07. Perkenalan

1059 Kata
             Selama beberapa saat netra Kinan tak bisa lepas memindai seluruh bagian piano yang sekarang bahkan sudah dapat dia sentuh. Rasa excited tidak bisa lagi gadis itu tahan sehingga akhirnya kedua kedua mata yang cukup berbinar Kinan menoleh ke arah Ibu Ana.             “Aku boleh cobain pianonya sebentar nggak, Bu?” tanya Kinan dengan harapan yang besar, dia sudah cukup memperhatikan dan sekarang saat baginya untuk mencoba dan melihat langsung apakah piano itu bisa digunakan dengan baik atau tidak.             “Iya, boleh dong, Nak Kinan. Silakan saja dicoba,” jawab Ibu Ana dengan penuh keramahan.             Kinan melirik mamanya sekilas untuk melemparkan senyum yang menandakan bahwa dia sedang sedang saat ini, kemudian gadis itu mulai menempatkan dirinya untuk duduk di kursi piano tersebut. Dibukanya penutup tuts itu dengan perlahan dan Kinan membersihkan sedikit bagian yang berdebu.             “Pianonya jarang ada yang mainin, jadi maaf ya kalo agak sedikit berdebu.”             “Enggak apa-apa kok, Ana. Kinan paham banget cara bersihinnya, dia juga pasti mau bersihin sendiri karena memang dia yang butuh buat pakai, ‘kan,” Anti yang menjawab pernyataan dengan sedikit nada bersalah yang tadi Ana lontarkan.             Bagi Kinan dengan adanya piano saja sudah sangat baik, jadi masalah bersih atau tidak bisa dia yang memberishkannya nanti. Benar seperti apa yang baru saja mamanya katakan.             Ketika dirasa sudah cukup bersih Kinan pun mulai menekan beberapa tuts untuk mengecek bunyi yang dihasilkan apakah sesuai dengan harapannya atau tidak, tapi ternyata suaranya cukup baik untuk didengarkan dan senyum Kinan kembali terulas karena hal itu. Kinan mulai menggerakkan jemarinya secara perlahan untuk menekan beberapa tuts secara bersamaan dari piano tersebut hingga menciptakan sebuah melodi indah bagi siapa pun yang mendengarnya. Padahal jika boleh jujur, Kinan hanya memainkan lagu yang sudah awam dikenal oleh sebagian orang dan juga lagu itu memiliki tangga nada yang singkat, tetapi dari bagaimana caranya bermain saja sudah sangat terlihat tentang semahir apa Kinan dalam bidang yang satu ini.             Permainannya pun tanpa sadar menarik minat salah satu pengamat lain yang kebetulan memiliki kamar tidak jauh dari ruang musik berada. Si pengamat itu merasa sangat penasaran hingga akhirnya mengintip dari balik pintu ruang musik. Itu Tarisa, anak dari Pak Karta dan juga Ibu Ana. Rasa penasarannya yang teramat tinggi membuat kedua tungkainya lantas turun dari lantai dua hanya untuk menyaksikan siapa gerakan yang baru saja memainkan piano di ruang musik.             Tarisa tahu bahwa hanya ada tiga orang yang berkemungkinan besar bisa memainkan piano itu, mereka adalah Kak Abima, Kak Dika dan juga dirinya. Tetapi jika harus dibandingkan tidak ada satu pun dari mereka yang bisa bermain piano sebagus itu padahal Tarisa sudah menganggap dirinya cukup mahir—tapi jika bisa memainkannya semulus itu tanpa cacat rasanya akan sulit. Akhirnya Tarisa memutuskan untuk mengecek sendiri siapa yang sudah memainkan piano tersebut.             “Ibu, siapa yang main piano, kok bagus banget?” Tarisa langsung berbicara bersamaan dengan kepalanya yang muncul dari sela-sela daun pintu, belum sampai lima detik kedua netranya melihat apa yang ada di dalam sana, kedua matanya langsung membulat sempurna. “Ups ... hehe, maaf, aku nggak tahu kalo lagi ada tamu.” Gadis itu langsung cengengesan ketika menyadari bahwa ada dua wajah asing yang sedang berada di dalam sana bersama dengan ibunya.             Menyadari kehadiran sang anak Ibu Ana lantas memanggil Tarisa untuk bergabung, karena rasanya akan sedikit tidak sopan jika Tarisa harus langsung pergi begitu saja di saat ada orang lain di ruangan ini. “Tarisa sini, kenalan dulu.”             Baru saja Tarisa ingin pergi, Ibunya sudah lebih dulu memanggil dan mau tak mau Tarisa segera bergerak untuk masuk ke dalam walaupun gadis itu harus menghela napas lebih dulu. Bukannya dia tidak mau berkenalana dengan tamu ibunya, tapi sekarang Tarisa sedang merasa sangat jelek sekali karena belum sempat membersihkan diri. Tadi ketika baru pulang sekolah dia langsung merebahkan dirinya di tempat tidur dan membaca beberapa cerita dari aplikasi online yang sudah menjadi sebuah kebiasaan baginya. Bahkan agenda membersihkan diri yang sempat dia susun menghilang begitu saja ketika tubuhnya sudah bertemu dengan kasur kesayangan.             Lalu sekarang apa tidak bisa ibunya menyuruh Tarisa untuk merias diri lebih dulu agar telihat lebih cantik di depan tamunya tersebut?             Baiklah, Tarisa sudah tahu bahwa jawabannya adalah tidak mungkin. Dan yang bisa dia lakukan adalah melangkah mendekat ke arah mereka dengan senyum yang lebar.              Gadis itu menundukkan tubuhnya sebentar untuk memberi salam. “Halo, aku Tarisa.” Dia memperkenalkan dirinya dengan suara yang manis. Lalu secara tiba-tiba mengalihkan tatapannya kepada Kinan. “Tadi tuh Kakak kan yang main piano? Mainnya bagus banget padahal cuma lagu dasar, tapi aku tau lagu itu dan Kakak mainnya lancar banget tanpa cacat aku jadi kagum.” Tadi Tarisa memang sempat melihat Kinan yang berada di balik piano miliknya, berarti sudah pasti bahwa kakak yang satu itu yang telah memainkan permainan barusan.             Kinan yang diberikan pujian secara tiba-tiba itu lantas tersentak kaget, tidak tahu bahwa akan dipuji secara tiba-tiba oleh gadis itu. Ada sebagian kecil dari hatinya yang merasa sangat senang tapi jujur Kinan langsung merasa sebal sebab dia tidak bisa menunjukkan rasa senangnya itu secara langsung. Sehingga pada akhirnya yang bisa Kinan lakukan hanya menunduk sopan ke arah Tarisa. “Makasih,” hanya satu kata dengan nada kaku yang diucapkannya sebagai balasan.             Kinan sudah memikirkan banyak hal untuk diucapkan, tapi nyatanya hanya satu kata itu saja yang sanggup dia lontarkan kepada gadis kecil di hadapannya ini.             Entah kenapa Kinan merasa tahu kalau sepertinya Tarisa sekarang tengah memikirkan tentangnya yang terkesan aneh dan juga kaku, terlihat jelas dari bagaimana cara gadis kecil itu menatap Kinan saat ini. Padahal itu hanya tebakan semata karena sebenarnya Tarisa bahkan tidak berpikiran seperti itu, dia memang sempat berpikir bahwa mungkin saja Kinan merasa canggung dengan pertemuan pertama mereka tapi bukan semata-mata berpikiran bahwa Kinan adalah gadis yang aneh, Tarisa tidak berpikiran hal semacam itu.             Tapi tentu saja Kinan masih tetap berpegang teguh pada pemikirannya sendiri dan sebetulnya sih dia juga tidak merasa masalah, Kinan tak merasa keberatan di tatap seperti itu karena dia sadar bahwa faktanya dia memang orang yang kaku dan sulit berinteraksi dengan orang baru.             Pengaruh dari home schooling dan juga lingkungan yang selalu membuatnya sendirian pada akhirnya membentuk pribadi Kinan yang seperti ini. Apalagi jika ada seseorang yang baru saja melihatnya pastilah akan merasa bahwa Kinan adalah orang yang dingin dan sulit di dekati, bahkan lebih parahnya lagi dia bisa dibilang sombong karena terkadang menolak interaksi dengan sekitar.             Padahal faktanya tidak seperti itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN