Hanif merasa segar setelah mandi. Begitu dia keluar dari kamar mandi, raut wajah istrinya muram. Hanif sudah sadar, bahwa mood istrinya sudah berubah buruk lagi. Ya Tuhan, apa lagi ini?'
"Ponselku di mana?" tanya Hanif.
"Tuh di atas meja," jawab istrinya tanpa senyum dan omelan seperti biasa.
Fiks. Pasti ada yang tidak beres. Begitu melihat notifikasi ponselnya. Hanif mengerti. Edelweis menelpon. Pantas saja istrinya cemberut. Hanif bingung menghadapi sifat cemburu istrinya. Tetapi sepagi ini Edelweis sudah menelpon, pasti ada yang tidak beres.
Dia menelpon balik Edelweis.
"Halo Del, ada apa?" tanya Hanif. Dia melirik reaksi istrinya yang mulai membanting-banting baju yang dilipat.
"Hai Mas, ban ku bocor ini. Bisa minta jemput ke kos nggak?" tanya Edelweis.
"Kamu mau datang ke rapat redaksi?"
"Iya, Pak Awan yang nyuruh. Mungkin akan mengomeliku dua kali," kata Edelweis pasrah.
"Oke, aku ke sana," jawab Hanif tanpa pikir lagi.
Dia menghampiri istrinya. "Ma, aku mau ke kos Edelweis, kasihan, bannya bocor."
Istrinya menoleh sekilas kemudian membuang muka. Hanif mendesah. Dia mendekati istrinya. "Aku tidak suka Mas."
Hanif mendesah. "Mau gimana? Dia teman kerjaku. Kami sering liputan bareng. Lagipula dia juniorku," kata Hanif menjelaskan. "Aku harus gimana kalau dimintai tolong? Kalau pas aku yang butuh, dia juga pasti bantu. Seperti pas ban ku yang bocor. Sekarang gantian. Tolong percayalah padaku."
"Terserah kamu saja Mas," jawab istri langsung meloyor pergi.
Edelweis menelpon lagi. Hanif bergegas pergi.
"Nanti saja deh, kurayu lagi," gumam Hanif menganggap remeh perasaan istrinya.
***
Pagi yang berbeda juga dialami oleh kakak Edelweis, Syifa. Ada lingkaran hitam di bawah matanya. Dia tidak bisa tidur. Semalam dia terjaga sampai pagi, setelah bermimpi buruk. Syifa takut untuk tidur lagi. Dia takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada keluarganya.
Biasanya Syifa selalu bersemangat menyambut pagi. Bersenandung atau menyalakan radio berisi lagu kpop dnegan keras, agar anak dan suaminya bangun pagi. Bahkan Syifa dengan senang hati memasak makanan berat pada pagi hari.
Namun pagi ini berbeda. Syifa meminta Galih untuk membeli makanan untuk sarapan. Galih memahami kondisi istrinya dengan baik. Memang Syifa sering overthinking terhadap suatu hal, terlebih lagi menyangkut kesehatan dan keselamatan keluarga.
Galih tidak percaya dengan mimpi. Jadi dia tidak terlalu memikirkan lebih lanjut, dia bahkan menggoda-goda Syifa agar tersenyum.
Galih dan Amrita berpamitan dengan Syifa. Kali ini dia melepas suaminya pergi kerja dengan berat hati.
"Nggak boleh kerja nih?" sindir Galih. "Kok manyun terus?"
"Papa nggak ngerti perasaanku sih," gerutu Syifa.
"Papa, ayo berangkat," seru Amrita sudah mengehentak-hentak kaki. Dia juga menggeret tangan ayahnya segera masuk mobil.
"Semua itu hanya mimpi Ma, jangan terlalu dipikirkan," kata Galih menenangkan. "Kita berdoa saja. meminta perlindungan pada Allah. Takdir manusia dia yang tentukan."
Syifa mengangguk pasrah. "Hati-hati ya Pa," kata Syifa.
Galih membuka pintu mobil, Amrita langung dan melambaikan tangan pada Mamanya. Galih masuk ke mobil. "Amrita, pasang sabuk pengamanmu," tegur Galih. Dia memencet bel, Syifa melambaikan tangan melepas kepergian suami dan anaknya.
Dia hanya bisa berdoa untuk keselamatan orang-orang kesayangannya.
***
Kaliandra merasa matanya kena sinar matahari. Dia membuka mata, dan melihat matahari sudah tinggi. Jam berapa ini, pikirnya.
Dia bangun dari tidur, merasa badannya jauh lebih enak dibanding kemarin. Meskipun semalam diajak bergulat dengan Edgar, tetapi dia merasa lebih sehat.
Kaliandra berbalik, Edgar masih berbaring di sebelahnya. Dia meraih ponsel di nakas dan melihat jam.
"Astaga, sudah jam tujuh." Kaliandra menepuk-nepuk lengan Edgar. "Gar, bangun. Kamu sudah terlambat!" Seru Kaliandra.
Edgar merasa pinggangnya dan pahanya nyeri. "Jam berapa sih Kal?" tanya Edgar malas.
"Sudah jam tujuh," seri Kaliandra mendorong Edgar agar turun dari ranjang.
Edgar duduk bersandar melihat ponsel. Ada beberapa panggilan masuk dari sekretaris pribadi, ada juga dari kepala dinas, dan beberapa pesan entah dari siapa lagi. Edgar menoleh pada Kaliandra yang nampak cantik di pagi hari.
Dia membelai pipi Kaliandra yang bersemu merah. "Bagaimana keadaanmu?"
"Semuanya baik. Kau harus bersiap-siap. Sudah sangat terlambat," tegur Kaliandra.
Edgar menarik Kaliandra ke dalam pelukannya. "Biarkan saja mereka menunggu," bisik Edgar menarik selimut.
Kaliandra memekik. "Edgar!"
***
Hanif menjemput Edelweis di kosnya. Gadis itu sudah siap dan berdiri di depan pagar kos. Gaya berpakaiannya tak pernah sejak pertama kali masuk ke tv lokal. Edelweis lebih suka memakai celana panjang dan kaos dirangkep dengan kemeja kotak-kota. Yang lebih mencolok adalah ransel merah yang tak pernah lepas dari punggungnya.
Hanif mengira bahwa Edelweis adalah pendaki gunung. Ternyata dugaannya keliru. Edelweis bahkan tidak pernah mendaki gunung. Tetapi adalah seorang guru bimbel.
Hanya dengan melihat sorot matanya, Hanif tahu Edelweis akan menjadi seorang wartawan yang hebat dan berani. Terlalu berani malah. Dia tidak sepenuhnya kecewa pada insiden di ruang studio kemarin. Edelweis memang menyampaikan unek-uneknya pada pengiklan paling besar di tv lokal.
Tetapi tentu saja, karena Edelweis sedang mewawancarai narasumber sebagai wartawan tv lokal, itu bisa disebut menyeret seluruh awak tv lokal dalam pertarungan pribadinya.
Itu sangat salah dan tidak bijak, pikir Hanif.
"Tumben agak telat Mas," kata Edelweis melihat Hanif dan motornya mendekat.
"Ada sedikit urusan. Naik," kata Hanif. "Bawa helm kan?"
"Tentu. Aku kan anak yang patuh aturan," Edelweis memuji diri sendiri.
"Taar aturan tapi menyengserakan orang lain," gerutu Hanif.
"Ya maaf. Aku sudah install aplikasi ojek. Tetapi dari tadi tidak ada yang nyantol," keluh Edelweis.
"Mungkin rumahm ada hantunya," kata Hanif jahil.
"Ah rese! Jangan bicara hantu soal kosku ya!" kata Edelweis memperingatkan.
Hanif tertawa. "Eh Del, ntar kalau kau dimarahi lagi sama Awan, gimana?"
"Nggak gimana-gimana. Masuk telinga kiri, keluar telinga kanan," cetus Edelweis ceplas ceplos.
"Wah, tanpa bersalah anak ini," ejek Hanif.
Edelweis menyeringai saja.
Begitu sampai dekat di kantor, kantor telah ramai orang yang bekerja memepersiapkan pesta ulang tahun. Hanif tidak bisa parkir di dalam, jadi dia berputar mencari tempat parkir. Parkir darurat dimasukkan ke dalam halaman rmah kosong.
Mereka berdua berjalan kaki menuju kantor. Sepanjang jalan, papan karangan bunga sudah ada datang. Semuanya berasal dari beberapa perusahan yang sering bekerja sama dengan Tv Lokal. Termasuk di antaranya pabrik pelangi.
Edelwesi sengaja memetik satu bunga mawar dari salah satu papan karangan tersebut. Hanif melihatnya.
"Buat apa?" ejek Hanif.
"Ada deh," kata Edelweis.
"Kubelikan kalau mau."
"Ini aja udah bagus, gratis," kata Edelweis tertawa kecil.
Beberapa meja dan kursi dipindahkan. Kemudian dalam kantor juga dihias dengan pita dan balon. Tenda telah didirkan dan dihias dengan kain lilit dan pita-pita. Ada juga panggung dan banner besar dengan tulisan ucapan selamat anniversary.
"Memangnya kapan acaranya Mas?" tanya Edelweis.
"Besok. Ayo cepat!" Hanif sudah berlari ke dalam kantor.
Edelweis ikut berlari.
Rapat barus aja dimulai. Hanif mengetuk pintu. Edelweis sudah berdiri di belakangnya.
"Masuk," kata Awan.
Hanif masuk, begitu juga Edelweis. Begitu melihat Edelweis, semua orang yang ada di ruangan berbicara dengan di sebelahnya. Ada juga yangterang-terangan menatap benci pada Edelweis.
Edelweis hanya mengangguk memberi salam kemudian menempel pada Hanif.
"Mas Hanif, pacar ata bodyguardnya Edelweis ini?" olok seseorang.
"Bukannya Mas Hanif sudah menikah? Edelweis apa? Selingkuhan?" mereka menimpali.
Hanif marah. Dia berdiri, tetapi Awan melerai.
"Duduk Hanif," kata Awan dingin seperti kutup es.
Edelweis mengigit bibirnya gelisah. Dia tidak pernah ada hubungan spesial dengan Hanif. Dia hanya kagum dengan seniornya, tidak lebih. Bagaimana mereka bisa berkata sejahat itu?
"Sebelum rapat dilanjutkan, aku ingin Edelweis meminta maaf pada smeua rekan di sini, atas kelancangannya merusak wawancara kemarin," kata Awan.
Edelweis terpaku. Dia tidak menyangka Awan akan bersikap begitu.
"Del," panggil Awan. Dia memberi isyarat kepala agar Edelweis berdiri.
Hanif di sebelahnya berbisik. "Minta maaflah pada mereka, sebab gara-gara kamu, mereka semua terancam kehilangan pekerjaan."
Mata Edelweis berkaca-kaca. Dia tidak bermaksud demikian, namun kalau itu dampak karena kebodohannya, maka dia harus minta maaf pada mereka.
Dengan berani, Edelweis berdiri dan membungkukkan badan. "Saya minta maaf yang sebesar-besarnya," kata Edelweis.
"Memangnya ini Korea? Jepang? Pakai adegan membungkukkan badan lagi," sindir seorang rekan jurnalis perempuan.
Edelweis terdiam. Dia menatap tajam pada perempuan itu. Kalau mereka tidak bisa menerima permintaan maafnya dengan baik, maka dia akan lawan mereka.
"Lalu kau ingin aku melakukan apa?" tanya Edelweis dengan sorot mata menantang.
Perempuan itu menunjuk Edelweis. "Kau tidak tahu malu!"
Edelweis mengibaskan rambutnya.
Sudut mulut Awan berkedut, dia menahan senyumnya. Tetapi Hanif melihatnya dan mendengus.
"Aku tidak malu mengatakan apa yang ada di pikiranku. Tetapi aku keliru memang mengatakannya saat menjadi karyawan di sini. Di mana pengiklan paling besar adalah Pabrik Pelangi."
Perempuan lawan debat Edelweis terlihat lebih marah, dan dia akan mengucapkan kata-kata yang lebih [arah. Awan memukul meja.
"Sudah cukup! Diam semuanya!"
Perempuan itu terdiam dan menatap galak pada Edelweis. Edelweis tidak takut, dia menatap balas. Suasana hening seketika.
"Edelweis sudah meminta maaf, meskipun caranya agak unik. Kita akan membahas persiapan untuk acara besok," kata Awan.
Hanif mendengus geli melihat sikap Awan. Orang gila! Hanif memaki Awan dalam hati.
Hanif tidak membela atau memberikan saran apapun pada acara itu. Dia menyerahkan semuanya pada orang-orang muda. Dia mendekati Awan. "Apa yang kau rencanakan?" tanya Hanif.
"Rencana apa? Tidak ada."
"Aku melihat kau sedang melatih kucing menjadi singa," olok Hanif pada Awan.
Awan terbahak-bahak, sampai semua orang menoleh padanya. Awan behenti tertawa mendadak. "Silahkan dilanjutkan," kata Awan pada mereka.
Hanif keluar ruangan. Awan mengikutinya.
"Bawa istrimu besok," pesan Awan pada Hanif.
"Buat apa? Ini kan acara kantor."
"Untuk menepis rumormu dan Edelweis," kata Awan.
"Ah... mereka hanya iri pada Edelweis. Sering membuat masalah, tetapi tetap saja jadi anak kesayanganmu," sindir Hanif.
Awan mengibaskan tangan. "Kau yang sering membelanya. Bukan aku," bantah Awan.
"Aku jadi mengerti kenapa Oliver tertarik untuk merekrut Edelweis ke Banyumili," kata Hanif.
"Semua orang Banyumili karakternya mirip Edelweis. Gila semua." Awan geleng-geleng kepala.
"Pak Awan, bisa tolong dilihat rencana yang sudah di susun?" panggil seorang staff.
"Oke, sebentar ya," kata Awan. Dia menoleh pada Hanif. "Jangan lupa, besok ajak istrimu. Jangan dikurung di rumah terus," pesan Awan.
"Ya ya ya," jawab Hanif dengan malas.
Sebenarnya Hanif khawatir kalau mengajak istrinya ke acara anniversary besok. Bagaimana kalau dia membuat keributan karena Edelweis. Tetapi dia juga penasaran, kenapa Awan ingin sekali bertemu dengan istrinya?
Mungkin dia harus membuat kesepakatan dengan istrinya. Tentang acara besok.