Bab 2 — Bertahan

2457 Kata
Arsen's PoV Namaku Arsen, berusia 33 tahun. Profesiku adalah sebagai dokter bedah. Menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis bedah pada usia 31 tahun, aku banyak menghabiskan waktuku di rumah sakit. Oleh sebab itu, pada akhirnya ibuku menjodohkanku dengan anak sahabatnya. Aku tak menolak karena tak kepikiran mencari sosok calon istri di tengah kesibukanku. Setelah patah hati karena Livya—perempuan yang aku sukai sejak SMA itu memilih Ray dan mereka menikah, aku malas untuk mendekati perempuan mana pun. Aku kenal dengan anak dari sahabat ibuku itu. Dia cantik dan baik dan bekerja sebagai ASN di salah satu kementrian. Sania nama perempuan itu dan dia pun tak menolak ketika dijodohkan denganku. Aku dan Sania resmi menikah setahun yang lalu. Namun, rumah tangga kami tak berjalan sebagaimana hakikatnya. Aku sibuk, begitu juga dengan Sania yang sering ada tugas ke luar daerah. Dan... aku baru tahu setelah kami resmi menikah, jika ternyata perempuan itu belum move on dari mantan kekasihnya. Mereka berpisah karena Sania tak diterima oleh keluarga lelaki itu. Sania bilang, lelaki itu telah dijodohkan juga. Aku dan Sania memang menikah tanpa cinta. Aku menyetujui permintaan Sania yang ingin tidur terpisah sebelum adanya cinta di antara kami. Sania bilang jika butuh waktu untuk melupakan mantan kekasihnya itu dan aku memberikannya waktu. Aku ingat dulu di mana aku juga sulit melupakan sosok Livya. Waktu terus berlalu, hubungan aku dan Sania masih belum berkembang jauh. Kami masih tidur terpisah. Kami juga jarang bertemu di rumah karena kesibukan masing-masing. Hari ini, aku meluangkan waktu untuk menjemput Sania di bandara setelah memastikan tak ada jadwal operasiku. Setahun menikah, aku tetap berusaha untuk mencintainya di tengah minimnya komunikasi dan frekuensi pertemuan kami di rumah. Aku tak tahu, apa sudah mencintainya atau belum. Aku tak bisa memaksa Sania untuk berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga saja. Dia biasa beraktivitas di luar rumah, jadi aku tak ingin menghalangi karirnya. Kami telah membahas ini sebelum menikah. Sania meminta untuk tetap bekerja, meski tahu jika profesiku sebagai seorang dokter spesialis mampu menghidupinya. Sania bilang tadi tak usah menjemput, tapi aku tetap ingin menjemputnya dan tak membalas pesannya lagi. Langit sudah mulai berganti warna dalam perjalanan menuju bandara dan aku tiba di sana pada pukul 17:45. Aku memarkirkan mobilku dan menuju terminal kedatangan. Hanya menunggu beberapa menit saja, aku melihat sosok istriku keluar dari gate. Aku membenarkan letak kacamataku saat melihat istriku tak hanya sendiri. Ada sosok lain juga bersamanya, termasuk salah satunya mantan kekasih perempuan itu. Aku tak pernah bertanya dengan siapa Sania akan ke luar kota jika ada diklat atau kunjungan kerja begitu. Aku mencoba berpikir positif, mereka satu instansi dan wajar saja jika ada diklat bersama, bukan? Sania tak mungkin mengkhianati pernikahan kami meski kami belum saling mencintai, bukan? Sama sepertiku, dia juga tak akan mengecewakan orang tuanya, bukan? "Mas Arsen… “ Sania tampak terkejut melihatku. “San, dijemput? Ya udah, kita duluan, ya!” ujar seorang perempuan kepada istriku itu. Ada dua orang perempuan lainnya bersama Sania dan satu laki-laki yang merupakan mantan kekasihnya itu. Mereka semua mengangguk sembari tersenyum padaku, tidak dengan lelaki itu yang melirikku sekilas, lalu langsung membuang pandangan ke arah lain. “Ayo langsung pulang!” ujarku pada Sania. “Ooh… oke.” Aku mengambil alih koper istriku itu. Kami pun melangkah menuju parkiran. Kami tak bicara apu pun hingga mobilku mulai melaju keluar area bandara. “Kalau ke luar kota, selalu barengan sama mantanmu itu?” tanyaku memecah keheningan di dalam mobilku yang sudah memasuki tol. Aku hanya ingin tahu saja. Aku ingin percaya istriku tidak akan aneh-aneh di belakangku, tapi sejak tadi kepalaku mulai berisik. Frekuensi pertemuan mereka lebih sering, apa akan bersemi kembali? “Jangan mikir yang aneh-aneh deh, Mas!” balas Sania ketus. Aku terkejut, karena tak pernah sebelumnya perempuan itu meninggikan suara ketika berbicara denganku. Salah satu kelebihan Sania menurutku, tutur katanya selalu lemah lembut. Tapi kali ini, suara ketusnya cukup mengusikku. “Aku cuma nanya, tinggal jawab aja.” “Kan kami satu instansi, Mas. Wajar lah kalau kadang ada kerjaan bareng ke luar kota. Kerja, ya! Jangan mikir ke mana-mana. Dah ah, aku ngantuk.” Aku berdehem. Feeling-ku tak enak saja, meski berkali-kali meyakinkan jika Sania tak akan bermain di belakangku. Perjalanan dari bandara menuju apartemen kami cukup lama karena macet. Aku mengendarai mobil dalam keheningan malam. Kepalaku memikirkan beberapa hal saat ini, ada keputusan yang harus aku ambil untuk dalam rumah tanggaku. Aku menoleh ke sebelah saat lampu merah di belokan menuju apartemen, dan mendapati Sania yang menguap sambil membekap mulutnya. “Mau makan dulu nggak?” “Enggak. Mau langsung pulang aja, aku nggak lapar. Kalau kamu lapar, nanti aku bikinin pasta.” “Ya udah.” Kami tidak bicara lagi hingga tiba di apartemen. Kami tinggal di sebuah apartemen yang aku beli 2 tahun lalu. Masih berdua, tak apa tinggal di apartemen dulu. Sania pun tak keberatan. Tapi aku juga sedang mengumpulkan uang untuk membeli rumah secara tunai nantinya. Jika punya anak nanti, aku tak ingin tinggal di apartemen lagi, Aku memperhatikan Sania yang berjalan lebih dulu di depanku. Raut wajah perempuan itu sepertinya tampak kesal. Apa dia tidak terima saat aku bertanya tadi? Apa aku salah telah bertanya seperti itu kepadanya? “Kamu marah aku tanya kayak gitu tadi?” tanyaku dengan tenang, tanpa emosi sama sekali. Sania yang hendak menuju kamarnya, seketika menghentikan langkahnya. “Kamu pikir aja sendiri, Mas! Kamu itu seolah nuduh aku sama mantanku selalu bepergian bersama dan memiliki hubungan.” Aku menghela napas. “San, aku nggak melihat ada perkembangan dalam rumah tangga kita. Bisa kah kita berdua membuatnya menjadi lebih baik? Masalah komunikasi misalnya. Kayak tadi, oke aku minta maaf kalau itu menyinggung kamu. Aku cuma penasaran aja soalnya, tapi bisa kah kamu menjawabnya dengan baik-baik?” “Pertanyaan kamu itu ngeselin!” balasnya sengit. Aku bicara baik-baik tanpa ada emosi di dalamnya, akan tetapi Sania membalasnya sewot. Namun, aku tidak ikut-ikutan emosi juga menghadapi perempuan yang berusia 6 tahun di bawahku itu. Sania berusia 27 tahun saat ini. “Aku tanya sekarang, apa kamu udah bisa move on dari dia?” Sania terdiam. Lalu.. “A-aku… “ Aku tertawa sinis di dalam hati melihat ekspresi perempuan itu. Sudah bisa menebak jawabannya. “Masih belum bisa move on juga?” tanyaku memastikan. “San, aku udah kasih kamu waktu, sampai setahun usia pernikahan kita. Apa mau kayak begini aja terus?” “Aku nggak tahu.” “Kamu maunya gimana sekarang? Sementara kamu tahu kalau orang tua kita berharap segera menimang cucu. Gimana mau ada cucu, kamunya aja masih pengen tidur terpisah. Sampai kapan akan begini?” tanyaku tanpa menggunakan nada tinggi, tetap berusaha tenang. Aku pikir, jika kami berada di kamar yang sama dengan tidur bersama, setidaknya bisa menjadi lebih intim dan siapa tahu perlahan akan timbul rasa cinta. Sania cantik, jujur aku tertarik padanya. Bagaimana dengan cinta? Entah lah, aku belum bisa memastikannya. “Beri aku waktu lagi.” Aku menggelengkan kepala. Setahun aku rasa sudah cukup lama memberinya waktu. Beda denganku yang dulu susah move on, sekarang kami sudah menikah. Mau tak mau, kami harus saling jatuh cinta satu sama lain. Jika terus membiarkan seperti ini, rumah tangga kami tak akan mengalami kemajuan. “Maksudnya dengan gelengan kepala itu apa, Mas?” “Aku mau meminta hakku. Malam ini juga, persiapkan diri kamu! Dan kita akan tidur di kamar yang sama sampai seterusnya.” “Tapi, Mas… “ “Aku suamimu dan punya hak untuk meminta itu. Aku nggak mau dengar alasan apa pun lagi,” ujarku tegas, kemudian berlalu menuju kamarku. “Aku tunggu di kamar.” *** Aku makan malam sendirian, memasak pasta spagheti. Sementara Sania belum keluar dari kamarnya. Mungkin dia sedang berpikir? Aku membiarkannya saja dulu, sambil menunggu apa kah dia akan ke kamarku nanti? Hingga pukul 10 malam, Sania tak kunjung datang ke kamarku. Apa dia tertidur? Aku bangkit dari kasur hendak memastikan, tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Sania muncul di sana dengan menggunakan piyama one set panjang. Aku kembali mendudukkan diri. “Sini… “ Aku menepuk-nepuk sisi di sebelahku saat Sania tak kunjung masuk. Masih berdiri di depan pintu. Sania melangkah masuk, meski terlihat keraguan di sana. Aku sebenarnya tak benar-benar ingin meminta hakku malam ini. Setidaknya kami bisa tidur bersama, barangkali hubungan kami bisa berkembang. Bisa melakukan deep talk, berbicara dari hati ke hati dengan posisi intim. Tak harus langsung melakukan hubungan suami istri juga sebenarnya. Sania duduk di dekatku dan aku menyentuh kedua lengannya—memutarnya agar menghadap padaku. “Apa yang kamu pikirkan saat ini?” tanyaku lembut. Sania menundukkan kepala. “Maaf.” Perempuan itu mencicit pelan. Aku mengernyit. “Untuk?” “Aku belum sepenuhnya bisa move on dan… “ Perempuan itu menjeda kalimatnya, mengangkat wajah dan tatapan mata kami beradu. “Aku belum bisa memberikan apa yang kamu minta, Mas.” Aku menarik napas sembari memejamkan mata, kemudian membukanya perlahan. “Sampai kapan, San? Jangan bilang kalau kamu nggak mau juga tidur di sini?” “Aku belum mencintai Mas Arsen.” Aku mendecih. Belum cinta, tetap tak akan mau tidur satu kamar? “Gimana mau cinta kalau kamunya masih stuck di masa lalu dan terus menjaga jarak? Berusaha mencintai seperti apa yang kamu maksud waktu itu?” Sudut bibirku menyunggingkan senyuman sinis. Tapi tetap aku tidak berkata dengan nada tinggi. “Sampai kapan kita akan begini?” “Kalau kamu mau ceraiin aku, enggak apa-apa. Aku bisa terima.” Aku terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Sania. Semudah itu dirinya berkata begitu? Sedangkan aku berusaha agar pernikahan kami menjadi lebih baik. Aku tak ingin juga mengecewakan ibuku. Bagi Ibu, Sania adalah menantu idaman yang baik, lemah lembut dan keibuan. Sania begitu dekat dengan ibu. “Kalau cerai, kamu mau balikan dengan mantanmu itu? Begitu?” Getaran panjang pada ponselku di atas nakas membuatku beralih. Melihat ada telepon masuk dari rumah sakit, aku pun segera mengangkatnya. Sebagai seorang dokter bedah, aku harus siap dipanggil kapan saja jika tidak sedang libur atau cuti. Ada operasi darurat malam ini dan aku harus segera ke rumah sakit. “Aku harus ke rumah sakit sekarang,” ujarku pada Dania yang menundukkan kepala sembari memainkan jemarinya. “Besok kita bicara lagi.” Aku meraih baju kemejaku dari lemari dan memakai celana panjang. Lalu, meraih jas dokterku. “Barang-barang kamu, jangan lupa pindahkan ke sini,” ujarku sebelum pergi. *** Aku memeriksan denyut nadi, tekanan darah dan pernapasan pasien setelah menyelesaikan prosedur operasi. Setelah memastikan pasien dalam kondisi stabil, aku menyerahkan perawatan lanjutan kepada tim anestesi dan perawat. Aku pun membuka masker, penutup kepala, lalu melepas kedua sarung tanganku satu persatu keluar dari ruang operasi. Kemudian, melepas scrub suit (pakaian operasi) di ruang ganti. Aku kembali menggunakan kemeja dan meraih jas dokterku. Dengan wajah tenang—meski rasa lelah menggerogoti setelah berjam-jam bertarung dengan waktu, aku melangkah mantap keluar ruangan diikuti oleh para perawat dan asisten bedah. Ada keluarga pasien yang menunggu di lorong rumah sakit. Mereka segera berdiri melihat kehadiran kami. Aku menarik napas dalam sebelum memberitahu hasil operasi yang kami lakukan. Aku menyampaikan berita baik bahwa operasi yang kami lakukan berhasil. Tinggal menunggu pasien sadar. Kondisi pasien yang mengalami kecelakaan itu akan aku pantau lagi nanti. Setelah berbicara dengan keluarga pasien, aku pamit dan menuju ruanganku. Tiba di ruanganku, aku langsung duduk di kursi—membenarkan letak kacamataku dengan tangan bergerak pada keyboard sambil menatap layar monitor di depanku. Aku harus mencatat semua yang terjadi selama operasi dalam rekam medis pasien, termasuk teknik yang digunakan, obat yang diberikan, dan kondisi pasien selama prosedur. Selesai input rekam medis, aku menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggungku ke kursi. Aku membuka kacamata dan memejamkan mata sejenak. Aku ingin istirahat sejenak sebelum nanti komunikasi dengan tim medis lainnya tentang keadaan pasien yang baru saja melakukan operasi. Aku baru tidur beberapa jam tadi pagi saat subuh, usai melakukan operasi. Ditambah tidur sejenak saat siang, sekitar 1 jam. Aku tak pulang ke apartemen dan mengabari Sania. Pasalnya, aku akan melakukan operasi lagi hari ini. Jadi, aku istirahat di rumah sakit saja. Belum lama rasanya mataku terpejam, aku kembali membuka mata saat mendengar getaran panjang yang tentunya bunyi itu berasal dari benda pipih milikku yang teletak di atas meja. Ada telepon masuk dari Willy, teman SMA-ku dulu. “Hmmm… kenapa?” “Nanti lo jadi ikut nggak? Komen dong di grup! Diam-diam aja.” Aku baru ingat. Teman-temanku itu mengajak berkumpul malam ini, ada yang ulang tahun. Aku masih berhubungan baik dengan teman-teman SMA-ku. “Nggak tahu. Lihat nanti aja.” “Ayo lah, Sen! Sekali-kali doang. Lo kan selalu sibuk.” “Entar gue kabarin.” “Ditunggu pokoknya. Wajib datang!” “Di mana, sih?” “Di Mayara.” “Apa tuh, Mayara? Di mana? Nggak tahu gue.” “Daerah Jakbar, nanti gue sharloc. Tempat karoekean elit gitu, ada lounge juga.” Aku manggut-manggut. “Nggak janji gue.” Setelah telepon berakhir, aku baru meletakkan ponsel di atas meja dan melihat ada notifikasi pesan masuk. Dari istriku, Sania. Sania Mas, aku izin pulang agak mlman hr ini yaa Ada acara farewell party temanku Aku menghembuskan napas lelah. Aku tadinya sudah merencanakan pulang saat maghrib dan ingin mengajaknya makan malam di luar, tapi ada-ada saja halangannya. Kalau dipikir-pikir, Sania banyak menghabiskan waktu di luar rumah juga yang bukan untuk urusan kerjaan. Aku kurang baik apa, tak pernah mengekangnya? Aku hanya membaca pesan Sania tanpa membalasnya. Teringat ajakan teman-temanku, aku pun meraih ponsel dan mengirim pesan di grup. Tak ada salahnya sesekali aku menghibur diri dengan teman-temanku, bukan? Hidupku monoton sekali selama ini. Datar saja, tak ada hiburan. Jam setengah tujuh aku pun melajukan mobilku ke tempat yang telah di share temanku. Aku memarkirkan mobil di basement, kemudian naik ke tempat tujuan menggunakan lift sesuai arahan dari temanku di grup. Keluar lift dan berjalan berbelok kanan, aku melihat tulisan tempat tujuanku. Mayara KTV.Lounge.Hotel.Kitchen Aku mengirim pesan kepada temanku bahwa telah tiba di tempat yang dimaksud. Tak lama salah satu temanku, menjemputku di depan pintu. Ini pertama kalinya aku memasuki tempat karoeke yang katanya elit itu. Begitu masuk, kami disambut oleh lampu LED warna-warni sepanjang jalan dengan pencahayaan redup. Aku akui jika desain interiornya terlihat mewah. “Ada cewek juga di dalam, Sen. Pacarnya Willy bawa temannya juga. Nggak apa-apa, ‘kan?” “Hmmm.” “Mau gue sewain LC nggak?” Aku meninju lengan lelaki itu. Aku tahu apa itu LC. Temanku itu tertawa. Pandangan mataku menyipit ketika melihat seseorang yang rasanya aku kenal berjalan di lorong dan berbicara kepada teman di sampingnya. Dari arah belakang pada cahaya yang redup ini, aku masih bisa mengenal sosok itu. Dia adalah Gladys, tetangga di depan rumahku dulu yang begitu menyukaiku. Dia pernah menyatakan cinta dan aku langsung menolaknya—berkata tak akan pernah menyukainya. Gladys itu berisik dan aku risih saat dirinya terang-terangan mendekatiku kala itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN