Kantor media manapun setiap harinya lebih sering sepi, sebab semua pekerjanya banyak yang di luar kantor. Namun hati ini berbeda. Kantor media Tv Lokal penuh dengan orang. Baik di dalam gedung maupun di luar. Halaman kantor dan parkir telah didirikan tenda. Sedangkan semua kendaraan parkir di sepanjang jalan menuju kantor tv lokal.
Banyak orang lalu lalang, masuk dan keluar gedung. Ada yang mengatur tamu undangan, jamuan makan, dan juga menjaga stand di dalam ruangan. Stand- stand ini sengaja dibuat oleh tim kreatif untuk memeriahkan pesata ulang tahun Tv Lokal.
Mulanya para tamu yang baru datang, akan diarahkan masuk mengikuti arah panah. Panah ini akan mengantar mereka ke ruangan yang berisi stand kreasi. Setiap stand dijaga satu sampai dua orang. Stand ini berisi macam-macam. Ada ruang permainan, hasil karya Tv Lokal, pameran fotografi, produk umkm lokal, studio kecil yang menunjukkan bagaimana mereka bekerja. Mereka juga membuat ruang bermain anak dan ruang laktasi.
Ide penambahan ruang kreasi berasal dari Edelweis. Setelah permintaa maaf dan debat yang panjang, Awan menegaskan akan memberikan hukuman pada Edelweis. Jadi mereka tidak boleh memperpanjang masalah ini lagi.
Rapat berlangsung dengan baik. Apalagi ketika Edelweis menambahkan ide tersebut. Banyak yang antusias dan menyukai gagasan tersebut. Meski mereka mengeluh lantaran persiapannya tidak cukup. Mereka bekerja keras sampai begadang untuk mewujudkan ruangan-ruangan itu. Edelweis ke dinas Umkm untuk meminta data produk umkm yang berkenan untuk kerja sama dengan tv lokal.
Sehari kemarin mereka sibuk. Dan ketika hari H, ternyata lebih sibuk.
Acara yang dijadwalkan pagi, diundur sampai selesai dhuhur. Jumlah makanan ditambah, dan para kru bisa istirahat sejenak.
Tamu undangan yang datang jumlahnya lebih dari perkiraan. Sebab tayangan tentang Pabrik Pelangi yang sudah diedit dengan baik, terbukti banyak perwakilan perusahaan yang datang. Mereka ingin mengenal Tv Lokal dengan lebih baik.
Mereka juga suka dengan ide stand-stand tersebut. Mereka seperti berada di dalam pameran sebuah rumah. Para tamu dengan senang hati mengunggah foto dan ucapan selamat ulangtahun pada Tv Lokal. Mereka memuji ide kreatif dari Tv Lokal.
Setiap ruangan, dipenuhi orang yang berkunjung. Daftar tamu yang hadir luar biasa banyak. Para kru sampai tidak punya wkatu sitirahat melayani para tamu.
Untuk hiburannya, laih-alih mengundang artis dangdut, Edelweis meminta untuk mengundang band lokal yang cukup terkenal. Dia membuat suasana senyaman mungkin.
Edelweis juga menolak ditunjuk sebagai pembawa acara. Berkaca dari pengalaman kemarin, dia belum siap untuk membawakan acara kantor. Hanif juga menolak, dia ingin menikmati acara bersama istrinya. Tugas itu beralih pada presenter tv lokal.
Edelweis tidak memiliki tugas khusus, dia hanya akan mengarahkan para tamu menuju ruang berisi stand yang telah ditentukan. Dia memasang wajah senyum manis pada para tamu. Namun beberapa rekan masih judes padanya, tetapi Edelweis tak mau ambil pusing. Dia akan dihukum, menurutnya itu sudah cukup. Mereka terlalu berlebihan.
Sekarang dia lebih fokus dengan acara ini.
Hanif datang bersama istrinya saat sore setelah ashar. Wajah istrinya sangat sumrigah, ketika diajak ke acara kantor.
"Ingat ya, jangan buat keributan dengan pekerja di sini. Kamu juga bawa nama baik suami," pesan Hanif.
Mona mengangguk dengan senyum lebar. "Baru kali, kamu ajak aku ke kantormu, Mas. Padahal kamu udah kerja bertahun-tahun di sini."
Hanfi mengabaikan sindiran Mona. "Kamu bisa jalan-jalan sendiri kan? Aku mau menemui Awan dulu."
"Katanya Pak Awan juga mau bertemu denganku?"
"Nanti," kata hanif. Dia melihat Awan sedang berbicara dengan beberapa orang pengiklan. "Dia sedang sibuk."
Mona mengangguk. Dia berjalan memasuki ruangan, dan disambut oleh Edelweis. Senyum Mona berubah masam. Dia mengenal Edelweis meskipun hanya sekali bertemu. Dia hapal semua lekuk wajah Edelweis. Meskipun mengenakan make up atau masker, Mona yakin dia bisa mengenali Edelweis.
"Istrinya Mas Hanif ya?" sapa Edelweis ramah. Dia ingat mereka pernah bertemu sekali dalam suasana canggung.
Mona hanya mengangguk. Dia mengamati Edelweis lekat-lekat. Bahkan bila dia memiliki kemampuan super, dia akan melihat kuman di tubuh Edelweis. Edelweis menggelung rambut panjangnya. Dia memakai riasan tipis, namun itu malah menonjolkan kecantikannya. Sedangkan baju setelan dengan nuansa batik membuatnya terlihat seperti pramugari yang tersasar di kantor Tv.
"Mari Mbak, saya temani ke dalam," kata Edelweis menawarkan.
Mona menolak. "Tidak usah Mbak. Saya bisa sendiri."
"Tidak apa Mbak, saya sering meroptkan Mas Hanif," kata Edelweis berjalan mendahului Mona.
Edelwesi menunjukkan jalannya. Edelewis juga mengenalkan ruangan-ruangan yang digunakan sebagai tempat kerja mereka. Mona hanya mengangguk saja. Minat selera mengenal gedung ini sudah hilang. Dia tidak nyaman berada dekat dengan Edelweis.
Apalagi perempuan inilah yang jadi penyebab pertengkaran mereka akhir -akhir ini.
"Mbak Edel, saya pergi saja sendiri," kata Mona meninggalkan Edelweis yang termangu di tempat.
Mona menjelajah sendiri ke ruang-ruang yang menurutnya menarik. Dia masuk ke ruang fotografi. Ada tiga orang gadis yang menjaga stand. Mereka duduk berhimpitan di dua kursi. Mereka hanya menyapa sebentar pada Mona kemudian melanjutkan percakapan mereka.
Mona berjalan keliling mengamati foto. Foto yang dia cari tentu hasil karya suaminya. Dia menemukan foto suaminya tergantung di dinding paling belakang. Tetapi paling menonjol di anatar lainnya, karena ukurannya paling besar.
Foto itu diambil saat dia liputan tentang demo pabrik pelangi. Mona menikmati foto tersebut. Dia berandai-andai kalau dirinya juga seorang jurnalis. Sayangnya dia hanyalah tukang jahit baju.
Dari balik papan foto-foto tersebut, Mona masih bisa mendengar percakapan para tiga perempuan itu. Dia tidak berniat untuk menguping, sialnya nama Hanif disebut oleh mereka. Dia pun menajamkan telinganya.
"Eh masa sih, Edelweis dan Mas Hanif gak ada apa-apa?"
"Ngakunya sih begitu. Tapi pernah ada yang lihat Mas Hanif lagi bertengkar di depan kantor. Mungkin istrinya."
"Atau pacar gelapnya. Katanya istrinya kan tinggal di luar kota."
"Jadi mereka LDM dong? Kalau aku sih bakal kuikuti kemanapun suami pergi."
"Iya, apalagi kalau temen kantor ada yang sebahenol Edelweis."
"Edelweis dulu juga jadi rumor simpanan walikota kan?"
"Iya walikota sendiri pernah datang ke sini menjemput Edelweis."
"Gila!" seru perempuan berbaju kuning. "Dia itu perempuan nggak benar."
"Dan lagi mereka juga pernah berangkat dan pulang bareng. Jangan-jangan di rumah sudah terjadi yang diinginkan lagi. Kan keduanya sama-sama ngekos."
Mona yang mendengarnya ingin melabrak mereka. Mona tahu saat mereka pulang bersama. Tidak terjadi apa-apa. Edelweis hanya mengantarkan suaminya pulang, sebab ban motor bocor. Bagaimana bisa gosip itu berkembang liar dan menuduh suaminya dengan keji?
Tiga perempuan itu belum berhenti bicara. Lama kelamaan suara mereka makin kencang.
"Pantesan mas Hanif selalu bela Edelweis, Pak Awan juga pasti begitu. Kena peletnya Edelewis. Dia hobi banget manja-manja sama lelaki," katanya dengan jijik.
"Dih amit-amit deh tuh orang. Cantik iya, tapi kalo sukanya melet orang. Hiii."
Mona mencengkram jilbabnya erat. Dia tidak bisa berada di ruangan itu lebih lama. Baru saja Mona ingin keluar, dia melihat Edelweis masuk ke ruangan tersebut. Mona bersembunyi di balik papan-papan yang besar.
Tiga perempuan itu berwajah manis.
"Mbak Edel, cari siapa di sini?" tanya salah satunya.
"Oh aku cari temen," kata Edelweis. "Ada yang mampir ke sini nggak?"
"Banyak tadi siang Mbak, sekarang sudah sepi. Mbak bisa lihat sendiri."
"Oh iya, kalian sudah makan?" tanya Edelweis.
"Belum Mbak," jawab yang lain.
"Kalian bisa istirahat dan makan dulu, biar stand ini aku yang jaga. Kebetulan tamu udah berkurang,"kata Edelweis ramah.
"Mbak Edel baik banget, udah cantik dan baik pula. Persis Bidadari," puji mereka.
Mona yang mendengar ingin muntah dengan tingkah tiga orang itu. padahal beberapa detik yang lalu mereka semua menuduh dan menghina Edelweis. Ketika bertemu orangnya, mereka malah memuji setinggi langit. Mungkin itu yang namanya wani silit wedi rai, batin Mona.
"Jangan berlebihan," kata Edelweis tertawa.
"Benar Mbak. Kami pamit dulu ya Mbak. Terima kasih Mbak Edel yang cantik."
Mereka semua berhamburan keluar sambil cekikikan. Edelweis duduk di meja dan memeriksa daftar tamu yang hadir. Jumlahnya memang banyak. Edelweis merasa senang. Dia terinspirasi ide ini dari kegiatan di sekolah Amrita beberapa waktu lalu. Ternyata ide tersbeut bsia diterapkan di kantor juga. Edelweis bersenandung sambil membolak balik daftar tamu.
Ponselnya berdering.
"Halo, Ya Mas. Apa? Ruang bermain anak nggak cukup? Gini, kita gabung anak-anak di ruang Laksatasi saja. Iya kan bersebelahan tuh. Jadi tidak perlu menyiapkan ruangan baru. Nggak bakal cukup kalau menyiapkan ruangan baru. Semua orang sibuk. Iya nanti aku lihat ke sana."
Edelweis menutup telepom dari penjaga ruang anak. Ponselnya berdering lagi. Kali ini dari Awan.
"Halo Ya Pak Awan. Ada walikota dan istri? Oke aku turun sekarang Pak. Tamu istimewa itu sekaligus dua sahabatku," kata Edelweis tertawa.
Begitu Edelweis keluar, dia memanggil seseorang. "Kamu tolong jaga di sini ya, aku turun ke bawah."
Orang itu salah satu kameramen yang sedang libur. "Hanya menunggu meja kan?
Edelweis memberi jempol sambil berlalu.
Edelweis tidak tahu, bahwa Mona bersembunyi di ruangan pameran foto.
Beberapa saat kemudian, tiga gadis penunggu meja itu kembali. Mereka kesal karena Edelweis tidak ada di sini.
"Tuh kan apa kubilang. Dia pasti caper lagi, ke laki-laki lain."
"Katanya mau nnggu di sini, ternyata pergi kencan dengan yang lain."
"Kalian ini bicara apa? Kedengaran Pak Awan, bisa disidang kalian. Menyebarkan gosip," tegur kameramen.
"Halah, Pak Awan sama saja. paling sudah pernah mencicipi Edelweis makanya takhluk."
Terdengar suara dingin dan kejam dari ambang pintu.
"Oooh jadi kalian ya, biang kerok penyebar gosip," kata seorang lelaki berada di ambang pintu.
Mereka bertiga berbalik dan melihat Hanif di sana. Kameramen juga terkejut, namun dia tersenyum dan mengolok mereka. "Syukur, kalian ketahuan," gumam kameramen.