. Kemudian dia melihat Hanif keluar dari ruangan Awan.  "Mas Hanif," panggil Edelweis.  Hanif menoleh dan tersenyum masam. "Kau buat masalah besar ya, anak ayam." Edelweis menegaskan dagunya. "Aku tidak membuat kesalahan," kata Edelweis tegas, tanpa rasa sesal.  Hanif mengangkat kedua tangannya.  "Apa artinya itu?" tanya Edelweis.  Hanif tersenyum. "Taruhan berapa lama kau akan bertahan dengan idealismu yang konyol itu?" "Lebih lama darimu," ejek Edelweis.  Hanif menyeringai, dia berbalik akan pergi, namun Edelweis menahannya.  "Mas Hanif," panggil Edelweis.  "Apa?" tanya Hanif ketus.  "Mau kemana?" "Kenapa memangnya?" tanya Hanif. Lalu dia tersenyum, "kau malu kan? Kau nggak punya teman kan? Seluruh orang di gedung pasti membicarakanmu." Edelweis mendesah. Dia sudah merasakan perlakuan mereka berbeda.  "Makanya jaga sikap," sindir Hanif.  Edelweis menjulurkan lidah.  "Kutarik lidahmu, biar dijadikan komponen rujak cingur." "Mas Hanif," protes Edelweis. Dia memasang wajah memohon.  "Apalagi?" tanya Hanif.  "Duduk sini saja," pinta Edelweis.  Hanif mendesah, dia menggeret kursi dan duduk di kubikel Editor. Edelweis memang begini sifatnya, sering bersikap manja padanya. Entah dia sadari atau tidak, Hanif juga membiarkannya. Adanya Edelweis di kantor ini, membuat para lelaki seperti melihat oase di padang pasir.  Dia ini memang mampu membuat orang lain sulit menolak permohonannya. Kalau saja, dia belum menikah maka... Pikiran itu lansgung ditepis kuat oleh Hanif. Dia sudah menikah, harus diingat itu.  "Apa yang dikatakan Bu Roro padamu?" tanya Hanif.  "Dia menyuruhku angkat kaki dari kantor ini," kata Edelweis membuat Hanif tertawa. "Dia juga menyebutkan bahwa dia juga bisa mencari wartawan yang lebih cantik dan cerdas daripada aku." Hanif tertawa lagi. Edelweis heran dengan selera humor lelaki ini.  "Kau balas apa?"  "Aku hanya melototi dia, sebab Awan langsung masuk menyela percakapan kami. Dan meminta kamera dimatikan," kenang Edelweis. "Pak Awan sangat marah. Dia menyuruhku berdiri dan menetap di pojok sampai dia kembali. Terus dia menggiring Bu Roro keluar studio." "Kau juga salah, Del," kata Hanif tenang.  "Tapi Mas, apa yang aku katakan itu benar." "Benar atau tidak. Lihat tempat dan waktunya. Kau ada di mana, kau sedang apa, dan mewakili siapa? Tentu saja Awan marah. Kau pantas mendapatkannya," kata Hanif.  "Kali ini kau tidak membelaku?" tanya Edelweis merajuk.  "Tidak. Kau harus belajar dari kesalahanmu ini," kata Hanif. Dia memandang jam di tangan kemudian berdiri.  "Mas Hanif," Edelweis memprotes.  Hanif menyeringai. "Aku ada liputan lain. Segera minta maaf dengan Awan," dia diam sebentar melihat ke sekeliling baru melanjutkan. "Dan semua orang yang ada di gedung ini. Perusahaan ini terancam bangkrut." Hanif berjalan pergi, membiarkan Edelweis berpikir lebih panjang atas semua tindakan bodohnya.  *** Edgar merasa hatinya tidak tenang. Kaliandra sikapnya semakin aneh. Dia sudah bertanya ada apa, namun jawabannya selalu tidak apa-apa. Edgar tidak mengerti. Apakah segini susahnya membaca hati perempuan, apalagi yang tinggal seatap denganmu. "Kenapa Pak, kok gelisah?" tanya sekretaris pribadinya.  "Apakah kau sudah menikah?" tanya Edgar. "Sudah Pak. Anak saya dua malah," jawab sekretaris.  "Apakah kau pernah bertengkar dengan istrimu?" Sekretaris itu mengernyit. "Kalau dibilang bertengkar pernah. Tetapi lebih sering dia mengomel. Dia mengomeli saya setiap hari Pak," jawab sekretaris itu malu. Wajahnya memerah menceritakan kehidupan rumah tangganya pada Walikota.  "Ah... kenapa kau betah?" tanya walikota lagi, kemudian sadar bahwa pertanyaannya masuk ke ranah pribadi, dia pun meralatnya. "Sudah lupakan saja." Sekretaris itu menebak. "Apakah Bapak dan istri sedang bertengkar?"  Edgar menjilat bibirnya. Dia memijat dahinya yang pening. "Aku tidak bisa mengerti dia," tuturnya. "Kenapa dia bersikap seperti itu?" Sekretaris itu tersenyum. "Tidak ada yang mengerti Pak." Edgar memandang dengan tatapan aneh pada sekretaris. "Lalu bagaimana kita bisa berkomunikasi dan mencari solusi bersama-sama?" Sekretaris itu menahan tawa. "Istri bukan kota yang bisa diatur semau kita Pak. Mereka mahkluk yang diciptakan dengan seperti itu. Mood swing ada di dalam darahnya." "Lalu apa solusinya? Setiap ditanya ada apa, jawabannya tidak apa-apa. Aku merasa lebih mudah bertanya pada anak lima tahun," kata Edgar dengan emosi yang ditahannya meluap.  Sekretaris yang telah menikah lebih lama pun tidak tega melihat seorang walikota psing gegara perempuan. "Saya punya tipsnya Pak." Edgar mendengarkan dengan tertarik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN