03. Para Penghuni Asrama Putra

1410 Kata
            “Loh, Bim? Cepet amat lo udah pulang jam segini?”             Abima menghentikan langkah kakinya di di ruang tengah ketika mendengar pertanyaan Kak Anjar— salah satu penghuni di asrama ini. Dilihatnya laki-laki yang lebih tua itu sedang duduk santai di karpet dengan laptop terbuka di meja depannya.             “Bolos lo ya?” Anjar kembali bertanya karena Abima belum juga menjawab pertanyaannya.             Dituduh seperti itu, Abima buru-buru menggeleng cepat. “Enggak Kak, astaga! Siapa bilang gue bolos? Ini tuh abis bel pulang bunyi gue langsung buru-buru keluar, soalnya hari ini mau balik dulu ke Bandung, makanya gue cepet-cepet pulang biar bisa beres-beres dulu.”             “Oh, mau pulang ke Bandung.” Anjar mangut-mangut.             “Gimana skripsi Kak? Lancar nggak tuh?”             Niat Abima benar-benar ingin bertanya karena melihat Anjar lagi-lagi disibukkan dengan laptopnya, namun mendengar pertanyaan itu wajah Anjar jadi sepet sendiri, sepertinya dia sedang pusing dengan skripsinya yang tak kunjung selesai.             “Jangan ditanya deh, malah gue pusing banget udah dua jam duduk di sini tapi cuma dapet selembar word doang, gila sih gue mau nyerah aja rasanya.” Anjar menggeram frustrasi.             Tidak bisa ditahan, Abima malah menertawakannya. “Refreshing lah atuh, Kak. Jangan diem di asrama mulu, cari tempat baru buat ngerjain biar otak lo segeran dikit.”             “Nah itu dia!” Anjar menjentikkan jarinya cepat dengan bersemangat. “Gue udah berencana mau ngajak lo nongkrong malem ini, sekalian nemenin gue ngerjain skripsi. Padahal gue juga udah mau traktir tapi lo malah mau pulang ke Bandung hari ini.” Anjar semakin cemberut saja. Sudah pusing ditambah dengan rencananya yang berkemungkinan gagal membuat laki-laki itu jadi malas melanjutkan skripsinya lagi.             “Maaf deh, gue beneran harus pulang soalnya besok peringatan meninggalnya Ayah sama Ibu, Kak. Tahun kemarin gue nggak sempat ke sana karena ada urusan penting, jadi karena besok juga hari sabtu makanya gue harus pulang, lagian rumah di sana juga udah lama nggak gue tengokin pasti kotor banget tuh.”             Ekspresi cemberut Anjar langsung berubah begitu saja setelah mendengar penuturan dan penjelasan Abima. Abima itu sudah Anjar anggap seperti adiknya sendiri karena waktu masuk mereka di asrama ini hanya berbeda satu bulan saja, Anjar lebih dulu baru setelah itu Abima. Anjar sudah melihat sedikit banyak perkembangan dari laki-laki itu, bahkan sudah tidak ada lagi rahasia di antara mereka yang mana Anjar sudah mengetahui keseluruhan dari masa lalu Abima karena dia sendiri yang telah bercerita padanya. Itulah mengapa Anjar jadi ikut tersentuh begitu mendengar penjelasannya tadi.             “Mau gue antar nggak nanti ke stasiun?” tawar Anjar, namun Abima langsung menggeleng.             “Si Bapak udah nawarin duluan, telat lo.”             Anjar mengangguk. “Duit buat berangkat ada nggak? Nih gue kasih deh anggep aja buat ongkos pulang pergi sama makan nanti.” Anjar sudah ingin mengeluarkan dompetnya, namun Abima buru-buru menahan dengan tangannya agar laki-laki itu tidak melanjutkan niatnya.             “Enggak usah, gue masih punya duit Kak serius deh. Kemarin juga lo baru kasih gue padahal buat jajan.”             Anjar nyengir. “Oke deh, kalo butuh apa-apa langsung chat gue aja ya, Bim. Hati-hati lo berangkat, udah sana siap-siap dulu biar nggak kesorean berangkatnya.”             Abima langsung memberikan gesture hormat kepada Anjar sambil tersenyum lebar. “Saran gue tadi kalo bisa dilakuin ya Kak! Ajak Dika aja tuh nanti malem, soalnya setau gue dia nanti malam enggak ada jadwal manggung, kali aja bisa nemenin lo nongkrong hitung-hitung sekalian penyegaran otak,” beritahu Abima, menyarankan teman asrama mereka yang satu lagi.             “Oke siap, gampang itu mah bisa gue atur.”             Abima mengangkat kedua ibu jarinya sebagai jawaban, lalu laki-laki itu segera bergegas menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Ah ya, Abima lupa memberitahu bahwa bangunan untuk asrama Putra dan juga Putri, walaupun terlihat memanjang tapi tetap memiliki dua lantai di mana pada lantai satu terdapat sebuah ruang tengah dengan satu televisi yang biasanya digunakan untuk berkumpul atau pun mengerjakan tugas, sepertinya asrama putri juga diberikan desain yang sama— Abima tidak begitu tau karena selama dua tahun tinggal di sini dia sama sekali tidak pernah melihat penampanakan dalam asrama putri.              Dalam asrama putra ada enam kamar yang sudah terisi penuh hingga tak tersisa, penghuni paling lama adalah Abima dan Kak Anjar. Kemudian satu tahun setelahnya ketika masa Sekolah Menengah Atas baru dimulai asrama kedatangan Dika, Ilham dan juga Randu yang kebetulan berusia sama seperti Abima, namun hanya Dika yang bersekolah di tempat yang sama seperti Abima sedangkan dua sisanya bersekolah di tempat yang berbeda, tetapi berada tak jauh juga dari asrama. Lalu terakhir ada Kak Tara yang usianya berada dua tahun di atas Abima, dia juga berkuliah dan ternyata kampusnya sama seperti kambus Kak Anjar, tetapi mereka berada di jurusan yang berbeda, Kak Tara ikut bergabung dalam asrama sejak tujuh bulan lalu yang mana sudah terhitung cukup lama.             Mereka memang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, namun keakraban mereka di dalam asrama tidak perlu dipertanyakan. Walaupun mereka juga bersekolah di tempat yang berbeda-beda, hal itu juga tidak menjadi alasan bagi mereka untuk tidak dekat. Terkadang, ketika sedang sama-sama senggang mereka memilih untuk berkumpul bersama entah itu di ruang tamu asrama ataupun pergi ke luar. Kak Anjar adalah yang paling sering mentraktir karena dia berasal dari keluarga yang bisa terbilang berada.             Abima bisa dengan tegas mengatakan bahwa jika ada keadaan mendesak yang membuatnya harus memutuskan ataukah harus bermain bersama dengan teman-teman sekolahnya atau dengan teman-teman asrama, maka Abima akan menjawab bahwa dia memilih teman-teman asramanya. Tidak bisa dipungkiri bahwa Abima lebih menyayangi mereka yang jelas-jelas selalu membawa pengaruh baik untuknya daripada teman-temannya di sekolah. Memang tidak semua temannya di sekolah memiliki perilaku buruk, hanya saja Abima memang tidak begitu dekat dengan mereka.             “Mau pulang lo, Bim?”             Abima menoleh dan mendapati Dika sedang bersandar di daun pintu kamarnya. Jika dilihat dari seragam yang masih menempel di tubuhnya serta tas sekolah yang belum juga dia taruh di kamarnya, Abima menebak bahwa laki-laki itu baru saja pulang dan langsung mendatangi kamarnya karena mendengar suara berisik. Walaupun mereka satu sekolah tetapi keduanya jarang sekali pulang bersama, tapi sering ketika berangkat.             “Iya nih, mau nengok orangtua gue.”             Dika bergerak mendekati Abima seraya meneliti baju-baju Abima yang berserakan. “Ada yang bisa gue bantu beresin nggak?” tanya laki-laki itu serius.             “Bantuin doa aja, gue juga bentar lagi selesai kok.”             Dika tertawa, padahal niat awalnya ingin membantu namun setelah mendengar jawaban Abima dia malah merebahkan dirinya di kasur laki-laki itu alih-alih kembali ke kamarnya sendiri.             “Aduh mager banget gue mau balik ke kamar kalo udah ketemu kasur lo,” rengeknya.             “Tidur lah di sini, gue kan mau balik, nanti pulang ke sini lagi hari minggu sore.”             “Loh sampe minggu? Gue kira sabtu sore udah pulang lagi.”             “Mau hunting foto sekalian hehe.”             “Ih anjir! Gue mau ikut, tapi besok gue kerja,” Dika merengek lagi.             Seperti yang tadi Abima beritahu kepada Kak Anjar, Dika ini memang memiliki pekerjaan sampingan sebagai seorang vokalis band di salah satu cafe. Laki-laki ini memang memiliki suara yang amat bagus dan Abima mengakui itu, pekerjaan ini hanya dijadikan sebagai sampingan untuk menambah uang jajan saja sekaligus menyalurkan hobinya, karena setau Abima, Dika masih tetap mendapatkan kiriman perbulan dari Ayahnya.             “Gue bareng temen sih, si Galih lo kenal kan?”             “Oh, yang sering bareng lo kemana-mana itu kan?” tanya Dika, lalu dibalas anggukan oleh Abima, namun setelahnya Dika merengek lagi. “Ih, tapi gue beneran mau ikut!”             Jika sudah berisik, temannya ini memang susah sekali disuruh diam.             “Nanti deh kalo kita dapet libur barengan, kalo latihan ekskulnya gak tabrakan, gue ajak lo main ke Bandung,” putus Abima akhirnya, selain tidak mau mendengar Dika merengek lagi, dia juga merasa kasihan dengan laki-laki itu.             “Enggak harus ke Bandung juga sih, Bim. Gue tuh cuma kepingin ikut lo kalo hunting foto gitu, soalnya kan seru, sekitaran Jakarta juga nggak apa-apa deh, kalo lagi sama-sama kosong jangan lupa ajak gue ya?”             “Oke deh siap!” jawab Abima sambil tersenyum.             Beberapa menit ke depan selagi Abima membereskan baju-bajunya, Dika menemaninya untuk mengobrol ringan seputar sekolah dan juga kegiatan mereka masing-masing, bahkan Abima juga tak lupa memberitahu soal ajakan Kak Anjar tadi yang ternyata sudah dibicarakan lebih dulu oleh Kakaknya itu kepada Dika dan rencananya mereka akan jadi keluar bersama malam ini.             Lalu setelah Abima selesai membereskan barangnya obrolan mereka pun terhenti, karena Abima harus segera mengambil bekalnya yang sudah dibuatkan oleh ibu asrama dan dia sudah harus berangkat karena takut Galih sudah menunggunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN