Arsen's PoV
"Aku akan kabarin lagi nanti, ya?" Aku baru saja melakukan operasi 2 jam yang lalu, dan sekarang sedang istirahat sambil menghubungi Sania karena tak bisa langsung pulang. Sore ini, aku akan ada jadwal operasi lagi. Sepertinya aku akan di sini saja, tak balik ke tempat Sania berada sekarang.
"Oke, Mas. Kalau capek, enggak apa-apa balik ke apartemen aja. Aku izin untuk tinggal di sini dulu."
"Iya. Kalau ada apa-apa, kamu kabarin aku."
Sania saat ini tinggal di rumah orang tuanya sementara dan aku juga kadang bolak-balik ke sana atau apartemen, karena lokasi dari rumah orang tuanya Sania ke rumah sakit tempatku praktek cukup jauh. Ada alasan kenapa Sania meminta tinggal di sana sejenak dan pastinya aku mengizinkan—sangat memaklumi apa yang dirasakannya. Aku pernah merasakan apa yang tengah dirasakannya saat ini.
Papa mertuaku yang merupakan seorang profesor—ahli beda juga yang telah banyak membantuku sampai berada di tahap ini, meninggal 10 hari yang lalu. Sania yang merupakan anak bontot yang paling dimanja di keluarganya itu, paling terpukul atas kepergian sang papa. Aku mengerti, karena telah pernah dulu merasakan kehilangan seorang ayah juga. Ayahku yang selalu mendukungku untuk meraih cita-citaku, menghembuskan napas terakhirnya bersamaan dengan aku yang mengalami patah hati ditinggal menikah. Livya, sosok perempuan yang sudah aku sukai sejak SMA lebih memilih menikah bersama Ray yang merupakan teman se-angkatan kami juga. Lelaki itu ternyata merupakan cinta pertamanya Livya, lelaki yang Livya sukai sejak zaman sekolah. Aku diam-diam menyukai Livya, sementara perempuan itu diam-diam menyukai lelaki lain.
Sebelum meninggal, ayahku berpesan agar aku melanjutkan studiku. Aku dan ayah telah pernah membicarakan ini sebelumnya, hanya saja aku masih menimang-nimang, karena butuh biaya yang sangat besar. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengambil Program Pendidikan Dokter Spesialis. Papa juga telah menyiapkan dana untuk itu, dan aku langsung mengikuti ujian tak lama setelah itu. Aku lulus tes dengan mengambil program pendidikan spesialis bedah. Di sana, aku banyak dibantu oleh papanya Sania. Ibu berteman dekat dengan mamanya Sania dan cerita jika aku melanjutkan pendidikanku. Ketika aku kesulitan kekurangan dana karena biaya semester yang tak murah, papanya Sania lah yang membantu. Beliau banyak berjasa bagiku dalam menempuh studiku yang tidak mudah. Aku juga diajarkan banyak hal.
Aku menghela napas sambil menyandarkan punggungku ke kursi dengan mata terpejam. Ingat akan pembicaraan terakhir dengan papanya Sania. Dia berpesan agar aku tak meninggalkan Sania apa pun yang terjadi. Kata-kata yang juga ibuku selalu ingatkan padaku agar lebih sabar menghadapi Sania dan jangan pernah meninggalkannya. Jangan membuat kecewa. Sementara, aku telah melakukan hal yang tidak baik di belakang Sania meski tanpa disengaja.
Aku membuka mata saat pintu ruanganku terbuka beberapa saat kemudian dan masuk lah seorang perawat.
"Dok, ada pasien yang harus dioperasi. Ibu hamil, baru saja mengalami kecelakaan. Saya sudah konfirmasi untuk dokter obgyn yang ada pagi ini, cuma ada dokter Herni. Barusan banget, dokter Andy sudah pulang setelah operasi. Mungkin masih dekat dari sini, kalau mau dihubungi.”
"Hubungi dokter Herni aja." Sekarang hari Sabtu, pastinya tak banyak jadwal dokter yang praktek. Kecuali, ada visit atau ada ibu hamil yang akan melahirkan. “Eh, tunggu, biar saya aja yang ke sana langsung. Saya mau cek dulu kondisi pasiennya.”
“Baik, Dok. Akan saya sampaikan dulu sama perawat di sana, agar dokter Herni nggak pulang dulu.”
Aku mengecek kondisi pasien yang mengalami kecelakaan itu. Aku harus koordinasi dengan dokter kandungan dulu terkait kondisi pasien tersebut karena sedang hamil, tak boleh asal langsung mengambil tindakan saja.
Setelah mengecek kondisi pasien, aku langsung menuju ke ruangan dokter Herni yang kata perawatku barusan sedang melayani pasien. Tindakan operasi ini harus segera dilakukan dan aku harus mendiskusikannya dengan dokter tersebut sambil menunggu ruangan operasi yang tengah dipersiapkan.
Saat hendak memasuki ruangan dokter tersebut karena katanya sang pasien yang berada di dalam sudah akan selesai, aku mendapati seseorang yang sangat aku kenal keluar dari ruangan tersebut. Gladys. Perempuan itu keluar dari ruangan seorang dokter obgyn, berarti dia… ada kemungkinan sedang hamil? Degup jantungku berpacu dengan cepat. Baru saja aku membuka mulut hendak berucap sesuatu, Gladys tampak lemas dan aku segera menangkup tubuhnya. Gladys pingsan. Aku pun menggendongnya memasuki ruangan dokter Herni dan merebahkankan di atas brankar.
“Kenapa dia bisa pingsan ya, Dok?” tanyaku kepada dokter Herni. “Saya kenal dia,” lanjutku lagi.
“Bentar, saya cek lagi. Barusan itu, saya cek HBnya lemah, tapi dia enggak mual. Masih mau makan katanya dan nggak perlu harus dirawat. Dokter kenal suaminya juga?”
Dia belum menikah, Dok. Aku menggelengkan kepala. “Cuma kenal sama keluarganya aja, dulu tetangga depan rumah saya.”
Jadi, Gladys benar-benar hamil?
Pastinya, itu adalah darah dagingku. Aku yang telah menidurinya. Aku telah memikirkan resiko ini sejak kemarin-kemarin. Mungkin Gladys tak meminum pilnya, atau meminum di saat benihku telah berhasil membuahi sel telur di dalam sana? Aku tahu, pembuahan bisa terjadi cepat. Bisa terjadi beberapa jam setelah berhubungan intim, dan ada juga yang terjadi pada beberapa hari setelahnya.
Aku telah berpikir akan membiayai segala kebutuhan Gladys selama hamil dan juga setelah anak itu lahir nanti. Itu harus aku lakukan meski Gladys menolak pertanggung jawabanku. Untuk menikahinya, tentu saja tak terpikirkan olehku karena aku tak mungkin meninggalkan Sania. Hubungan pernikahanku dengan Sania memang kurang baik, namun aku tak akan berpisah dengannya begitu saja selain karena terikat janji dan juga tak ingin mengecewakan ibuku. Walau saat ini sebenarnya aku diam-diam telah mengecewakan.
“Sebaiknya dia dirawat dulu saja, paling tidak sampai besok. Dia ini agak kekurangan cairan.”
Aku mengangguk. “Dibawa ke ruang rawat inap saja. Nanti administrasinya, saya yang urus. Keluarganya nggak akan datang karena tinggal di luar kota, nggak tahu kalau posisi suaminya.” Aku asal saja, bilang tak tahu di mana posisi suaminya. Karena bagaimana pun, kehamilan Gladys saat ini adalah disebabkan olehku.
Gladys pun dipindahkan ke ruang rawat, di infus. Sementara aku dan dokter Herni harus melakukan operasi. Aku menitipkan Gladys kepada seorang perawat.
Begitu keluar dari ruang operasi 3 jam kemudian, aku segera melepas bajuku dan bergegas mencuci tangan dan mengenakan lagi jas dokterku. Aku segera menuju ruang rawat di mana Gladys berada. Aku bertanggung jawab atasnya, harus tahu bagaimana keadaannya. Sebelum ke sana, aku mengabari Sania jika malam ini tak pulang ke rumah. Selain karena sore ini ada operasi lagi, aku harus menjaga Gladys. Memastikan kondisinya, ada darah dagingku di dalam perutnya yang tak bisa aku abaikan begitu saja.
“Udah sadar sekitar 2 jam yang lalu, Dok,” ujar salah satu perawat ketika aku bertanya mengenai kondisi Gladys. Menimang-nimang, aku mengurungkan niatku untuk masuk. Membiarkan dia istirahat dengan tenang dulu. Aku akan memantau melalui perawat yang bertugas. Aku pun kembali ke ruanganku, ingin istirahat juga sejenak sebelum memulai operasi lagi. Ada perutku yang juga harus di isi, tapi aku tak bernafsu makan di saat isi kepalaku berkecamuk.
Pada malam hari usai operasi, aku baru menuju ruangan di mana Gladys berada.
Aku menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan sebelum membuka pintu. Berisik sekali kepalaku belakangan ini. Ada Sania yang masih sedih butuh perhatian dariku, ditambah lagi dengan Gladys yang hamil anakku. Aku berusaha untuk tetap tenang. Begitu pintu kubuka, aku melihat Gladys yang matanya terbuka sambil menatap ke arah jendela. Aku menempatkannya di kamar VIP agar dia merasa lebih tenang.
Aku melangkah perlahan dan duduk di samping brangkar. Gladys terus menatap ke arah jendela seolah tak menghiraukan keberadaanku.
“Kenapa kamu nggak bilang, Dys?” tanyaku pelan, tak marah karena aku tahu orang hamil itu tak boleh stress. Bisa berpengaruh pada janin yang dikandungnya. “Sudah 5 minggu kata dokter.”
“Kak Arsen nggak perlu tahu.”
“Dys, gimana pun itu adalah darah daging saya. Dia tumbuh di sana karena ada andil saya. Nggak… saya nggak menyalahkan kamu, oke… kita sama-sama mabuk malam itu.”
“Kenapa ya, Kak? Kenapa hidupku rasanya enggak adil banget? Orang tuaku pasti kecewa banget,” ujarnya terdengar lirih.
“Saya minta maaf, Dys.”
“Aku nggak lagi mencintai kamu, Kak. Nggak sedikit pun terbesit dalam pikiranku untuk ganggu kehidupan kamu. Sumpah. Sama sekali nggak ada kepikiran untuk tidur sama suami orang. Aku nggak sebodoh itu. Aku ingin hidup yang tenang, tapi kena— “
"Iya... iya. Kamu nggak usah banyak mikir, ya? Jangan stres! Saya enggak marah sama kamu. Dan saya minta maaf atas apa yang pernah saya ucapkan kala itu.” Aku yang kepikiran menuduhnya menikmati malam denganku mengingat bagaimana dirinya yang bertahun-tahun mengejarku. Sampai aku baru tahu, jika dirinya pindah keyakinan juga pada tahun sama di mana dia terang-terangan memintaku mempertimbangkan dirinya menjadi kekasihnya.
"Aku belum selesai ngomong, jangan dipotong dulu, ya?" Tak terdengar lagi nada tinggi marah-marah seperti waktu itu. "Aku—bayi ini, aku akan mengurusnya sendiri. Kak Arsen enggak usah khawatir. Tenang aja, nggak akan aku sedikit pun meminta pertanggung jawaban kamu. Aku konsisten dengan apa yang pernah aku ucapkan sebelumnya.”
“Iya, terserah kamu aja.” Itu yang bisa aku jawab saat ini agar dia tak mengamuk. Kondisinya masih lemah saat ini. “Kamu nggak ada mual sama sekali?”
“Nggak ada.”
“Kamu dehidrasi kata dokter yang periksa kamu tadi. Apa kamu jarang makan? Minum?”
“Bukan urusan kamu.”
Aku hanya bisa menghela napas berkali-kali, berusaha untuk tetap tenang menghadapinya.
“Mau jalan-jalan keluar nggak? Ke taman di luar dekat, kali kamu sumpek di kamar dari tadi. Ngeliat bulan dan bintang bersinar, sedikit lebih baik dari pada terus di sini.”
Gladys diam saja.
“Oke, nggak apa-apa kalau memang kamu mau mengurus janin itu sendiri. Cuma pastiin kalau kamu bisa menjaganya dengan baik. Enggak boleh stres banyak pikiran, karena akan berdampak pada janinnya. Yuk, mau keluar sebentar? Saya sebagai dokter di sini, anggap saja saya sedang menemani pasien saya.”
Gladys masih diam, dan diamnya dia, aku anggap sebagai persetujuan. Aku mengambil kursi roda dan meminta perawat membantunya duduk di sana. Gladys pasti tak mau dibantu olehku. Tapi, dia diam saja saat kursi rodanya aku ambil alih dari perawat—mendorongnya melalui lorong menuju taman.
Hingga aku berhenti dan duduk di sebuah tempat. Aku menatap Gladys yang pandangannya lurus ke depan arah taman, tiba-tiba air matanya mengalir di pipinya. Aku merasa bersalah, tentu saja. Jika malam itu aku tidak mabuk, semua tidak akan serumit ini.
“Dys, saya tahu ini pasti berat bagi kamu. Tapi, boleh kah saya tetap memantau untuk memastikan kondisi kamu?
“Kamu punya istri, Kak. Urus istrinya kamu aja. Aku sama sekali tak masalah sendirian. Aku bisa menjaga calon anakku dengan baik, tanpa ikut campur kamu. Nggak usah pusing mikirin kami. Ada seseorang yang lebih penting yang harus kamu pikirkan, yang menunggu kamu pulang.”
Anakku katanya? Aku terkekeh pelan. Itu anakku juga. Tak akan ada janin yang tumbuh dalam perutnya jika malam itu aku tak menidurinya.
“Kita nggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dengan hari esok, Dys. Kamu bilang sanggup mengurusnya sendirian, tapi hari ini… “ Aku menggelengkan kepala, tak lagi meneruskan kata-kataku karena tak mau menjadi bahan perdebatan dan dianya jadi emosi. “Gimana yang terbaik aja menurut kamu. Yang penting kamu tahu gimana seharusnya menjadi seorang calon ibu. Kamu nggak boleh egois hanya dengan mikirin diri kamu sendiri aja. Ada nyawa lain dalam tubuh kamu yang harus diperhatikan. Nggak… saya nggak lagi nekan kamu, hanya mengingatkan sebagai seorang dokter.”
“Ya.”
“Kadang kita harus tetap menikmati hidup, meski kadang memang rasanya takdir selucu itu. If you need any help, bisa hubungi saya sebagai dokter yang bisa menemani kamu ngobrol—memberi saran masukan tentang kehamilan kamu. Meski saya bukan dokter spesialis kandungan, tapi saya cukup tahu banyak tentang ibu hamil. Lupakan sejenak tentang Arsen brengsekk yang udah merenggut mahkota berharga yang selama ini kamu jaga.”
***