Arsen's PoV
Aku mengecek ponselku. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari teman-temanku dan notifikasi chat. Sudah pasti semalam temanku mencari keberadaanku karena aku yang tak kembali lagi ke ruangan seharusnya. Ada chat juga dari Sania dan aku membuka itu terlebih dahulu, sebelum membaca chat dari yang lain. Rasa bersalah seketika datang menyelinap. Aku telah mengkhianati istriku.
Meski selama ini Sania belum menjadi istri yang baik, tak lantas aku mengkhianatinya walau kejadian semalam tanpa disengaja. Di luar kehendakku. Aku menghela napas membaca pesan dari perempuan itu. Sania bilang tak pulang semalam, izin menginap di rumah temannya. Kenapa tak pulang ke rumah? Ini bukan kali pertama istriku itu izin menginap di rumah temannya. Walau aku belum membalas, Sania kadang sudah berada di rumah temannya.
Aku menekan tanda telepon dan tak langsung dijawab di seberang sana oleh Sania. Panggilan ketiga, baru diangkat.
"Ya, Mas? Maaf, aku baru selesai mandi dan mau siap-siap ke kantor. Aku balik malam, dan takut kesiangan jadi nginep dia apartemen temen yang nggak jauh dari kantor."
"Nginep di apartemen teman kamu yang mana?"
"Mas... kamu lagi nggak curigaan sama aku, 'kan? Kok nanyanya kayak nggak percaya gitu aku menginap di rumah temanku."
"Aku cuma nanya, San.”
"Masih pagi, kamu udah bikin aku badmood aja, Mas. Udah dulu, ya! Entar aja ngobrolnya karena aku mau siap-siap berangkat kerja. Dan nggak mau mood aku terganggu gara-gara ribut sama kamu."
"San— "
Sambungan telepon terputus begitu saja. Sania mematikannya di seberang sana. Aku geleng-geleng kepala. Sania memang kadang keras kepala. Tapi, aku terus berusaha untuk rumah tangga kami walau bagaimana pun Sania. Selagi perempuan itu tak selingkuh di belakangku, aku tetap akan mempertahankan hubungan kami. Aku yakin, lama-kelamaan hubungan kami akan membaik. Makanya, diperlukan komunikasi yang baik. Di kala Sania marah, aku tak lantas ikut emosi juga. Tapi masalahnya sekarang, aku lah yang telah bermain tanpa sengaja di belakangnya. Harus kah aku mengakui kesalahanku padanya? Aku menggeleng. Pernikahan kami akan hancur jika aku mengakui hal tersebut. Tak terbayang olehku raut kecewa ibuku. Ibu yang sangat menyayangi Sania.
Di sisi lain, aku kepikiran Gladys. Bagaimana jika perempuan itu hamil? Aku tak ingat bagaimana kami melakukannya semalam. Bagaimana kami berhubungan badan hingga sprei terlihat begitu berantakan dan ada noda darah berceceran tak hanya di satu tempat. Aku telah merenggut keperawanan seseorang yang bukan istriku. Akan bagaimana aku mempertanggungjawabkannya?
Meski Gladys bilang tak akan menggangguku jika memang ada jejakku tertinggal dan berkembang di dalam sana, aku yang tak bisa lari dari tanggung jawab begitu saja. Aku memijit keningku, pusing sekali rasanya. Aku pastinya tak akan lari dari tanggung jawab. Apa aku harus menikahi Gladys diam-diam? Menjadikannya istri kedua?
Tapi, bukannya kami berbeda keyakinan?
Astaga. Aku harus bagaimana?
Aku menoleh ketika mendengar layar ponselku berdering. Ada panggilan masuk dari temanku semalam, Yogi.
“Ya, Gi? Sorry, semalam gue buru-buru balik nggak kasih kabar,” ujarku cepat yang tentunya berbohong.
“Oalah. Harus ke RS, ya?”
“Iya, tapi gue pulang dulu.”
“Minta jatah dulu lo? Oh ya, gue mau kasih tahu kalau semalam ternyata minuman yang lo minum itu dikasih obat peransang sama Willy. Niat buat ceweknya, parah emang. Dia misuh-misuh semalam, lo udah habisin minumnya dan dia nggak ada bawa lagi obatnya.”
Astaga, pantas saja. Apa semalam aku begitu b*******h? Aku ingin semalam sejak ke toilet merasa gerah dan juga pusing, ingin membuka baju rasanya. Bisa saja, semalam aku yang hasratku menggebu-gebu haus akan sentuhan akibat efek minuman itu. Aku mendesah kesal, tapi tak ada gunanya juga karena semua telah terjadi.
“Hmmm… pantesan. Parah banget si Willy!” dengusku sebal.
“Nggak apa-apa lah, lo kan udah punya bini. Ada tempat untuk nyalurin hasrat lo.”
Masalahnya, gue malah nyalurin hasrat gue ke orang lain gara-gara salah masuk ruangan!
“Bisa jalan nggak tuh bini lo pagi ini? Pasti lo gempur habis-habisan semalam, ‘kan? Efek obat peransang itu kan luar biasa.”
Aku hanya berdehem, lalu membayangkan, apa aku telah menggempur Gladys semalam?
Apa perempuan itu sanggup berjalan? Mengingat ini kali pertama untuknya. Sama denganku yang kali pertama juga, beda halnya karena dia seorang perempuan yang merasakan kesakitan lebih. Ada selaput darah yang pastinya sudah aku semalam. Buktinya noda darah mengering pada sprei yang tak hanya ada pada satu titik saja.
“Pengen tahu aja lo! Makanya, sana nikah lagi biar ngerasain kayak gituan.”
Di dalam hati, aku tertawa miris. Aku yang sudah menikah 2 tahun belum pernah melakukan hubungan intim dengan istriku sendiri. Malah melepas perjakaku dengan seseorang yang dulu pernah mengejar-ngejarku.
“Dah ah, gue mau balik ke apartemen.”
“Jiaah, masih kurang yang semalam sebelum ke RS?”
“Lo kira gue hyper?
Terdengar gelak tawa dari seberang sana.
Setelah mematikan sambungan telepon, aku masih saja kepikiran Gladys. Apa dia bisa berjalan dengan baik? Aku pun keluar dari mobil, kembali menuju ke tempat sialan itu. Aku berdiri agak jauhan dari pintu masuk memantau Gladys. Jika dia tak keluar-keluar dalam waktu lama, baru akan akan masuk menyusulnya. Khawatir dirinya kesusahan berjalan.
Sambil menunggu, aku mengotak-atik ponselku. Aku membuka media sosial yang sangat jarang sekali aku buka. Aku mengetikkan nama lengkap Gladys di sana. Aku tahu ke mana akan menghubunginya nanti, bertanya apa kah ada hasil dari pergumulan kami di ranjang semalam. Aku menemukan sebuah akun dan itu benar akunnya Gladys. Ada unggahan foto yang sudah cukup lama, namun akun itu terakhir aktif kemarin.
Jemari tanganku bergerak begitu saja scroll postingan perempuan itu yang tak seberapa. Tak jauh lebih banyak dariku juga. Hingga mataku menyipit melihat sebuah unggahan sekitar 5 tahun yang lalu. Mengingat-ingat kembali, kalau tak salah tahun itu di mana tahunnya lulus kuliah dan pindah karena ayah ibunya ingin membuka usaha di kampung. Gladys, aku tak lagi mendengarkan kabar tentang perempuan itu sejak mama bilang jika perempuan itu tetap di Jakarta dan tinggal di indekos. Rumahnya yang berada di depan rumahku persis, telah dijual.
Aku jadi ingat saat sebelum pindah, Gladys menyatakan perasaannya padaku dan aku menolaknya.
“Aku suka sama Kak Arsen. A-pa Kak Arsen mau jadi pacarku?” tanyanya dengan mata berbinar.
Sudut bibirku terangkat membentuk senyuman sinis. “Pede sekali kamu menyatakan cinta sama saya. Apa kamu pikir karena saya mengajak kamu menemani saya ke undangan nikah, ada maksud lain? Kamu nggak berpikir saya menyukai kamu, bukan? Saya hanya minta ditemani, bukan menganggap kamu sebagai seseorang yang ingin saya tunjukkan kepada orang-orang. Bukan orang yang spesial yang saya inginkan.”
Terlihat senyum perempuan itu luntur seketika. Aku belum move on dari Livya yang baru saja menikah seminggu yang lalu. Aku meminta Gladys menemaniku saat itu agar Livya berpikir jika aku baik-baik saja setelah ditolak olehnya. Lagian, tak ada kandidat lain yang ingin aku ajak karena aku tidak mudah dekat dengan seorang perempuan. Kebetulan Gladys adalah tetanggaku yang sudah aku kenal lama, jadi aku mengajaknya saja.
“Kamu bukan tipenya saya. Dan saya nggak akan pernah tertarik dengan kamu. Selain itu, apa kamu nggak mikir kalau keyakinan kita berbeda?”
“Lupakan saya! Karena kamu nggak cocok menjadi pasangan saya dan nggak akan pernah jadi mungkin.”
Kembali pada foto yang aku lihat. Gladys berpindah keyakinan yang sama denganku pada tahun itu juga?
Apa dia melakukannya itu karenaku? Apa karena kata-kata yang keluar dari mulutku di mana salah satunya alasan yang kusebut adalah ‘memiliki keyakinan yang berbeda?’
Aku jadi bertanya-tanya. Semisal dia melakukan itu demiku, berarti rasa cintanya sangat lah besar hingga mengorbankan Tuhannya sendiri dengan pindah pada keyakinan yang sama denganku. Apa, sampai sekarang masih begitu? Kenapa aku jadi curiga perihal semalam?
Apa Gladys benar-benar tak sadar karena mabuk juga, atau… memanfaatkan kondisiku karena kesal ditolak olehku dulu?
***
Ibu meneleponku saat aku masih berdiri menunggu Gladys keluar dari tempat itu. Aku tetap menunggu meski isi kepalaku berisik dengan berbagai macam praduga.
“Ya, Bu. Nanti Sabtu aku akan ke rumah sama Sania.”
“Ibu tunggu loh! Ibu pengen masakin makanan spesial buat menantu kesayangan Ibu.”
“Iya, Bu. Nanti aku kabarin lagi.”
Sebelum menyudahi pembicaraan kami, aku bertanya perihal orang tuanya Gladys kepada ibuku. Sepertinya aku harus mendapatkan nomor ponsel Gladys, selain akun instagramnya. Pasalnya tak semua orang selalu aktif di instagramm itu.
“Ooh ada. Sebentar, Ibu kirim. Emm… buat apa emangnya, Sen?”
“Aku ada rencana mau ke Jogja, Bu. Sekalian mau silaturahmi udah lama nggak ketemu sama mantan tetangga.”
Ibu pun mengirimkan nomor ponselnya mama dari Gladys. Aku segera menghubungi nomor itu dan tak menunggu lama untuk diangkat. Aku bertanya kabar dan lain-lain, hingga ujungnya meminta nomor Gladys dengan alasan ingin mengundang perempuan itu nanti saat syukuran rumah baru.
Setelah mendapatkan nomor itu, aku pun mengirimkan pesan kepada Gladys. Namun, perempuan itu tak membalas pesanku. Beberapa saat kemudian saat hendak menyusul karena sudah cukup lama menunggu, terlihat Gladys keluar dengan langkah tertatih. Apa dia begitu kesakitan?
Aku ingin membantu, tapi tak jadi ketika berputar ulang kata-kata yang keluar dari mulut perempuan itu. Aku melangkah ke arahnya saat dia berdiri di depan lift. Gladys menoleh seketika padaku.
“Kenapa belum pulang?”
“Saya ada urusan barusan di sini.”
Gladys tak menyahut lagi. Lift pun terbuka, Gladys memasuki lift dan aku juga. Dia ternyata menuju lantai basement juga. Kami sama-sama diam, hingga tiba di lantai tujuan. Gladys melangkah lebih dulu, menatap lurus ke depan seolah tak menganggap kehadiranku di dekatnya.
“Dys, apa sakit banget?” tanyaku dari belakang melihat jalannya yang seperti orang menahan kesakitan, tertatih-tatih langkah kakinya.
“Nggak usah ngurusin aku, Kak. Aku baik-baik aja.”
Aku mendengkus. Baik-baik saja dari mana? Jalannya saja begitu. Aku tetap mengikuti langkah kakinya.
“Kamu semalam beneran nggak lagi memanfaatkan saya kan ya, Dys?”
Langkah kakinya Gladys terhenti. Dia menoleh seketika ke arahku.
“Masih menuduhku sembarangan?”
Aku mengotak-atik ponsel dan memperlihatkan sebuah foto yang aku screenshot berserta caption-mya sekalian.
“Ini apa? Kamu melakukan sesuatu yang besar pada tahun itu? Saya agak curiga, kamu udah melakukan sesuatu yang besar itu, apa karena suatu saat ingin bersama saya?”
Tangan Gladys melayang menampar wajahku. Aku memegangi pipiku, tamparan perempuan itu cukup keras.
“Kamu tahu apa tentang aku? Jangan sok tahu. Iya, benar, saya udah melakukan sesuatu yang besar dalam hidup saya pada tahun itu. Tapi bukan berarti karena kamu juga. Aku memang pernah mencintai kamu bertahun-tahun, tapi bukan berarti selamanya akan begitu. Kak, aku mohon banget sama kamu, aku udah pusing banget jangan bikin aku bisa menjadi gila nantinya. Demi apa pun, aku sama sekali nggak berniat hancurin rumah tangga orang. Kan aku udah bilang sama kamu, meski ada jejak kamu tertinggal pun, aku enggak bakalan ganggu kamu. Aku harus gimana lagi bilangnya sama kamu supaya kamu mengerti??!” Gladys berteriak histeris di ujung kalimatnya. “Copot aja gelar doktermu itu! Bodoh sekali pemikiranmu yang asal itu.”