Pesta Karya (2)

1607 Kata
"Mau ke mana Nif?" tanya Awan. "Walikota baru saja datang." "Menyusul istri," jawab Hanif disertai seringai yang dimaklukmi oleh Awan.  Hanif berjalan cepat, dia khawatir dengan keadaan istrinya. Apakah dia tersesat atau menemui kesulitan. Perasaannya tidak enak.  Hanif menjelajah dari ruang satu ke ruang lain. Melewati ruang anak dan laktasi, dia yakin istrinya tidak ada di sana. Terakhir tersisa ruang pameran foto. Kurang beberapa langkah dekat dengan pintu, Hanif mendengar percakapan tidak menyenangkan. "Tuh kan apa kubilang. Dia pasti caper lagi, ke laki-laki lain." "Katanya mau nunggu di sini, ternyata pergi kencan dengan yang lain." "Kalian ini bicara apa? Kedengaran Pak Awan, bisa disidang kalian. Lantaran menyebarkan gosip," tegur kameramen. "Halah, Pak Awan sama saja. paling sudah pernah mencicipi Edelweis makanya takhluk." Rasanya seperti disambar petir di siang bolong Hanif mendengarnya. Dia sangat marah. "Oooh jadi kalian ya, biang kerok penyebar gosip," kata Hanif dengan dingin dan terlihat menahan amarah. Ketiganya berbalik dan mereka juga sama terkejutnya ada Hanif, tangan kanan Awan, ada di sana. Mendengar kalimat terakhir mereka tentang Awan. Sialan! Mereka pun saling menutup celah dan mencari alasan. "Mas Hanif? Anu Mas, kami itu juga tahunya dari gosip-gosip itu." "Benar Mas, kami cuma meneruskan kabar saja." Mereka telah terpojok, tetapi tetap mencari alasan untuk bebas. Enak saja! Tidak akan Hanif biarkan lolos. Gosip tentang dia dan Edelweis, apakah mereka juga dalangnya?. "Kata siapa? Coba sebutkan." Hanif mulai mengintergoasi. "Jangan-jangan kalian juga yang menyebarkan gosip aku dan Edelweis pacaran ya? Ketiganya saling berpandangan takut-takut. Mereka tidak berani memandang Hanif. Hanya saling menempel satu sama lain. Mencari perlindungan. "Bukan kami Mas." "Ya, ini juga kata orang-orang Mas." Hanif membentak. "Kalian ii ya!" Dia tidak meneruskan kalimatnya. Dia merasa mereka bertiga tidak akan mengaku dengan cara seperti ini. Hani mencatat nama dan wajah mereka dalam kepala. Tidak sulit menemukan mereka di kantor ini. Pegawai perempuan hanya sedikit. "Kalian akan dapat hukuman nanti," ancam Hanif. Dia menoleh pada kameraman. "Ton, lu mau jadi saksi kan?" "Siap Mas." Toni dengan senang hati akan membeberkan percakapan ratu gosip itu di hadapan Awan.  Mona menarik napas panjang. Dia tidak menyangka akan melihat semua drama yang terjadi di ruangan ini. Semuanya membenci Edelweis, Mona juga. Dia juga pernah menjadi orang yang pembenci Edelweis, dan melakukan sesutau yang merugikan gadis itu.  Yang berbeda dari Mona dan mereka adalah, Mona menyimpan rapat-rapat ketidaksukaannya. Hanya Hanif yang tahu. Dia tidak mau membuka aib keluarganya sendiri ke depan umum. Istri pecemburuan, dan suami yang sering berhubungan dengan rekan kerjanya. Hanif berjalan masuk memeriksa pameran foto. Dia melanjutkan misi yang sebelumnya tertunda. Mencari istrinya. ketika berada di deretan belakang. anif berjalan salah satu lukisan di pojok, dia bisa melihat ujung jilbab warna merah milik istrinya. Hanif tahu sebab dia sering mengamati jilbab jahitan istrinya. Terdapat bordir yang menjadi penanda milik istrinya.  "Ketemu," kata Hanif. Mona hanya tersenyum tertangkap oleh Hanif.  Hanif setengah menarik Mona untuk keluar dari papan-papan foto. "Kita makan yuk," ajak Hanif.  Tiga gadis penyebar gosip itu berubah pucat melihat Hanif menggandeng seorang perempuan dari balik papan pameran foto. Salah satu dari mereka ingat, bahwa ada satu pengunjung yang belum keluar dari pameran foto. dan disitulah dia dan dua temannya mulai bergosip tentang Edelweis, Hanif dan Awan. Tubuhnya terasa lemas seketika. Hanif dan Mona berjalan melewati tiga perempuan itu. Mona menengok ke belakang. Mereka pasti akan dapat masalah besar, gumamnya. "Kau mendengar semua percakapan mereka Ma?" tanya Hanif.  "Percakapan apa?" Mona pura-pura tidak tahu. Hanif menyeringai. "Kau pasti mendengarnya dari awal, gosip tentangku dan Edelweis. Kemudian keburukan-keburukan yang dilakukan Edelweis." Mona menelan ludah, bagaimana bisa Hanif tahu semua hal itu. "Edelweis baru bergabung di tv lokal belum ada setahun. Yang mulanya anak ayam, sekarang dia bisa membuat acar semeriah ini," Hanif memuji Edelweis.  "Kau sangat suka padanya?" tanya Mona cemburu. Hanif melingkarkan lengan di bahu Mona. "Kalau dibilang suka terhadap lawan jenis tidak. Aku menganggapnya seperti adik." Mona tidak setuju. Bagaimanapun suaminya tidak memiliki hubungan darah dengan perempuan itu. "Aku tidak mau punya adik dia." Hanif menghela napas panjang. Istrinya masih badmood. *** Edelweis menyambut Walikota dan Kaliandra dengan senyuman lebar. Dia mempersilahkan mereka berdua masuk ke ruangan khusus. Ruangan yang memang disiapkan untuk keduanya.  "Kok pakai ruangan spesial? Aku lebih suka berbaur dengan yang lain," kata Edgar. "Maaf Pak, tetapi kami ingin ucapan selamat ultah spesial dari anda," kata Edelweis.  "Akan ditayangkan di tv lokal?" Kaliandra memastikan. "Tentu donk. Selain tv, juga bagian situs online dan media milik perusahaan," kata Edelweis dengan senyum lebar. "Lama-lama kamu jadi selebriti Gar," ledek Kaliandra.  Edgar mendengus geli. "Baiklah, mana kameranya?"  Edelweis mengambil  HT (Handy Talkie) yang ada di meja ruang tersebut.  "Bunga masuk. Bunga masuk," kata Edelweis.  "Siap diterima." Suara balasan dari handy talkie. "Target sudah bersedia, ganti," kata Edelweis. "Siap. Terima kasih." Edelweis menoleh pada pasangan pengantin baru itu. Edgar tersenyum masam. "Aku seperti tahanan, disebut target." Kaliandra tertawa, dan merangkul mesra lengan Edgar. Edgar salah tingkah sebab mereka tidak sendiri. Di depannya ada Edelweis yang menatap mereka dengan geli.  "Indra tidak kamu undang del?" tanya Kaliandra. "Tidak. Lagipula dia tidak ada di Surabaya." "Dia kemana?" kini Edgar yang bertanya. "Pergi ke Jakarta, mencari investor." Edgar dan Kaliandra saling berpandangan penuh arti. Edelweis sampai harus berdeham agar pengantin baru itu sadar situasi. Penyekat ruangan tersebut dibuka dan digeser. Ternyata di sebelah ruangan Edgar dan istri, terdapat beberapa kamera yang telah siap merekam. Desain ruangan itu juga berasal dari Edelweis. Menciptakan ruang privsi sekaligus ruang siaran. Kaliandra merapikan baju dan rambutnya. Edgar menegakkan duduknya.  Salah satu staff maju dan memberikan klip on pada Edgar dan istri. Edelweis menyingkir agar tidak ikut tertangkap kamera. "Bagaimana, sudah siap?" tanya Edelweis. Edgar mengangguk. Para kameramen juga. "Kita mulai, action!" "Selamat sejahtera buat pemirsa, saya walikota Surabaya, Edgar Madhava mengucapkan selamat ulang tahun pada Media Tv Lokal yang ke sepuluh. Saya berharap Media Tv Lokal selalu menjadi media yang kredibel, yang dipercaya masyarakat, dan juga memberikan tayangan serta hiburan yang edukatif. Selamat ulang tahu Media Tv Lokal, semoga semakin jaya!" Edgar dan istri menangkupkan tangan.  "Cut! Edelweis bertepuk tangan tanpa suara. "Keren sekali. sekali take!" Edelweis memuji Edgar. Kaliandra pun. "Dia selalu hebat dalam pekerjaannya." Edgar tidak terpengaruh oleh pujian keduanya. "Setelah ini kami kemana?" Edelweis menepuk tanganya sekali. "Ah! Aku punya ide. bapak dan istri bisa keliling ke dalam gedung. Kami telah membuat beberapa stand yang menarik. Kami juga bisa merekamnya." "Semua kau jadikan konten," sindir Edgar. "Mumpung walikota dan istri di sini," kata Edelweis menyeringai. "Tapi isi perut dulu lah," keluh Edgar. Kaliandra mencubit lengan suaminya. Sebab Edgar bersikap malu-maluin. Edelweis tertawa, dan mengarahkan mereka menuju tempat hidangan disediakan.  *** Setelah mengantar Walikota dan istri keliling, keduanya menikmati musik di bawah. Edelweis bisa istirahat sejenak. Namun Mona malah mendekatinya. "Capek Mbak Edelweis?" tanya Mona. Edelweis tersenyum. "Sudah biasa. Mbak, sudah makan?" tanya Edelweis. "Sudah Mbak. Boleh saya bicara dengan Mbak Edelweis sebentar?" tanya Mona. Edelweis mengangguk canggung. Mereka diam cukup lama. Hingga akhirnya Mona membuka mulut. Kalimat pertama yang keluar dari mulutnya membuat Edelweis diam membatu. "Kamu tau seberapa besar saya membenci kamu? Setiap malam ketika saya melihat fotomu berdua dengan suami saya. Saya selalu berdoa jelek buatmu," kata Mona dengan pelan. Mereka berdua duduk di sudut jauh dari keramaian.  "Foto apa Mbak?" tanya Edelweis bingung. "Foto di Masbukmu. Foto dengan banyak komentar, yang mengatakan kamu dan Mas Hanif pasangan yang serasi. Pengantin baru dan sebagainya," jawab Mona. Edelweis serasa ditampar. Fotonya dengan Hanif di pesta pernikahan Walikota. Foto yang dia gunakan untuk membuat Baruna dan Indra cemburu. Edelweis baru menyadari dampak berbeda atas ulahnya. Mona melanjutkan perkatannya. "Setiap Mas Hanif mulai bercerita tentang kamu, saya marah. Saya ingin sekali saya menampar kamu, menjambak kamu. Rasanya saya tersiksa karena perasaan itu. Rasa marah itu yang membuat saya seperti  tercekik. Bahkan ketika saya pergi ke swalayan dan melihat baju baju serupa dengan baju yang kamu kenakan, rasanya saya mau muntah. Muak," Mona menumpahkan semua beban di hatinya. Edelweis terisak. Kata kata itu meluncur tajam masuk ke relung hatinya. Hatinya sakit. Dia tidak pernah bermaksud menjahati orang lain. Apalagi menginjak harga diri istri temannya. Dia hanya bersikap baik. Namun sikapnya ternyata disalah artikan oleh orang lain. Sikap munafik. "Saya tidak peduli, kamu mau bersikap manja atau sok manis. Tetapi ketika dengan suami saya, tentu saya merasa keberatan. Kami tidak ada hubungan darah denganmu. Pertemanan laki laki yang sudah menikah dengan perempuan lain, tentunya memiliki batasan. Sayangnya kalian berdua lupa. Ada saya, seorang istri yang diabaikan perasaannya. Kalian bersenang-senang lupa pada status masing masing." "Enggak mbak. Enggak begitu. Ini salah paham," Edelewis membantah dan ingin menjelaskan. Namun Mona tetap bicara. "Kamu tahu? Saya memantau semua media sosial mu. Dan hanya dengan suami saya yang bukan saudaramu. Kamu berani foto berdua dan meng-upload nya di medsosmu. Dan itu nggak cuma sekali. Kakakmu boleh percaya padamu. Semua orang boleh percaya bahwa kalian cuma teman biasa. Tapi saya yakin, hati kecilmu tahu. Bahwa kamu juga memiliki perasaan khusus pada suami saya." "Sumpah mbak. Aku cuma anggap Mas Hanif sebagai kakak atau senior. Nggak lebih," Edelweis membantah. Suaranya serak saat bicara. "Tapi aku nggak sudi punya adik kamu!" Mona memekik pelan. Mona berdiri. Dan menatap Edelweis dengan mata berkaca-kaca. "Saya tahu, kalian hanya berteman. Tetapi teman apa yang saling video call malam-malam, bahkan telponan tengah malam? Teman macam apa itu? Teman mesra?"  Edelweis menutup wajah dengan kedua tangannya. Dia menangis menyesali semua tindakannya. "Saya banyak mendengar gosip jelek tentang kamu. Entah kamu tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu. Ketika semua orang menganggpmu bersikap buruk, tidakkah kamu instropeksi diri?" kata Mona tajam melebihi pisau. "Saya mohon, dengan sangat. Tolong sadar diri," kata Mona berkaca-kaca. Dia akan melangkah pergi. Edelweis meraih tangan Mona. Dia ingin menjelaskan kesalahpahaman tersebut. Namun Mona menepisnya. "Maaf, saya minta maaf. Saya jijik lihat kamu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN