"Saya mohon, dengan sangat. Tolong sadar diri," kata Mona berkaca-kaca. Dia akan melangkah pergi.
Edelweis meraih tangan Mona. Dia ingin menjelaskan kesalahpahaman tersebut. Namun Mona menepisnya.
"Maaf, saya minta maaf. Saya jijik lihat kamu."
Edelweis termenung dengan perkataan Mona. Jijik? Jijik dengannya?
Astaga! Apa yang sudah dia lakukan?
Mona menatap Edelewis terakhir kalinya. Dia berharap ada perubahan yang dilakukan Edelweis. Dia berharap tidak akan bertemu lagi dengan Edelweis. Dia juga berdoa semoga saja, tidak ada penyesalan buatnya.
Mona merasa lebih lega. Selama beberapa waktu ini, di punggungnya terdapat sebuah batu yang amat besar. Dia tidak bisa tidur nyenyak. Tidak bisa merasa tenang. Mona selalu ingat, setiap pertengkaran dengan suaminya terjadi, selalu saja ingat Edelweis.
Sumpah serapah, haraoan buruk terhadap Edelweis. Semua dia lakukan nyaris setiap hari. Hingga membuat hati dan pikirannya jadi rusak.
Hari ini dia melepaskan semua. Dia lelah memendam semuanya sendiri. Ketika suaminya tidak mau mendengarkan, maka dia bisa mengajari yang perempuan. Setelah ini Hanif mungkin marah. Mungkin murka. Tetapi dia tidak peduli. Kalau tidak sekarang, kapan lagi dia bisa mengajari Edelweis pentingnya menjaga sikap dengan suami orang.
Dia tidak keberatan, menjadi pihak yang jahat, karena membuat Edelweis menangis dan sedih. Tetapi apakah perempuan itu sadar, berapa banyak istri yang terluka karena sikapnya yang suka bermanja-manja.
Mona melangkah pergi. Dia merasa sangat lega.
***
Edelweis berdiri dan berlari ke arah toilet. Dia tidak boleh menangis di ruang publik. Dia mengunci diri sampai acara selesai.
Di dalam toilet itu, meskipun bersih atau pesing, Edelweis tak memedulikannya. Hatinya terasa sakit. Nafasnya sesak. Air matanya tak henti-hentinya mengalir.
Ingatan akan tindakannya yang dianggap melewati batas, semua terlihat jelas di kepalanya. Seperti sebuah film yang sedang diputar.
Semua hubungannya dengan Hanif via telepon dan videocall bisa dia jelaskan. Bahwa mereka hanya membicarakan soal pekerjaan. Tetapi bagaimana dengan foto tersebut?
Sebab Edelweis memang sengaja memperlihatkan bahwa dia dan Hanif dekat. Bahkan seperti memiliki hubungan khusus. Meksipun itu cuma pura-pura. Sebab Edelweis menggunakan foto tersebut untuk mengusir serangga yang mengaggu.
Lalu bagaimana selanjutnya?
Kepala Edelweis rasanay sakit. Pomselnya terus berbunyi, namun dia tidak ingin menerima telepon dari siapapun sekarang.
Sebaiknya dia pulang saja. Dia tidak ingin selamanya terkurung di toilet.
Edelweis keluar dengan mata merah dan sembab. Dia menemukan topi di sebuah rak di depan toilet. Edelweis mengambil topi tersebut untuk menyembunyikan matanya bekas menangis.
Edelweis berjalan cepat keluar dari gedung ini.
Sedangkan si pemilik topi yang melihatnya berkeras memanggil Edelweis. Namun Edelweis sudah berlari kencang menghilang dari pandangan.
Oliver, pemilik topi mengernyit mengenali perempuan yang membawa topinya. "Edelweis?"
***
Kaliandra memutar pandangannya mencari Edelweis. Namun dia tidak menemukannya di manapun. Apa Edelweis sedang bekerja di atas?
Kaliandra menyadari kantor media tidak ada hari libur. Meskipun adaa acara semeriah ini, ada beberapa orang yang tetap menulis laporan beritanya di ruangan tertentu. Saat keliling tadi dia melihatnya sekilas.
Edgar masih bicara dengan beberapa pebisnis lain. Mereka tentu tidak akan melepaskan kesempatan untuk mengobrol dengan Walikota. Kaliandra tersenyum melihatnya, siapa sangka cinta pertamanya yang super cuek itu kini jadi Walikota yang disegani.
Hidup memang selalu memberik kejutan.
Kaliandra mendekati Oliver yang baru muncul.
"Liv, kamu lihat Edelweis?" Tanya Kaliandra.
"Edelweis? Tadi kulihat dia keluar dari sini," kata Oliver juga terlihat bingung. "Topiku dibawa dia."
Kaliandra memicingkan mata. "Topi? Tadi kalian bersama?"
Oliver tertawa kecil. "Rahasia."
"Pasti ada sesuatu di antara kalian," tebak Kaliandra.
"Tentu saja ada. Aku sudah melamarnya ingat?" Timpal Oliver.
"Dia sudah menerimanya?" Pekik Kaliandra.
"Tidak. Belum," kata Oliver. "Dia belum menjawab apapun."
"Terus dia kemana? Aku menelponnya beberapa kali juga tidak diangkat," kata Kaliandra mulai merasa.ada yang tidak beres.
Oliver mengernyit. "Aku bantu cari," kata Oliver menawarkan bantuan.
Kaliandra mengangguk. Dia mulai mencari ke atas gedung. Dia bertanya dengan beberapa orang yang dia temui. Namun mereka tidak melihat di manapun.
Kameramen yang semua diminta menjaga stand pameran foto menyebutkan Edelweis turun ke bawah menemui walikota.
"Itu sudah satu jam yang lalu," kata Kaliandra semakin curiga. Kalau di bawah tidak ada, di atas juga tidak ada. Berarti dia keluar gedung dan tidak kembali. Tetapi kenapa? Acara ini kan acara kantornya. Dan Kaliandra juga mendengar beberapa kali Awan memujinya di hadapan para pebisnis atas idenya memeriahkan acara.
Kaliandra pergi menemui Edgar dengan panik.
"Gar, Edelweis hilang," kata Kaliandra.
Awan mendengarnya "Apa maksudnya hilang?" Tanya Awan tajam.
"Aku dan Oliver sudah mencarinya. Tetapi dia nggak ada di sini."
"Mungkin pulang," sahut rekan Awan.
Semuanya menjadi lebih tenang, tetapi Kaliandra tidak. "Dia tidak mungkin pulang tanpa pamit. Pasti ada yang salah," keluh Kaliandra.
"Kamu tenang dulu Kal, kamu bikin semua orang ikut panik. Kita coba telepon dan kirim pesan pada Edelweis ya," kata Edgar kalem.
Dia tahu Kaliandra bisa terserang kepanikan bila sedang bingung.
Kaliandra menunggu sambil duduk. Dia menyerahkan urusan itu pada Edgar. Sebab tangannya sudah gemetar. Dia bahkan tidak bisa memegang ponsel tanpa menjatuhkannya.
Awan mencari ke depan. Bertanya pada beberapa tukang parkir.
"Mbak Edelweis sepertinya pulang dengan terburu-buru Pak. Sepertinya habis nangis," kata tukang parkir.
"Habis nangis?"
Awan kembali ke gedung dan meminta semuanya tenang. Edelweis memang pulang. Karena ada urusan keluarga, kata Awan berbohong.
Dia akan menghubungi Edelweis kalau gadis itu sudah lebih tenang. Dia melirik pada istri wali kota yang merengek untuk mengantarkan menuju rumah Edelweis.
Awan masih punya urusan yang tertunda. Urusan dengan Hanif dan istrinya. Beruntung dia menemukan Hanif dan istrinya sedang makan.
"Bagaimana hidangannya?" Tanya Hanif.
"Semuanya enak," jawab Mona. Dia merasakan makanan enak setelah beberapa waktu lidahnya tak mampu mencecap rasa apapun. Kelegaan hatinya ternyata membawa dampak baik juga pada tubuhnya.
Awan memberikan isyarat pada Hanif untuk ikut dengannya.
"Ma, aku ikut Pak Awan sebentar," kata Hanif.
"Dengan istrimu juga tidak apa-apa," sahut Awan.
Hanif mengernyit. Ada apa? Urusan kerja tidak mungkin bila istrinya dilibatkan. Apakah ini ada hubungannya dengan Edelweis?
Awan membawa mereka berdua ke ruangannya. Dia membuka laci dan menyerahkan sebuah berkas pada Hanif.
"Ini yang kubilang kemarin. Aku tahu siapa yang melaporkan Edelweis," kata Awan.
Mona diam saja.
Hanif melihatnya, dia membolak-balik kertas itu. Lalu menatap pada Mona.
"Kamu yang melaporkan Edelweis Ma?" Tanya Hanif berusaha menjaga suaranya agar tetap tenang.
"Iya," ucap Mona tanpa menyembunyikannya.
"Kenapa?" Tanya Hanif bingung.