Awan Hujan

1240 Kata
Edgar seharusnya malu meminta saran dari sekretaris pribadi terkait urusan rumah tangganya. Tetapi dia tidak tahu lagi harus bertanya pada siapa. Tidak mungin dia bertanya pada relasi atau para pns lainnya. Bisa luntur wibawanya.  Dia yakin sekretaris pribadi ini bisa menjada rahasianya. Dia sudah membersamai Edgar dari tahun pertama sampai sekarang.  "Lalu apa solusinya? Setiap ditanya ada apa, jawabannya tidak apa-apa. Aku merasa lebih mudah bertanya pada anak lima tahun," kata Edgar dengan emosi yang ditahannya meluap.  Sekretaris yang telah menikah lebih lama pun tidak tega melihat seorang walikota psing gegara perempuan. "Saya punya tipsnya Pak." Edgar mendengarkan dengan tertarik. "Ungkapkan kata cinta dan maaf Pak," kata sekretaris.  Edgar tidak percaya. "Tidak mungkin." Sekretaris ini menghela napas panjang. Dia baru percaya pada berita yang mengatakan bahwa Edgar Madaha belum pernaj menjalin hubungan spesial dengan perempuan.  "Benar Pak, ini solusinya." "Kau pasti berbohong. Kau ingin mengerjaiku ya? Kupotong nanti gajimu!" Ancam Edgar. Sekretaris itu menahan kesal. "Saya serius Pak. Perempuan marah hanya sementara. Anda harus minta maaf padanya, kemudian peluk istri dan bisikian kata manis di telinganya. Semuanya akan membaik setelah itu." Edgar tetap tidak percaya. "Pasti butuh hadiah mahal, yang tidak bisa dibeli olehnya? Tapi apa?" Sekretaris ini merasa kesal. Kenapa bosnya bebal sekali. Padahal tidak punya pengalaman. "Terserah Bapak saja,"katanya putus asa.  "Benar kan, dia pasti ingin sesuatu yang mahal. Akan kucari nanti." Sayangnya Edgar lupa sama sekali soal rencananya mencari barang mahal untuk dihadiahkan pada Kaliandra. Dia harus mengurus beberapa. Dan sangat sibuk sampai waktu pulang. Dia bahkan membatalkan pertemuan malam dengan skpd lainnya. Dia ingin pulang dan beristirahat dengan tenang.  Edgar hanya ingat membeli makanan sebelum pulang ke apartemen. Dia membeli nasi rawon dan juga martabak manis. Dia baru ingat soal hadiah ketika melihat Kaliandra masih tiduran di sofa, sama seperti pagi tadi.  "Sial, kenapa baru ingat?" gumam Edgar. Dia berjalan pelan-pelan. Beringkat agar tidak diketahui Kaliandra.  "Baru pulang?' tanya Kaliandra tanpa menoleh pada Edgar. Edgar mendengus, ternyata dia sudah tahu. Edgar berjalan normal dan meletakkan makanan di meja makan. "Kau sudak makan?" tanya Edgar. "Aku tidak lapar," jawab Kaliandra. Suaranya lemas, tidak seperti biasanya.  Edgar merasa Kaliandra aneh, dan sekarang lebih aneh. Dia memandang wajah Kaliandra, wajahnya pucat. Kapan terakhir kaliandra makan? Edgar baru berpikir demikian.  Edgar mendekat dan menyentuh tangan Kaliandra. Kaliandra mengibaskannya. "Apa?" tanyanya ketus.  Tanpa menggubris, Edgar menyentuh dahi Kaliandra, suhunya panas. Istrinya sedasang sakit. "Kau sakit?" tanya Edgar. "Tidak, aku baik-baik saja." Kaliandra masih ketus.  Edgar tidak bisa membiarkan hal ini. Dia teringat nasihat sekretaris pribadinya. Apa benar, tipsnya berlaku juga sekarang? Edgar tak memiliki hadiah mahal, tetapi dia berjanji akan memberikan apapun yang Kaliandra mau. Asal Kaliandra bisa ceria dan membuat hatinya hangat.  Edgar berlutut di samping Kaliandra. Kaliandra marah. "Kau sedang apa?" bentak Kaliandra.  "Sedang mengkhawatirkanmu," jawab Edgar. Kaliandra terdiam sejenak.Terlihat dia menahan air matanya. "Untuk apa khawatir? Kau tidak peduli padaku." "Kenapa kau bicara begitu? Tentu saja aku peduli dan khawatir padam. Kamu istriku," tegas Edgar. "Kau pembohong. Kau bisa melakukan itu pada orang lain, tetapi aku tidak," Kaliandra bangkit dari duduknya tiba-tiba. Kepalanya terasa pening, dan dia berjalan terhuyung-huyung. Edgar sigap menangkapnya. "Benar kan? Kau lagi sakit." Edgar terlihat kesal. "Pergi sana. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Kau urusi saja kota sialanmu ini." Edgar mengabaikan semua protes Kaliandra. Dia membawa perempuan itu ke kamarnya dan meletakkan di ranjangnya. Edgar baru ingat, mereka pisah kamar setelah malam pertama. Dia masih beradaptasi dengan kehidupan setelah menikah. Jadi dia tidak terlalu bingung ketika tidur sendirian.  Edgar baru sadar kenapa mereka tidur terpisah setelah menikah?  Kaliandra meringkuk dan memeluk guling. Dia berbaring membelakangi Edgar. Edgar ikut berbaring dan memeluk Kaliandra. "Kau marah padaku?" tebak Edgar. "Tidak. Minggir sana," kata Kaliandra menyingkirkan tangan Edgar yang melingkari tubuhnya. Edgar tidak berhenti. Dia memeluk Kaliandra dengan tangan dan kakinya, sehingga Kaliandra terjebak di sana.  "Kau marah padaku," ulang Edgar. Kaliandra mulai terisak.  "Aku minta maaf atas sikapku," kata Edgar. "Aku peduli padamu, aku tidak ingin kau sakit," bisik Edgar lembut.  "Peduli omong kosong. Kau bahkan tak peduli dengan usahaku membuatkanmu makanan, tidak peduli aku kelaparans seharian. Kau makan dengan lahap di depanku!" Kaliandra terisak-isak. Semua air mata meresap di guling bersarung putih tersebut.  Mendengar semua keluh kesah Kaliandra, Edgar mengumpat dalam hati. Mengutuk ketidakpekaannya. Mengutuk kebodohannya. Bagaimana mungkin dia membiarkan Kaliandra kelaparan selama dua hari? Suami macam apa dia! Dan soal insiden nasi goreng itu, Edgar tidak menyangka akan menyakiti Kaliandra. Dia benar-benar suami yang buruk. "Maafkan aku Kalia, maafkan aku," kata Edgar di punggung Kaliandra. "Aku benar-benar bodoh karena menyakitimu perasaan dan tubuhmu." Kaliandra membiarkan Edgar memeluknya erat dari belakang. *** "Ayo makan, kusuapin ya," kata Edgar lembut. Kaliandra menurut saja seperti tak punya tenaga. Dia memang tak punya tenaga. Perutnya hanya mau diisi oleh air. Dan entah kenapa, setiap suapan yang diberikan Edgar, bisa terasa sangat enak.  "Makan yang banyak. Kamu nggak boleh sakit," Edgar terus menyuapi Kaliandra.  Kaliandra menatap Edgar, dia tidak tahu lelaki yang super cuek ini ternyata memiliki sisi lembut. Meski sudah mengenalnya lama, Kaliandra merasa tersipu ketika diperlakukan manis seperti ini.  "Tuh kan, wajahmu tidak terlalu pucat setelah makan," cerocos Edgar.  Kaliandra tersenyum, bukan makanannya, tetapi kau, pikir Edgar. Namun dia tidak mengatakan apapun. Dia merasa senang diperlakukan seperti ini. Setidaknya, meski pernikahan ini didorong keras oleh Kaliandra. Edgar tetap memperlakukannya dengan baik, seperti suami beneran.  "Aku merasa menjadi suami yang buruk, kalau kau sakit. Apa kata masyarakat nanti, walikota tidak becus merawat istrinya," kata Edgar. Kaliandra ingin tertawa kecil. "Tidak ada yang ingin sakit," gumam Kaliandra lirih.  "Ada, kalau sengaja tidak makan teratur dan memendam stres sendiri, bisa mengundang penyakit." Kaliandra tersenyum. "Baiklah walikota, aku akan makan dengan teratur." Edgar tidak melepaskan kesempatan ini. "Kalau kau marah padaku, dan tidak senang atas sikapku, atau kau ingin sesuatu. Katakan! Aku ini bodoh dan tidak peka soal perasaan perempuan. Jadi kalau kau tidak mengatakannya, aku tidak akan tahu." "Yang penting sekarang kau tahu." Edgar tersenyum masam. Semua ini karena tips yang diberikan oleh sekretaris pribadinya. Dia akan memberikan bonus nanti untuknya.  "Ayo makan lagi," desak Edgar. "Tidak mau, aku sudah kenyang." "Kalau begitu martabak ya. Aku beli martabak juga tadi," kata Edgar mengambil martabak dan menaruhnya dipiring. Dia mengambil garpu dan menyerahkannya pada Kaliandra.  "Bagaimana kantor?" tanya Kaliandra sambil memakan martabak. Sedangkan Edgar membuatkan teh hangat.  "Kantor yah begitulah, Masih sama, belum pindah." Edgar tersenyum jahil menatap Kaliandra yang merengut.  "Edelweis bagaimana ya, aku kangen dia," kata Kaliandra. "Kau tidak boleh mengundangnya ke sini," pesan Edgar. "Kalian bertemu saja di luar." "Kenapa? kau takut gosip itu muncul lagi? Edelweis adalah simpanan walikota?" goda Kaliandra. Edgar meletakan sendok teh. "Astaga, kau juga mendengarnya?" "Yah. Tetapi aku tahu itu tidak benar. Jadi aku diam saja." Edgar geleng-geleng kepala. Khawatir akan Kaliandra tahu semua gosip kantor, padahal dia di rumah saja.  "Mata-matamu jauh lebih banyak daripada seorang walikota," gerutu Edgar.  Kaliandra tertawa kecil. "Jangan remehkan kemampuan stalking para perempuan." "Astaga aku takut!" Kaliandra dan Edgar tertawa bersama.  *** "Di mana chargernya Ma?" tanya Hanif mencari.  "Di laci, kenapa semua barang kau berantakin. Tidak mau meletakkannya ke tempat asalnya?" gerutu istrinya.  Hanif hanya diam diomeli istrinya. Dia lebih memilih istrinya mengomel dibanding diam seribu bahasa dan mencurigainya.  "Aku tidak tahu di mana chargernya. Nih tolong charge ponselku. Aku mau mandi, ada rapat redaksi hari ini. Persiapan ulang tahun tv lokal," kata Hanif. Sang istri hanya mengangguk dan menuruti perkataan suaminya. Hanif pergi mandi. Ponsel yang sedang dipegang istrinya itu berbunyi. Edelweis memanggil! Hati istri Hanif terasa sakit lagi. Ada apa perempuan ini telepon pagi-pagi?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN