Bab 3 — Malam Petaka

2532 Kata
Gladys's PoV Apa pengkhianatan yang paling menyakitkan? Bagiku jawabannya adalah adalah pengkhianatan yang dilakukan oleh orang terdekat, yang sudah dianggap spesial seperti saudara. Dadaku rasa sesak. Kenapa harus Tari? Aku menyayangi Tari yang aku anggap layaknya saudara sendiri. Aku bengong, masih duduk lemas di lantai. Ben yang menyukaiku sejak SMA, tiba-tiba mengkhianatiku? Sulit untuk dipercaya, akan tetapi fakta tak bisa terelakkan. Aku melihatnya langsung dengan mataku sendiri. Dan yang membuatku tak percaya juga, mereka sampai berhubungan badan. Tiga setengah bulan kenal, kapan mereka mulai berhubungan? Mengingat-ingat ke belakang, Ben terlihat biasa saja jika aku makan bersamanya dan mengajak serta Tari juga. Hingga mataku membola mengingat sesuatu. Awal-awal Tari diterima bekerja, aku meminta Ben agar berangkat dan pulang kerja bersamanya selama sebulan sampai Tari gajian. Tari membawa uang pas-pasan dari kampung. Aku sendiri membantu biaya hidupnya Tari sehari-hari dan membelikan beberapa helai baju baru yang bagus. Sebelumnya, dia menjadi guru honorer di daerahnya setelah lulus kuliah, yang hanya bergaji ratusan ribu. Tari juga menolong temannya berjualan baju. Hal itu dia lakukan agar bisa membantu orang tuanya. Tetap saja tidak cukup dan aku merasa kasihan dan mencarikan lowongan pekerjaan untuknya di sini. Tari yang sering mengeluh, menangis padaku hampir setiap hari. Setiap hari, Tari membawa bekal dari rumah yang kami masak bersama. Jika tak sempat membuat bekal, aku akan memberinya uang untuk makan siang. Aku selalu mengisi penuh kulkasku dengan bahan mentah masakan. Jika tidak sedang memasak, kami akan makan di luar pada malam hari. Aku ikhlas membantunya, karena Tari berasal dari keluarga sederhana. Waktu masih kuliah saja, dia hidup pas-pasan di kosan. Tari yang bisa kuliah karena mendapatkan beasiswa—mendapatkan uang saku juga. Aku kenal dekat dengannya sejak kuliah dan semakin dekat ketika aku kos di sebelah kosannya. Aku dapat info kosan di sana juga dari Tari. Aku tertawa miris tak menyangka jika akhir kisahku dan Ben seperti ini. Salahku juga sepertinya dulu yang meminta Ben membantu Tari, padahal awalnya Ben menolak. Apa bertemu setiap hari, dari situ benih-benih cinta mulai tumbuh di antara keduanya? Apa mereka juga dekat di kantor? Kenapa aku tak khawatir meminta tolong kepada kekasihku itu untuk membantu Tari? Aku percaya kepada Ben, karena yakin lelaki itu setia dan tak akan macam-macam di belakangku. Kami sudah mengenal dari jaman kuliah dan menjalani hubungan asmara 3 tahun lamanya. Dan kami juga ada rencana menikah pada tahun depan. Ben juga telah mengenal teman-temanku banyak yang cantik juga, tak pernah sekali pun Ben melirik siapa pun di antara teman-temanku itu. Rencana masa depan yang sering aku dan Ben bicarakan, lenyap begitu saja. Aku tak berminat mencari cincin yang sudah aku lempar tadi, entah menggelinding ke mana. Ben sepertinya hendak mencari sebelum keluar, namun aku meneriakinya kencang—tak memberikannya waktu. Tak ingin melihat keberadaannya lebih lama lagi di apartemen ini. Aku tersentak ketika mendengar bunyi getaran panjang. Bunyi ponselku. Aku menyeka air mataku, lalu meraih ponsel yang ada di dalam tasku itu. Saat ini, aku masih terduduk lemas di lantai. Belum beranjak ke mana pun, terlalu lemas mendapati kenyataan yang menghantam dadaku dengan hebatnya. Pada layar ponselku, nama Ben muncul di sana. Aku me-reject panggilan itu. Setelahnya, notifikasi pesan masuk. Kata maaf beruntun masuk diikuti kata-kata lainnya. Dia berkata sangat menyesal Ben Tolong sekali aja angkat tlpon aku, Dys Aku mohon... Aku akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon Ben. Bukan untuk memberinya kesempatan, tapi ingin mengetahui jawaban atas dugaan-dugaanku. Memang rasanya akan sakit, pasti. Aku sudah siap dengan jawaban apa pun yang akan keluar dari mulut lelaki itu. Lagi juga, ini akan menjadi panggilan telepon terakhir dari yang akan aku angkat. "Kenapa, Ben? Kenapa?" "Maaf, Dys... " "Aku kurang apa bagi kamu?" "Kamu nggak kurang apa pun. Kamu spesial, perempuan yang luar biasa. Tapi... " "Tapi apa? Kenapa selingkuhhh???!" tanyaku memekik. "Aku awalnya juga nggak ada niat, tapi— " "Tapi apa lagi?" "Maaf... " Aku berdecih. "Sejak kapan? Sudah berapa lama?" tanyaku lirih. "Tiga bulan." Ben berucap pelan. Benar dugaanku. Tari hampir 4 bulan berada di sini. Jadi, mereka dekat karena sering bareng dan muncul benih cinta di antara keduanya? "Aku menyesal udah khianati kamu. Tapi tolong percaya sama aku, aku nggak cinta sama dia." "Nggak cinta?" Aku tertawa sinis. Kenapa selingkuh kalau tidak cinta? Bahkan sampai berhubungan badan juga. "Maaf. A-aku... aku anggap dia nggak lebih dari sekedar FWB. Ya, aku nggak akan membenarkan apa yang udah aku lakuin di belakang kamu. Aku yang nggak bisa mengontrol diri—hawa nafsuku. Dia godain aku dan lama-kelamaan aku pun tergoda. Jujur aku cuma iseng, nggak serius sama sekali sama dia. I'm really sorry, Dys. Tolong pertimbangkan lagi hubungan kita, aku janji nggak akan khianatin kamu lagi." "Setelah having sexx sama orang lain, kamu serius masih punya muka?" tanyaku melepaskan kekehan sinis. "Dengan percaya dirinya minta aku pertimbangkan lagi keputusanku? Enggak, ya, aku bukan seperti perempuan-perempuan di toktok yang tetap terima pasangan kembali meski udah diselingkuhi. Aku bukan perempuan yang bilangnya tulus, tapi nggak sadar kalau sebenarnya itu adalah oon. Tulus dan oon itu sangat berbeda." Aku bisa berkata lantang di telepon, tapi setelah telepon berakhir, air mataku kembali menetes. Bertahun-tahun menjalin hubungan, jarang ribut dan intens berkomunikasi, pasangan yang tak pernah menunjukkan gelagat aneh, tetap saja bisa kecolongan. Tak peduli bagaimana pun kita, tetap saja ada yang kurang bagi lelaki yang tidak pernah bersyukur. Yang masih mencari kesenangan pada orang lain. Hal yang tak akan mungkin dia dapatkan dari pasangannya. Aku memblokir nomor ponsel Ben serta media sosialnya juga. Setelahnya, ponselku terlepas begitu saja ke lantai. Lemas. Aku menundukkan wajah dan memeluk lututku, terisak di sana. Malang nasibku. Aku sepertinya tak pernah beruntung perihal asmara. Setelah ditolak oleh lelaki yang aku sukai selama bertahun-tahun, sekarang aku malah diselingkuhi oleh lelaki yang begitu aku percaya. Yang telah berada di sisiku sejak kuliah. Entah sudah berapa lama aku menangis. Meraih ponsel kembali, aku kepikiran untuk mengecek rekaman CCTV. Aku lupa belum memberitahu Tari jika memasang CCtV di ruang tengah. Kemarin ini ada penghuni lantai di bawahku yang kemasukan maling, aku langsung memasang CCTV tanpa berpikir lagi. Benda itu dipasang pada saat aku WFH sebelum berangkat ke Medan. Belum apa-apa, tanganku sudah gemetaran duluan. Perlahan, jemari tanganku yang bergetar mulai menyentuh layar ponselku. Aku membuka rekaman CCTV kemarin. Menahan napas dan berkeringat dingin, jemariku bergulir mempercepat rekaman pada waktu malam hari. Dan... dadaku semakin berdenyut nyeri melihat rekaman itu. Aku membekap mulutku, menahan tangis. Di sana tampak Tari memasuki apartemen, disusul oleh Ben dan mereka langsung berciuman. Hingga, keduanya saling membuka pakaian masing-masing. Aku memalingkan wajah, tak meneruskan lagi saat melihat Ben menindih Tari di sofa. Aku menekan dadaku, sesak sekali. Salahku apa kepada mereka? Astaga... mereka benar-benar menodai apartemen yang aku beli dari hasil jerih payahku yang halal. Ben yang aku pikir tak akan melirik ke mana pun, bisa-bisanya tergoda oleh Tari. Ben saat bersamaku, skinship kami tak lebih dari berpelukan ketika bertemu saat aku pulang dinas dari luar kota, dan saat ulang tahunku atau dirinya. Cium pipi pun saat hari spesial kami masing-masing dan saat merayakan hari jadian kami. Menjalani hubungan yang normal-normal saja, tanpa hawa nafsu di dalamnya. "Tahun depan harusnya kita menikah, Ben. Kenapa kamu hancurin semu impian kita? Tega kamu, Ben. Aku harus bilang apa sama orang tuaku?” Tak hanya orang tua Ben, orang tuaku pasti juga akan kecewa. Namun, bukan berarti aku akan tetap mempertahankan hubungan kami yang telah hancur berkeping. Tak bisa lagi disatukan. *** "Karoekean yuk, Gaes! Gue yang traktir! Cari tempat yang paling bagus. Aman, gue yang bayarin semuanya." Aku berseru kepada teman-teman di ruanganku, ada sekitar 15 orang di sana termasuk para seniornya juga. "Wah, ada apa nih? Cair?" celutuk salah satu rekan kerjaku. “Lagi banyak uang kayaknya.” Aku hanya tertawa. "Lagi pengen aja, seru-seruan. Pada mau nggak?" Aku ingin menyanyi sepuasnya, berteriak menumpahkan rasa sakitku. Aku mungkin masih bisa terlihat baik-baik saja di hadapan teman kerjaku, tapi di dalamnya begitu hancur. Masih sesak terasa. Ke kantor hari ini, mataku agak sembab. Ketika temanku bertanya, aku bilang karena kelelahan dan kurang tidur usai dari Medan. Ditambah menonton drama yang sedih. Mereka percaya-percaya saja dengan alasanku. Kami pun berangkat menuju tempat pilihan rekan kerjaku pada pukul setengah enam. Aku ikut dengan mobil Mas Bima, managerku. Aku duduk di depan dan di tengah dan belakang ada beberapa orang junior serta staff auditor. Yang lain, ada yang membawa motor dan ada juga yang membawa mobil, yang tak lain adalah senior juga. Tapi lebih senior dariku. "Udah izin sama pacar kamu, Dys? Biasanya jarang mau ikut kalau kita-kita karoekean. Pacaran mulu," ujar Mas Bima saat kami dalam perjalanan ke sana. Kami akan ke salah satu tempat karoeke yang merupakan langganan salah satu juniorku. Katanya tempat itu elit dan besar ruangannya. Fasilitas lengkap juga ada toilet di dalam dan kasur juga jika ingin rebahan. "Dia lagi sibuk, Mas." Sibuk selingkuh maksudnya. Aku yakin jika Ben bisa jadi masih jalan bersama Tari. Temanku bilang, jika seorang lelaki sudah kecanduan berhubungan badan itu, sudah menghilangkan tabiat itu. Tidak... aku tak cerita pada temanku perihal apa yang menimpaku. Waktu itu, ada seniorku yang diselingkuhi pasangannya juga dan dia cerita. "Oalah, pantesan." Kami pun tiba di tempat tujuan satu jam kemudian karena jalanan cukup macet. "Yakin mau traktir semuanya, Dys?" tanya Mas Bima. "Lumayan loh ini! Kita ada 15 orang dan lumayan sewa room di sini juga." Mas Bima katanya sudah pernah ke sini juga sebelumnya. "Meragukan isi rekeningku, Mas?" tanyaku terkekeh. "Udah mau jalan 6 tahun aku di Crowi loh! Mayan lah uangku, apa lagi kalau lagi dapat bonus." Mas Bima tertawa. "Iya juga, sih. Tapi kalau mau, aku bisa tambahin biar nggak berat-berat amat." Aku tersenyum tipis. "Enggak usah, Mas. Terima kasih atas tawarannya. Tapi, ini aku yang ajak dan bertanggung jawab atas semua tagihan nanti." "Oke-oke." Juniorku benar, tempat ini terlihat mewah. Tak salah jika harganya cukup mahal. "Pada pesan apa aja gih!" seruku begitu kami semua sudah berada di dalam ruangan. Mungkin aku sudah gila kali ini karena pastinya akan menghabiskan 2 digit untuk mentraktir teman-teman kerjaku itu. Harga sewa room saja sudah berapa. Biarkan saja, aku hanya ingin senang-senang menikmati malam ini. "Pesan minum boleh nggak, Dys?" tanya Mas Bima. Aku tahu maksud 'minum' yang dia maksud. Aku tak polos-polos amat. Wajar saja hidup di kota metropolitan ini menikmati kelap malam dengan 'minuman'. "Boleh. Aku juga pengen nanti, Mas." "Kamu minum juga?" tanyanya tampak terkejut. "Mau coba, sesekali doang," ujarku melepaskan kekehan kecil. "Yakin?" Aku menganggup mantap. Aku sedang patah hati dan ingin bersenang-senang malam ini menghibur diriku sendiri. Meluapkan emosi dengan bernyanyi kencang. Mungkin besok-besok, lukanya akan tetap ada. Setidaknya malam ini, biarkan aku menikmati malamku. Musik menggelegar memenuhi ruangan kecil karaoke, lampu warna-warni memancar di dinding. Aku menggenggam mikrofon erat-erat, napasku berat dan dadaku sesak. Lagu yang kupilih mulai mengalun—liriknya seakan mencerminkan semua luka yang kupendam. Apa yang tengah aku rasakan saat ini. Aku bernyanyi, atau lebih tepatnya… berteriak. Suaraku parau, bercampur dengan emosi yang meluap-luap. Setiap bait yang keluar dari mulutku seperti membuka luka—bayangan akan pengkhianatan Ben dan Tari menari-nari di benakku. Tapi, aku terus menyanyikannya—memaksakan setiap nada keluar bersama rasa sakit yang menyesakkan d**a. “Lo lagi galau ya, Mbak?” tanya salah seorang juniorku saat aku mengganti lagu selanjutnya. “Pengen aja. Gara-gara dengar lagu itu mulu kemarin di radio, jadi pengen bawain lagu lawas begitu,” ujarku berkilah. Aku pun kembali bernyanyi, kali ini sambil menghentak-hentakkan kakiku memilih lagu dari Evanescence ‘Bring Me to Life’. Aku pun bernyanyi sepertinya ini, tapi berteriak meluapkan emosiku—teringat akan cumbuan Ben dan Tari. Air mataku menetes dan aku segera menyekanya sebelum teman-temanku menyadarinya. Tanganku gemetar, keringat mengalir di pelipis, tapi aku tak peduli. Aku ingin dunia tahu betapa sakitnya aku, marah dan juga kecewa. Pisau yang ditancapkan Ben begitu tajam menusuk. Aku meraih gelas yang telah ditumpahkan minuman oleh Mas Bima. “Jangan banyak-banyak, nanti mabuk!” ujar Mas Bima saat aku minta dituangkan lagi minuman itu. Mas Bima sedikit berteriak karena suara musik yang kencang di mana giliran temanku yang seru-seruan bernyanyi, sementara aku jeda sejenak. “Santai, Mas!” balasku terkekeh. Rasa minuman ini agak aneh melewati tenggorokanku, tapi hal itu tak membuatku sendiri. Mungkin aku harus mabuk agar bisa melupakan sejenak rasa kesakitan itu? “Aku ke toilet bentar, Mas,” ujarku pada Mas Bima yang duduk di sebelahku sejak tadi. Mas Bima terlihat khawatir. Mas Bima ini pernah confess padaku dulu awal-awal aku bekerja di Crowi, tapi aku menolaknya. Namun, kami tetap memiliki hubungan baik karena aku menolaknya secara baik-baik. Setahun setelahnya juga Mas Bima pacaran dengan teman kuliahnya. Entah masih atau tidak, aku tak tahu persis. Ada yang bilang jika sudah putus, tapi aku tak pernah bertanya. Tak ada gunanya juga mencampuri urusan orang. Kembali dari toilet yang berada di dalam ruangan juga, aku meminum air putih di depanku. “Anak-anak udah mau pulang, Dys. Besok kerja, udah jam 11 malam soalnya.” Tak terasa, sudah 3 jam’an lebiy kami di sini. Tadi masuk ke ruangan jam setengah 8–an menunggu ruangan ready dulu. Aku memijit keningku, kepalaku terasa berat. Dan aku merasa hawa panas dengan tubuhku. Apa efek dari minuman mengandung alkohol itu memang begini? “Minta tolong mintain bil, Mas,” ujarku pada Mas Bima. Mas Bima mengangguk. Aku mengerjap berkali-kali sambil mengotak-atik ponselku ketika pelayann datang dengan tagihan bill. Aku kepikiran jika akan menginap saja di sini mumpung ada kasurnya. Aku sepertinya tak kuat kembali ke apartemen. Aku juga masih bisa menikmati lagu sedih, tertawa, berteriak dan menangis sampai nanti ketiduran. “Aku temenin sampai kamu ketiduran ya, Dys? Nanti aku pulang setelahnya,” ujar Mas Bima yang aku respon dengan gelengan kecil. Teman-temanku sudah keluar ruangan lebih dulu. Ada yang mabuk juga, tapi sepertinya tidak separah aku. “Aku pengen sendiri, Mas.” “Tapi, Dys— “ “Pulang, Mas. Tinggalkan aku sendiri.” “Dys, kamu kelihatan nggak lagi baik-baik aja.” “Aku lagi pengen sendiri, ngerti nggak, sih?!” ujarku setengah berteriak. “Maaf, aku nggak bermaksud membentak,” lanjutku menyadari nada bicaraku yang tak seharusnya membentak Mas Bima yang mengkhawatirkanku. Aku berdiri, menarik tangan lelaki itu mendorongnya ke arah pintu keluar. Aku akhirnya berhasil membuat Mas Bima keluar. Aku berjalan sempoyongan menuju sofa kembali dan meraih mikrofon. Memutar lagu sedih dan bernyanyi dengan suara parau—terisak dengan air mataku yang kembali menetes. Merasa lelah, aku terkulai di sofa. Hingga beberapa saat kemudian mataku menyipit melihat pintu terbuka dan muncul seseorang di sana memasuki ruangan. Aku pun berdiri, berjalan menghampiri lelaki yang berjalan sempoyongan dengan berpegangan ke dinding ruangan di dekat pintu. "Kamu mirip seseorang pada masa laluku,” ujarku bergumam dengan mata yang terasa begitu berat. Tanganku menyentuh wajah lelaki di hadapanku saat ini. Entah kenapa, aku ingin saja melakukannya. “Kak Arsen?” Apa aku sedang mabuk berat hingga berhalusinasi ingat akan orang yang pernah aku sukai pada masa lalu itu? Gara-gara kemarin melihatnya di bandara kemarin, aku jadi ingat dia kembali? “Kamu… “ Lelaki itu membuka matanya dan menatapku sambil mengerjap-ngerjap. Dia sama sepertiku. “Sania?” Aku mengernyit. Ketika mulutku terbuka hendak bersuara, mataku membola karena lelaki itu tiba-tiba merengkuh tubuhku, lalu merasakan sesuatu yang kenyal menyentuh bibirku. Aku merasa ada gelengar aneh dalam diriku. Tubuhku merespon, bahkan menginginkan lebih dari sekedar ciuman. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN