04. Rumah

1793 Kata
“Ibu, ada yang belum dimasukin nggak? Sini Abima bantuin.” Abima yang baru sampai di dapur keluarga Kartapati langsung menaruh ransel berisikan baju-bajunya ke salah satu kursi, kedua lengan kemejanya langsung dia lipat agar lebih memudahkan segala pergerakan, kemudian laki-laki itu mendekati Ibu Ana yang masih sibuk di belakang oven entah sedang melakukan apa. Memang ada banyak sekali barang-barang di dapur ini dan sisi menyenangkannya adalah seluruh penghuni asrama boleh menggunakannya asal dipakai dengan hati-hati. Para anak-anak dari asrama putri yang biasanya akan lebih sering memasak, apalagi ketika Ibu Ana dan Pak Karta sedang pergi ke luar kota, pastilah mereka yang akan mengacak-ngacak dapur— tapi tenang saja karena setelahnya akan langsung mereka bereskan kembali. “Itu di bawah tudung saji udah ada beberapa kue yang matang, kalo kamu mau bisa langsung dimasukin ke kotak bekalnya aja, Bim. Masih hangat kok itu,” beritahu Ibu Ana sebelum mengangkat kembali kue dari oven yang baru matang. “Atau mau yang ini aja? Tapi masih panas banget soalnya baru diangkat.” Ibu Ana mendekat lalu memindahkan kue-kue yang baru matang ke dekat Abima.” “Yang ini aja deh, Bu. Soalnya yang baru matang pasti masih panas banget,” jawab Abima selagi memasukkan beberapa kue ke dalam kotak bekalnya. Permintaan bekal yang Abima mau memanglah sebuah kue-kue kering untuk camilannya selama di kereta nanti bersama Galih, tadinya Ibu Ana ingin memberikan bekal nasi tapi Abima menolak halus karena pasti akan susah memakannya. Jadi, dia meminta tolong untuk dibuatkan makanan-makanan ringan saja agar perut mereka nanti tidak terlalu kosong, daripada Abima dan Galih harus membeli camilan di stasiun yang mana pasti harganya akan melonjak lebih tinggi beberapa kali lipat dari harga aslinya. Kalau sudah begitu jadinya malah menghambur-hamburkan uang. “Kamu tuh masukin kue-nya dikit banget, sini biar Ibu aja yang masukin.” Ibu Ana mengambil alih kotak bekal di genggaman Abima, kemudian menggantikan tugas laki-laki itu untuk memasukkan lebih banyak kue ke dalamnya. “Ibu kan buatin ini khusus buat kamu, jadi jangan malu-malu ambilnya, nanti yang lain bisa Ibu buatkan lagi. Kamu dulu yang penting soalnya kan mau perjalanan jauh.” Abima nyengir lebar. “Cuma tiga jam kok, Bu. Enggak lama itu mah.” “Tetap lama buat Ibu.” Abima tertawa dan memilih mengalah saja karena dia pasti tidak akan menang melawan argumen Ibu Ana. “Mau kemana lo kak?” Tiba-tiba saja ada suara lain yang ikut menimbrung, sosoknya baru saja masuk ke dapur dan tanpa perlu mendongak Abima sudah tau bahwa itu adalah suara Tarisa— anak tunggal dari Ibu Ana dan Pak Karta yang memiliki usia dua tahun di bawahnya. Tarisa ini sedang sibuk-sibuknya di kelas tiga Sekolah Menengah Pertama, mengejar banyak materi sampai harus belajar dan les kesana-kemari agar mendapatkan nilai ujian yang memuaskan. Gadis itu mencomot satu kue dari meja dan langsung mendapatkan pukulan pelan pada tangannya yang diberikan oleh Ibu Ana. “Kebiasaan banget! Cuci tangan dulu sana!” Mendapat omelan seperti itu Tarisa hanya nyengir saja namun tetap memasukkan kue curiannya tadi ke dalam mulut, sebelum akhirnya bergerak menuju wastafel untuk membasuh kedua tangannya. “Kak Abima, gue tuh nanya lo mau kemana? Bukannya dijawab malah bengong.” Abima tersentak kaget, padahal dia merasa sudah menjawab pertanyaan Tarisa, apa mungkin pertanyaannya hanya dia jawab di dalam hati saja? “Oh, sorry, Sa. Nggak fokus. Mau pulang ke Bandung nih ada yang harus dilakuin di sana soalnya.” “Mau ketemu pacar lo ya, yang lo tinggalin LDR?” “Ngaco, mana ada,” jawab Abima sambil terkekeh. Tarisa ikut tertawa, kemudian mencomot satu kue lagi dari meja. “Bercanda gue Kak, yaudah hati-hati ya kalo gitu berangkatnya! Kalo bisa pulangnya bawa oleh-oleh dong, apa aja pasti gue makan.” “Oke siap! Tenang aja itu mah.” Tarisa mengacungkan kedua ibu jarinya sebelum akhirnya pamit untuk pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri karena dia baru saja pulang dari sekolah. Ibu Ana yang sedari tadi hanya menyimak kini sedang geleng-geleng kepala melihat tingkah anak tunggalnya itu. “Enggak usah diturutin Bim maunya Tarisa mah,” kata Ibu Ana. “Enggak apa-apa, Bu. Lagian cuma makanan gini Abima mah nggak apa-apa, Tarisa kan memang suka banget dibawain makanan dari luar kota.” Abima tentu menyanggupi keinginan Tarisa karena hanya untuk membawa oleh-oleh makanan masih menjadi perkara mudah untuknya, apalagi jika makanan itu nantinya bisa dibagikan kepada anak-anak asrama pastilah Abima akan lebih senang untuk membelinya. “Iyaudah kalo gitu, selagi nggak memberatkan kamu mah yaudah.” Ibu Ana menutup kotak bekal milik Abima ketika sudah selesai memasukkan beberapa potongan kue. “Ini sudah selesai, kamu mau langsung berangkat Bim?” Abima sempat melirik jam tangannya sekilas, masih ada tiga puluh menit sebelum waktu janjiannya dengan Galih, namun perjalanan menuju stasiun pasti akan memakan waktu selama dua puluh menit lebih karena jaraknya yang cukup jauh dari asrama belum lagi jika ada kemacetan di beberapa titik. Jadi, dia memang harus pergi sekarang untuk menghindari keterlambatan nantinya. “Iya, Bu. Abima mau berangkat sekarang aja soalnya tadi janjian sama Galih jam lima.” “Iyaudah dipanggil Bapaknya itu di depan ya, biar Bapak antar kamu ke stasiun,” pesan Ibu Ana yang langsung Abima angguki. Abima mencium punggung tangan wanita itu selagi mengucapkan salam, kemudian dia keluar untuk menghampiri Pak Karta yang ternyata memang sudah siap dengan mobilnya. Baiklah, sebentar lagi Abima akan melewati perjalanan yang cukup panjang ke tempat yang sudah beberapa bulan ini tidak sempat untuk dia kunjungi karena kesibukannya. Tempat yang sudah membawa banyak kenangan untuk masa kecilnya, tempat yang tidak bisa Abima jual begitu saja karena merupakan satu-satunya aset kenangan yang dia punya tentang kedua orangtuanya, hingga akhirnya hanya bisa dia kontrakkan untuk lantai satunya dan lantai kedua Abima biarkan saja kosong agar sewaktu-waktu dia bisa pulang seperti hari ini. Tempat itu, Bandung. Di mana rumah lama Abima berada. *** “Pa, ini bener kan kalo asramanya nyediain piano buat aku latihan?” Pertanyaan—yang entah sudah berapa kali ditanyakan—itu langsung mengundang tawa Daffa dan Anti untuk disuarakan. Anak gadis semata wayang mereka itu sudah menanyakan pertanyaan yang sama beberapa kali sejak awal perjalanan mereka. Bisa jadi antara anaknya itu yang tidak percaya dengan orangtuanya, atau itu hanya rasa takut semata kalau-kalau memang tidak ada alat musik tersebut. “Kinan, kamu mau tanya ke Papa berapa kali? Papa kan udah kasih tau kalo asrama itu punya temen Papa waktu jaman SMA dan Papa juga udah pastiin sendiri ke dia-nya langsung kalo memang ada piano di sana, bahkan mereka juga punya ruang musik khusus,” jelas Papanya sekali lagi. “Jadi kamu nggak perlu takut ya, tenang aja, ini juga bukan jadi perjalanan pertama kali kamu, jadi Papa sama Mama pasti udah paham banget kamu butuh tempat yang kayak gimana.” Kinan lantas menghela napas lega setelah mendengar jawaban Papanya. “Oke, makasih Pa! Itu tanya terakhir kali kok, Kinan mau mastiin aja tadi sekali lagi.” Kemudian gadis itu tersenyum lebar sembari mengangkat tangannya hingga kedua jarinya membentuk sign peace, tanda perdamaian. Gadis itu namanya Kinan, pemilik nama lengkap Kanala Kinanti yang merupakan seorang anak tunggal dari pasangan Daffa Riffadi dan juga Anti Asmawati. Seorang gadis penyuka seni musik dan lebih condong ke alat musik piano. Karena terlahir dari keluarga yang bisa terbilang berkecukupan lebih, akhirnya sedari kecil Kinan memang diikutkan dalam beberapa les piano— hal itu pun dilakukan setelah Anti melihat bahwa anaknya ini memang memiliki minat lebih pada bidang tersebut. Kinan sangat menyukai piano sehingga dia memilih untuk memfokuskan karirnya sebagai seorang pianis. Keluarganya pun tidak terlalu menuntut dirinya untuk mengejar pendidikan yang tinggi sehingga akhirnya Kinan diperbolehkan untuk mengikuti home schooling saja, yang penting anak gadisnya itu merasa senang maka kedua orangtuanya pun pasti akan ikut senang. Walaupun bersekolah di rumah, tapi Kinan masih bisa terbilang anak yang rajin dan juga pintar. Dia mampu menangkap materi yang diajarkan dengan cepat bahkan tak jarang nilai kuis yang diberikan oleh guru pribadinya juga bisa mencapai angka di atas sembilan puluh. Tetapi walaupun begitu, masih tetap ada minus dari pilihannya tersebut. Karena pada akhirnya, Kinan menjadi pribadi yang lebih tertutup dan tak pandai bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya. Saat ini, Kinan dan kedua orangtuanya sedang dalam perjalanan menuju asrama yang akan ditempatinya selama tiga bulan ke depan, sebab dirinya akan mengikuti salah satu lomba piano yang akan diadakan di Jakarta. Kinan memang sudah sering mengikuti berbagai lomba piano antar provinsi maupun luar negeri. Sebenarnya untuk kalangan pianis pun namanya sudah tidak lagi asing walaupun dirinya tidak selalu menyandang peringkat pertama, namun tidak sedikit orang yang sudah mengenal siapa itu Kinan. Karena sudah terhitung sering mengikuti lomba-lomba di mana pun, akhirnya Kinan mulai berani untuk pergi sendirian ketika lomba itu masih berada di dalam Indonesia. Menurutnya jika masih di negara yang sama, Kinan masih sanggup mengurus dirinya sendiri apalagi sekarang dia sudah berusia 17 tahun. Mama dan Papanya tidak akan selalu bisa menemani karena bagaimana pun juga keduanya bekerja dan mereka harus mengurus pekerjaan mereka juga. Namun, jika lombanya sudah harus ke luar negeri barulah salah satu dari orang tuanya itu akan ikut serta menemani. Walaupun sejujurnya memang ada setitik rasa takut yang menghantui Kinan tentang bagaimana caranya bersikap nanti, atau apa yang akan dia lakukan jika teman-teman di asramanya akan mengajaknya mengobrol? Kinan itu tidak pandai berkata-kata. Jadi, sudah bisa dipastikan bahwa keadaan nanti pasti akan menjadi sangat canggung ketika dia mulai berbicara. Maka untuk menghindari kecanggungan tersebut, akan lebih baik bagi Kinan untuk tidak terlalu berurusan dengan anak-anak di asrama barunya. Sama seperti yang sudah pernah dia lakukan sebelumnya. “Kita udah sampai.” Suara Papanya mampu menarik seluruh atensi Kinan untuk kembali sadar pada kenyataan. Agenda overthinking-nya harus terhenti karena sekarang kedua iris matanya sedang sibuk memperhatikan tempat ini. Jika boleh jujur kesan pertama Kinan ketika turun dari mobil dan melihat tempat ini adalah 'biasa saja', karena bagian depannya hanya terdapat sebuah halaman yang cukup besar dan sejauh ini Kinan hanya melihat satu rumah saja. Apa mungkin dia akan tinggal di rumah itu? Namun, begitu Papanya selesai berbincang dengan seorang wanita yang Kinan yakini sebagai Ibu Asrama dan akhirnya mereka masuk lewat pintu samping untuk melihat halaman belakang, Kinan langsung dibuat ternganga karena tidak terpikirkan akan melihat dua bangunan lain di sini. Don't judge a book by its cover. Kalimat itu kini tengah menari-nari di kepala Kinan, karena tanpa sadar dia baru saja menilai sesuatu hanya dari tampilan luarnya saja. Padahal Kinan belum tau apa yang ada di belakang sampul tersebut. “Ma, aku suka tempatnya,” Kinan berbisik kecil di telinga Mamanya ketika mengamati setiap titik yang bisa dijangkau oleh kedua matanya. Jadi, seperti ini ya penampakan rumah baru yang akan dia tinggali selama tiga bulan ke depan? Jika memang benar begitu maka Kinan akan menjawab jujur, bahwa sepertinya dia akan senang tinggal di sini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN