Bab 5 — Luka Baru

1838 Kata
Gladys's PoV Tak kusangka juka niat ingin melupakan rasa sakit hati sejenak, malah menambah lagi rasa sakit yang lain. Aku yang terbangun di ranjang yang sama dengan seperti lelaki pada keesokan harinya, efek dari aku yang semalam mabuk. Dan lelaki itu tak lain adalah seseorang yang pernah mengecewakanku pada masa lalu. Bagaimana bisa aku tidur dengan lelaki yang sudah memiliki istri tersebut? Bagaimana bisa dia ada di ruangan ini? Aku mencoba mengingat, semalam aku tak keluar-keluar kamar lagi. Berarti, dia yang masuk ke dalam sini, bukan? Aku ingat, ini adalah tempat tidur yang terdapat di ruangan karoeke yang dibatasi oleh dinding tanpa pintu. Lalu, kenapa malah dia yang menuduhku atas sesuatu yang masih berusaha aku cerna? Sekian tahun berlalu, sumpah demi apa pun, aku tak lagi mencintainya. Aku telah melupakannya. Apa lagi aku sudah bersama Ben selama bertahun-tahun. Ben yang selalu ada di sisiku. Dadaku kembali berdenyut nyeri mengingat mantan tunanganku itu. Yang menjadi alasanku ada di tempat ini. "Kita harus bahas ini, Dys.” Aku seketika menoleh. "Nggak dengar aku bilang apa barusan, Kak? Kamu pulang sekarang, pasti istri kamu sudah menunggu di rumah. Tenang, nggak usah takut rumah tangga kamu terganggu. Aku bakal ngelupain semua yang udah terjadi." "Kenapa semalam kamu nggak dorong saya? Pukul saya atau— " "Serius kamu masih mau nyalahin aku, Kak?" tanyaku nanar, tak percaya dengan kata-kata yang aku dengar dari mulutnya itu. Oke, aku juga salah karena mabuk juga. Tapi kenapa kesannya hanya aku yang disalahkan? "Nggak. Saya salah dan saya minta maaf karena di bawah pengaruh alkohol. Setidaknya kamu— " "Aku juga mabuk, bukan kamu aja. Dan coba kamu lihat, kita ada di mana sekarang, Kak?" Aku mengedarkan pandangan ke sekitar dan ingat jika ini adalah kamar yang sempat aku lihat-lihat juga semalam saat ke kamar mandi. "Kamu yang datang ke sini." Aku menggelengkan kepala. "Nggak. Aku nggak sepenuhnya nyalahin kamu juga. Kita sama-sama dalam kondisi mabuk sepertinya. Udah, mari kita lupakan kejadian semalam." "Gimana kalau kamu hamil?" "Apa kata-kata aku barusan nggak cukup jelas, Pak Dokter? Aku udah bilang meski pun ada jejak yang tertinggal, aku nggak akan meminta pertanggungjawaban kamu. Aku nggak akan gangguin kehidupan rumah tanggamu itu. ENGGAK.AKAN!! Kurang jelas gimana lagi??!" Terdengar helaan napas lelaki itu yang berembus. "Baik lah, nanti kita akan bicarain lagi kalau— " "Nggak ada nanti-nanti!" potongku cepat. "Aku nggak mau berurusan sama kamu lagi." "Dys, saya bukan orang yang enggak bertanggung jawab atas apa yang udah saya perbuat. Meski dalam keadaan enggak sadar." "Kamu udah punya istri. Lalu, gimana cara kamu bertanggung jawab? Udah lah, Kak, anggap aja nggak ada apa-apa semalam. Nggak usah diperpanjang. Aku tuh udah capek banget sama hidup ini, Kak, tolong lah mengerti. Gih pulang sana!" Aku mengibaskan tanganku. "Istri kamu pasti nungguin kamu semalaman." "Nanti saya akan pikirkan. Sekarang— “ "Pergi nggak?!! Aku nggak pengen dengar apa pun dari kamu.” Setelah kepergian lelaki itu, aku menangis kencang. Kembali melihat noda darah di sprei, aku menjambak rambutku frustasi. Kenapa aku bisa sebodoh itu? Aku menggeleng. Tidak... seharusnya semua baik-baik saja saat aku sendirian di sini dan lelaki itu tak memasuki ruangan ini. Namun, Arsen tak bisa disalahkan juga sepenuhnya andai semalam aku tak mabuk juga. Patah hatiku berujung pada malapetaka. Kenapa sial sekali nasibku? Setelah diselingkuhi—dikhianati sahabat serta kekasih, sekarang mahkota yang aku jaga selama puluhan tahun direnggut oleh seseorang yang bukan merupakan suamiku. Parahnya, lelaki itu adalah suaminya orang. Sudah Bagaimana jika aku hamil? Orang tuaku pasti akan kecewa sekali padaku. Dan juga, bagaimana dengan kerjaanku? Aku hanya bisa menutupi jika perutku masih rata. Dan bagaimana pandangan orang terhadapku? Pasti orang-orang akan mencemoohku. Tari masih beruntung berhubungan dengan seseorang yang belum memiliki ikatan resmi dalam sebuah pernikahan. Sementara aku? Aku berhubungan badan dengan suami orang. Menyeka air mataku, aku bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju tertatih toilet. Aku berjalan tertarih, karena merasa perih pada bagian kewanitaanku. Bagaimana aku tidak sadar keperawananku diambil seseorang? Rasanya begitu perih. Apa semalam, Kak Arsen berkali-kali memasuki inti tubuhku sehingga sakitnya masih terasa hingga saat ini? Badanku terasa nyaris remuk juga. Banyak yang bilang jika akan terasa perih saat pertama keperawanan terlepas. Aku memegang dadaku yang berdenyut nyeri. Luka yang ditorehkan oleh Ben masih terasa sakitnya—darahnya belum mengering, ditambah lagi oleh kejadian di luar dugaan. Yang lebih sakit lagi. Sudah terjatuh, tertimpa tangga pula. Luka baru pun muncul. Ketika berkaca, aku tertawa miris melihat bagian tubuhku yang dipenuhi bekas keunguan. Aku bukan anak kecil yang tak mengerti apa artinya tanda itu, meski tak pernah sebelumnya mendapatkan ini. Dari zaman sekolah hingga berada di dunia kerja saat ini, ada banyak teman-temanku yang nakal. Mereka bercerita tentang gaya pacarannya. Tak banyak dari mereka yang sudah berhubungan intim dengan kekasih. Mungkin bagi beberapa orang, berhubungan intim sebelum menikah itu biasa saja. Tapi tidak denganku. Bagiku, hal tersebut masih tabu. Dengan Ben saja meski sudah berpacaran lama, aku sangat menjaga diri selama ini. Telah menjaga diri puluhan tahun, mahkotaku malah direnggut oleh seseorang yang bukan suamiku. Aku tertawa sumbang. "Dasar jalang lo, Dys! Bisa-bisanya tidur sama suami orang." Memang aku tidur dengan Kak Arsen tanpa kesengajaan. Tetap saja, tidur dengan suami orang apa lagi namanya kalau bukan jalang? Kembali ke arah ranjang setelah membersihkan diri, aku kembali tertawa. Ranjang tersebut bentuknya sudah tak karuan. Noda darah dan ada aroma tak sedap memenuhi indera penciumanku dari tadi. Seberapa banyak benih yang tercecer dan ditanam lelaki itu ke dalam tubuhku? Aku yakin dia pasti mengeluarkannya di dalam tubuhku karena kesadaran yang minim. Aku mengusap perut rataku dengan mata terpejam. Tolong ya, Tuhan... jangan biarkan jejaknya tumbuh di dalam sini. *** Aku sudah rapih saat ini dan mengenakan kembali bajuku yang bentuknya sudah jauh dari kata rapih. Aku meraih tas yang berada di atas kursi, kemudian mengeluarkan ponselku dari dalam sana. Terlihat ada beberapa panggilan tak terjawab dari Mas Bima dan juga adikku yang saat ini duduk di bangku kuliah. Aku menghubungi nomor adikku terlebih dahulu. "Ada apa, Ras?" tanyaku kepada adikku yang bernama Rasi itu. Usianya saat ini 21 tahun, kuliah di Jogja tak jauh dari rumah bisa pulang-pergi ke kampus. Jarak usia kami cukup jauh, karena adikku yang kedua dulunya meninggal dunia saat masih bayi. "Kak, uang semesterku belum ditransfer, ya?" Aku menepuk jidatku. Lupa jika belum mengirim uang kuliahnya Rasi. "Astaga, maaf, Dek. Kakak lupa belum transfer. Wait, ya, Kakak akan transfer sekarang." Rasi dulunya tak berminat kuliah karena usaha orang tuaku di daerah tidak berjalan lancar, namun aku terus mendorongnya. Aku bilang akan membantunya. Sudah berkerja sejak lulus kuliah, penghasilanku cukup besar seiring berjalannya waktu dari tahun ke tahun. Lagi juga biaya kuliah di Universitas tempat Rasi kuliah sekarang tak begitu besar, masih terjangkau olehku. Cicilan apartemenku tak seberapa, mobilku pun bisa terbeli cash karena second. Murah, mobil keluaran 8 tahun lalu yang belum lama aku beli. Aku bisa membeli itu dari hasil bonus yang aku kumpulkan ditambah gaji setiap bulan yang aku sisihkan. Untuk sehari-hari, aku bergaya hidup sederhana saja. Makan pun, aku suka irit-irit selama 3 tahun pertama bekerja. Setelahnya juga, tapi tidak seirit sebelumnya di mana ada masa aku ingin menyenangkan diri sendiri. Dan semalam itu adalah pengecualian, aku mengeluarkan banyak uang untuk teman-teman kantorku. Mungkin karena hatiku sedang patah? "Aku pikir Kakak nggak ada uang. Kan cicilan apartemen belum lunas. Maafin aku ya, Kak, masih nyusahin Kak Gladys." "Ada, kok. Apartemen kakak kan yang biasa, kamu udah lihat sendiri. Cicilannya kecil, beda jauh sama KPR rumah. Tenang, gaji kakakmu ini masih mampu nguliahin kamu sampe S-2," ujarku terkekeh. "Lagi juga, kan Kakak cuma sekali beberapa bulan bayar uang semester kamu itu." "Tapi kan Kak Gladys juga setiap bulannya sering kasih aku uang jajan. Nggak deh, Kak, aku cukup kuliah sampai S-1 aja. Aku nggak mau nyusahin Kak Gladys lagi setelah lulus. Aku akan cari kerja dan gantian bantu biayain kuliahnya Alif nanti." Adikku yang bontot, sekarang duduk di bangku SMA kelas 2. "Rasi... " "Kak Gladys akan menikah sebentar lagi dan akan banyak kebutuhan pastinya setelah menikah. Masih lanjut bayar cicilan apartemen juga." Menikah? Menikah dengan Ben adalah salah satu impianku. Aku tertawa miris. Kakak nggak jadi menikah dengan Ben, Ras... "Do'ain aja semuanya berjalan lancar ya, Ras." Aku membuka M-banking dan segera transfer uang semester Rasi serta melebihkan 500 ribu rupiah untuk uang jajannya. Rasi tak pernah meminta selain uang semester, tapi aku saja yang selalu memberinya setiap bulan. Sangat bersyukur dengan posisiku sekarang yang tidak hanya mendapatkan salary yang besar saja, tapi bonus yang jauh lebih besar. Yang sering aku dapatkan dari client juga, aku tak munafik jika beberapa kali menerima transferan dari client yang katanya puas dengan kinerja kami. "Udah Kakak transfer ya, Ras." "Pasti aku do'ain. Makasih ya, Kak. Aku nggak akan ngecewain Kak Gladys. Aku menjadi lulusan terbaik nantinya untuk Kakak." Aku menghela napas panjang setelah mengakhiri pembicaraan dengan Rasi. Aku belum siap rasanya untuk memberitahu berita menyedihkan ini. Keluargaku sangat menyayangi Ben. Lelaki itu juga pernah ikut aku pulang ke Jogja setahun lalu juga. Sejak dulu orang tuaku sudah mengenal lelaki itu—menitipkanku padanya, namun lelaki yang mereka percaya itu telah mengecewakanku. Tak ada toleransi lagi untuk lelaki yang berselingkuh. Layar ponselku kembali menyala, kali ini ada Mas Bima yang meneleponku. Oh ya, aku belum membalas pesannya barusan. Aku ingat, semalam aku mengusirnya yang hendak menungguku. Sementara, aku ingin menikmati waktu sendiri. "Hallo, Mas?" "Dys, kamu semalam gimana? Jadi nginep di sana? Di mana sekarang? Are you okay?" "Jadi, Mas. Tepar aku! Maaf atas sikapku semalam, ya!" "Iya, enggak apa-apa. Santai. Sekarang, kamu lagi di mana? Udah pulang?" "Ini baru mau pulang, Mas. Aku izin datang agak siangan. Aku baru mau chat Bu Mira." "Ooh... oke. Kalau ada apa-apa, kabarin aku aja." "Siap, Mas." Aku beranjak dari ruangan yang menjadi petaka untukku ini. Keluar dari sana, aku menuju kasir membayar sisa tagihan semalam setelah sebelumnya kemarin sore membayar DP. Aku sudah meminta Mas Bima sebelumnya menyampaikan jika aku memperpanjang waktu—akan stay semalaman. Usai membayar tagihan, aku berjalan gontai keluar tempat itu. Cukup ini pertama dan terakhir kalinya aku menginjakkkan kaki di tempat ini. Aku menuju lift yang akan membawaku ke lantai basement di mana mobilku berada. Sudah memasuki mobil, aku tak segera mengemudi. Dadaku masih saja terasa sesak, kenapa cobaan datang bertubi? Kepalaku berisik. Jika yang aku takutkan terjadi, aku harus memikirkan cara menghadapi sekitarku, terutama di tempat kerja. Aku tak mungkin berhenti bekerja. Ada adikku yang masih butuh bantuanku dan masa depan yang akan aku jalani nantinya. Aku harus bagaimana? Aku tak akan meminta Kak Arsen untuk bertanggung jawab. Dia sudah memiliki istri, dan aku tak ingin menghancurkan hubungan mereka. Biar lah aku tanggung sendiri semisalkan ada jejaknya yang tertinggal. Aku tersentak ketika layar ponselku berdering dan ada notifikasi pesan masuk. Aku menyalakan nada dering sebelum keluar dari sana barusan, karena takut ada yang mencariku terkait urusan pekerjaan. Mataku menyipit melihat pesan baru yang masuk dari nomor tak dikenal. 081117766xxx Ini Arsen Save no sya klo ada apa2 Sudut bibirku terangkat. Sungguh, aku tak ingin berurusan dengan lelaki yang sudah memiliki istri. Aku hanya membaca pesan itu tanpa membalasnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN