Kinan bukan orang yang dingin melainkan pemalu dan sulit membangun obrolan dengan orang baru sehingga justru terkesan canggung jika berada di lingkungan yang baru. Kinan juga tidak sombong karena sejak kecil orangtuanya tidak pernah mengajarkan dia untuk bersikap sombong, contohnya sekarang walaupun dia bisa dibilang sudah cukup punya nama sebagai seorang pianis tapi Kinan tidak pernah mengumbar-ngumbar segala prestasi yang sudah dia dapatkan lewat bidang ini. Kinan juga turut ikut serta setiap kali ada lomba ataupun pertunjukan baik yang kecil ataupun yang besar, dia tidak pernah pilih-pilih dalam mengikuti apa pun.
Jika Kinan ingin maka akan dia lakukan. Namun, jika Kinan merasa bahwa itu tidak perlu dan dia butuh istirahat maka Kinan tidak akan melakukannya.
Sebagai seorang penyendiri, sebenarnya pola hidup Kinan itu tergolong sangat baik.
Dan Kinan juga sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan berusaha membangun hubungan yang baik dengan orang-orang di asrama ini, setidaknya harus ada kemajuan darinya yang selalu berlindung di balik tubuh kedua orangtuanya. Kinan sudah tujuh belas tahun dan dia perlu tahu bagaimana rasanya memiliki teman secara langsung serta bagaimana rasanya bisa menghabiskan waktu bersama dengan mereka.
Kinan sudah berjanji walaupun dia masih bingung bagaimana harus merealisasikannya.
“Kak, kakak penghuni baru ya di sini?”
Pertanyaan Tarisa kembali menyentak Kinan dalam keterkejutan, dia masih belum terbiasa dijak bicara dengan orang lain walaupun sejujurnya Kinan merasa tertarik dengan gadis kecil ini. Kinan sadar bahwa selama beberapa saat Tarisa sedang memperhatikannya secara lekat dan Kinan hanya bisa menarik senyum tipis tiap kali tak sengaja bertemu tatap dengannya, dia merasa bahwa gadis yang sekarang ada di hadapannya saat ini sepertinya memiliki usia beberapa tahun di bawahnya. Tarisa itu memiliki wajah yang sangat imut sehingga Kinan merasa bahwa gadis itu sangat lucu, sepertinya menyenangkan jika memiliki adik sepertinya pikir Kinan.
“I—iya, aku bakal jadi penghuni sementara di sini,” jawab Kinan walaupun masih sedikit kaku.
Tarisa tersenyum lebar mendengar itu. “Oh, iya? Selamat datang di asrama Kartapati, Kak ...?”
Kinan ikut menarik senyum simpul, sadar bahwa Tarisa kebingungan ingin memanggilnya dengan nama apa. “Kinan. Panggil aja Kak Kinan.”
“Oke, salam kenal, Kak Kinan!”
Nadanya yang terdengar ceria ketika mengatakan itu lantas membuat senyum di bibir Kinan kian lebar karena merasa senang ada yang menyambutnya di sini. “Salam kenal juga, Tarisa!”
Kinan tidak pernah disapa dengan sangat riang jika di asramanya yang sebelumnya. Seperti yang sudah papanya ceritakan bahwa penghuni di asrama lamanya itu terkesan sangat cuek dan tidak mau berbaur dengan sekitar, sehingga Kinan yang pada dasarnya juga tidak bisa membangun hubungan lebih dulu akhirnya juga memilih diam saja seperti mereka sampai masa sewanya di asrama itu habis.
Tapi sekarang melihat Tarisa yang menyambutnya dengan sangat ceria membuat Kinan jadi sedikit berharap apakah teman-teman di asramanya nanti juga akan bersikap demikian kepadanya? Semoga saja, semoga Kinan bisa benar-benar merealisasikan keinginannya untuk membangun hubungan yang baik dengan orang-orang baru.
Ibu Kinan yang turut mengajak Tarisa berbicara tentang beberapa hal di saat Kinan sendiri memilih untuk diam saja di sampingnya sembari mengamati dalam diam setelahnya. Sudah cukup tentang perkenalan, tapi Kinan tetaplah Kinan, dia masih akan merasa canggung dan juga tidak tahu harus mengatakan apa sehingga hanya memilih diam jika bertemu dengan orang lain. Tetapi, jauh di dalam lubuk hatinya, ada sebuah harap yang melintas di dalam kepala Kinan bahwa semoga saja selama tiga bulan tinggal di tempat ini dirinya bisa akrab dengan gadis kecil itu.
Tak berapa lama kemudian, Tarisa pun pamit pergi setelah merasa bahwa kehadirannya juga tidak memberikan dampak apa pun untuk para tamu itu, lebih baik jika dirinya melanjutkan pekerjaan yang sempat tertinggal di kamarnya tadi. Kinan sempat bersitatap sekali lagi dengan gadis itu dan hanya bisa mengulas senyum sebelum akhirnya Tarisa benar-benar keluar dari ruang musik.
Baik Kinan dan juga Ibu Asti kembali fokus pada Ibu Ana yang tiba-tiba saja bicara dan memberitahu sebuah fakta tentang ruang musik ini. “Sebenarnya ruang musik ini pertama kali di buat atas keinginan Tarisa, anak saya itu juga memiliki ketertarikan di bidang musik hanya saja nggak terlalu diseriusi karena dia cuma hobi aja katanya. Tarisa juga bisa main piano tapi tidak sepandai ‘Nak Kinan,” jelas Ibu Ana pada anak dan ibu di depannya.
“Wah, Tarisa juga senang main piano ternyata, Ki,” sahut Anti kepada Kinan dan gadis itu hanya tersenyum saja. “Nanti kalau udah akrab bisa kamu ajarin tuh Tarisanya biar bisa pintar kayak kamu.”
Kinan tersenyum lebar dan mengangguk untuk menyetujui ucaapan mamanya. Tentu saja dia akan dengan senang hati mengajari Tarisa jika memang gadis kecil itu menginginkan untuk kembali belajar musik bersamanya. Kinan itu tidak pelit ilmu kok, dia pasti akan membagikannya kepada mereka yang memang ingin belajar.
Padahal di balik senyumnya Kinan sedang berpikir tentang pantas saja ada ruang musik di asrama ini, ternyata alasannya karena itu, pikir Kinan. Dia justru merasa semakin senang karena gadis tadi memiliki hobi yang sama dengannya. Setidaknya Kinan sudah berpikir bahwa mungkin saja akan ada pembicaraan di antara mereka tentang hal yang sama-sama mereka sukai ini.
Mungkin saja, ‘kan.
Kinan sih masih berani jika harus membuat sebuah harapan di dalam hati, walaupun dia sendiri tidak tahu apakah keinginan kecilnya itu akan bisa terwujud atau tidak, ketika dia sendiri sadar bahwa dirinya bukanlah seseorang yang bisa dengan mudah akrab dengan orang lain.
Tapi, hal itu bisa Kinan pikirkan nanti. Paling tidak, lingkungan baru tempatnya tinggal selama beberapa bulan ke depan sudah sangat sesuai dengan keinginannya, dan Kinan sudah patut bersyukur tentang hal itu lebih dulu.
“Mau lanjut lihat ke asrama putri? Biar sekalian saya kasih tahu beberapa hal juga.” Ibu Ana memberikan saran kepada Kinan, sebenarnya cara ini juga dia lakukan untuk mencoba mengakrabkan diri dengan gadis itu.
Ibu Ana sudah sering mendapatkan beberapa tipe penghuni asrama yang memiliki sifat berbeda-beda. Tapi untuk kasus Kinan ini adalah kali pertama, gadis itu benar-benar pasif dalam berbicara hingga terkadang Ibu Ana merasa harus berhati-hati ketika berbicara. Pernah ada salah satu anak yang juga pendiam seperti Kinan, namun dia masih bisa berbicara dengan yang lain, tapi sepertinya akan butuh usaha ekstra untuk membuat Kinan akrab dengan penghuni asrama putri yang lain, karena Kinan sangat berbeda.
Tetapi walaupun begitu, Ibu Ana akan melakukan segala cara untuk membuat gadis itu merasa nyaman dan dia juga akan berusaha membuat Kinan menyukai lingkungan serta teman-teman barunya di tempat ini.