BAB 6 - Larasati, Wanita Bisu Yang Diinginkan Anakku

1893 Kata
Mahesa menepikan mobil setelah sepuluh menit mengebut di jalanan yang sepi. Dia berhenti tepat di tempat terakhir yang Larasati tunjukkan sebelum panggilan terputus karena daya baterai ponsel wanita itu habis. Mendengar pintu mobil ditutup dengan keras membuat Danu tersentak. Dalam kondisinya yang setengah sadar, dia melihat Mahesa pergi. “Mau ke mana dia?” tanyanya pelan sambil menggelengkan kepala, berusaha untuk menyadarkan diri sendiri. Langkah kaki Mahesa terlihat kasar dan lebar. Dia memasuki gang-gang kecil dengan membawa ponsel Danu, tanpa tahu jika sahabatnya mengikuti dalam jarak yang lumayan jauh. Prioritasnya kali ini adalah menemukan keberadaan Larasati dan menolong wanita itu dari pria tak beradab seperti Malik. “Di mana sebenarnya wanita itu sekarang?” Sudah lima menit berlalu, tetapi Mahesa belum juga menemukan tanda-tanda keberadaan Larasati dan sekarang dia benar-benar cemas jika ternyata Malik telah mendapatkan wanita itu. Sementara itu, Larasati kini telah terpojok. Dia meringkuk di ujung gang bersama sampah-sampah dan beberapa barang tak terpakai. Malik berdiri tak jauh di depannya sambil menyeringai. Kakinya yang berdarah-darah tak jadi halangan apa pun. “Kamu pintar sekali milih tempat kosong begini, Laras!” Malik mengusap hidungnya dan lagi-lagi terkekeh sebelum mendekat pada Larasati yang berteriak pelan. “Percuma saja, Laras. Nggak ada yang bakal bisa mendengarmu, jadi diam dan nikmati saja permainannya, ya?” Pria itu mendekat sambil melepas celana, membiarkan Larasati berada dalam tekanan rasa takut yang luar biasa karena melihat wanita itu menangis membuat hasratnya makin tinggi dan luar biasa. Larasati terus mundur meski punggungnya telah menyentuh tembok. Bahkan ketika Malik tiba-tiba mencengkram pergelangan kaki dan menariknya mendekat pun, dia tidak bisa bertahan dengan apa pun. Ya Tuhan tolong selamatkan aku! Tepat setelah Larasati menjerit dalam hati, seseorang berlari ke arahnya lalu menendang Malik hingga terlempar ke tumpukan sampah. Tidak sampai di situ, Mahesa yang datang tepat waktu pun melampiaskan amarahnya dengan memukuli Malik secara membabi buta. “Sialan! Kenapa kamu lagi?!” Malik berusaha menghindar dan melindungi kepalanya, tetapi pukulan Mahesa datang dari berbagai arah sehingga sulit untuk membalas. Namun, tiba-tiba saja dia ingat pena milik Larasati yang sebelumnya menancap di kakinya. Dia merogoh kantong jaket dan mengambil benda tersebut lalu menggunakannya untuk menyerang Mahesa. “Arrrghh!” Mahesa mengerang keras merasakan sakit di bagian lengannya dan ketika dia menoleh, darah keluar hingga merembes kemeja warna putihnya. “Kurang ajar!” Luka yang didapatkannya menjadi dorongan kuat untuk balas dendam. Mahesa kembali menghajar Malik secara bertubi-tubi, tanpa ampun, tanpa jeda. Tak peduli jika lelaki itu mati di tangannya. Wajahnya bonyok dan ada darah keluar dari sudut bibir serta pelipisnya. Malik tidak bisa melindungi diri, apalagi membalas pukulan Mahesa yang tidak pernah berhenti. Pria itu terus melayangkan tinjuan saat berada di atas tubuh Malik yang terkulai lemas. Danu yang baru menemukan keberadaan Mahesa pun sempat terhenti, meremas rambutnya sendiri melihat temannya memukuli seseorang. Dia tidak tahu apa masalahnya, tetapi ketika melihat Larasati menangis di pojok membuatnya sadar dan segera menghubungi polisi menggunakan ponsel Mahesa yang tertinggal di dasbor tadi. “Ada tindak pelecehan di sini! Cepat datang ke lokasi pengembangan yang ada di dekat Jalan Layang Suraja!” Setelah menelpon polisi, Danu bergegas menghentikan Mahesa yang jika dibiarkan saja mungkin akan menjadi seorang kriminal yang mendekam di penjara atas tuduhan pembunuhan. “Sudah cukup! Kalau kamu menghajarnya terus, dia bakal mati!” Danu berusaha keras menahan Mahesa dengan berdiri dan mengunci kedua tangan pria itu, lalu menariknya mundur sekitar dua meter agar kakinya yang panjang tidak dapat menjangkau Malik yang sudah hilang kesadaran. “Kurang ajar! Pria b******k seperti itu memang harus mati!” Mahesa masih belum bisa menenangkan diri dan merasa begitu benci pada Malik hingga dorongan untuk menghabisi laki-laki b******k seperti itu benar-benar kuat. Namun, sosok Larasati yang sempat terlupakan kini muncul dan itu membuatnya tenang. Danu melepaskan pertahanan setelahnya lalu menghampiri pengajar baru di tempat kursusnya. Pria itu menepuk pundak Larasati dan membuatnya tersentak kaget, tetapi ketika melihat sosok profesor muda di depan mata, perasaannya mendadak lega. Danu bertanya apakah Larasati baik-baik saja menggunakan bahasa isyarat dan wanita itu pun mengangguk pelan. “Berdirilah.” Danu mengulurkan tangan dan membantu Larasati berdiri. Tepat setelah itu, Larasati melihat Mahesa yang terduduk dalam kondisi kacau. Rambut dan pakaiannya berantakan, ekspresinya terlihat garang dan ada noda darah di tangannya. Mereka bertemu pandang dan Larasati segera mengatakan sesuatu menggunakan bahasanya. “Dia berterima kasih padamu,” ucap Danu mewakili. Dia kemudian menepuk pundak Larasati dan meminta perhatian agar wanita itu melihat apa yang akan dikatakannya. “Kamu harus ke rumah sakit dengan teman saya dan obati luka kalian berdua. Aku harus tetap di sini sampai polisi datang dan menangkap orang ini.” Larasati mengangguk patuh, kemudian kembali menatap Mahesa yang membuang muka sebelum akhirnya beranjak pergi mendahuluinya. Dia berbalik untuk berpamitan pada Danu lalu mengikuti ayah Liam tersebut. “Aku penasaran apakah mereka sudah saling kenal sebelumnya?” Sementara Danu bertahan untuk memastikan Malik diborgol oleh polisi, Mahesa dan Larasati bergegas ke rumah sakit untuk mengobati luka mereka meski duda satu anak itu merasa lukanya tidak seberapa. Namun, wanita bisu tersebut memang harus dirawat. Pagi sekitar pukul tujuh, Liam terperangah melihat wanita yang selama ini diinginkan olehnya. Dia segera berlari memeluk Larasati yang baru saja keluar dari kamar tamu dan membuat wanita itu terkejut. “Tante! Kapan Tante datang ke sini?” Anak itu benar-benar senang melihat Larasati di rumahnya. Liam tiba-tiba merasa bangga pada sang ayah dan berpikir untuk membiarkannya menikah dengan wanita yang tidak benar-benar tulus. Larasati hanya tersenyum tipis dan mengelus rambut Liam dengan lembut. Dia tiba-tiba mengingat sang anak yang mati sebelum bisa mengenali ibunya sendiri dan melihat anak laki-laki bermata indah itu adalah suatu keajaiban yang luar biasa. Liam menyadari ada yang tidak beres karena tiba-tiba kedua mata Larasati berkaca-kaca. “Tante nggak papa?” Wanita itu mengangguk dan menjawab pertanyaan Liam bahwa dia tidak apa-apa. “Syukurlah!” Liam tersenyum lebar setelahnya dan tepat setelah itu suara sang ayah menginterupsi. “Cepat cuci muka dan mandi.” “Iya!” Mahesa yang hendak duduk di sofa mengurungkan niat melihat Liam yang mendadak menjadi anak penurut. Padahal biasanya anak itu menolak, mengulur banyak waktu dan melakukan hal-hal yang tidak penting. “Dia menjadi penurut hanya karena wanita itu ada di sini?” Mahesa bertanya-tanya lalu duduk di sofa. Namun, beberapa saat setelah itu Larasati menyodorkan sebuah ponsel dengan beberapa kata tertulis di sana. “Terima kasih banyak. Saya berhutang budi pada Bapak. Apakah luka Bapak baik-baik saja?” “Ya, bukan masalah besar.” Mahesa menepuk lukanya yang tidak terlalu serius setelah mendapat suntikan agar tidak infeksi. Dia lalu menatap Larasati yang terlihat kacau. “Kamu baik-baik saja?” Wanita itu hanya mengangguk. “Oh iya, ba–” Mahesa menelan kata-katanya karena mungkin akan repot jika Larasati tidak mengerti. Dia lantas merebut ponsel wanita itu dan menulis sebuah pertanyaan. “Tawaranku masih berlaku. Aku ingin kamu jadi tutor Liam dan lebih baik kamu menerimanya karena mungkin kamu tidak akan nyaman tinggal di rumahmu setelah kejadian itu.” Larasati terdiam beberapa saat, memikirkan tawaran Mahesa yang sepertinya adalah hal paling baik yang harus dilakukan untuk sekarang ini. Apalagi jika sekarang Malik ada di kantor polisi, sudah pasi ibu mertua dan adik iparnya tidak akan tinggal diam. Wanita itu kemudian menulis sesuatu dan memberikan ponselnya pada Mahesa. “Kalau begitu saya akan terima. Tapi, saya tidak mungkin berhenti mengajar kursus di tempat Pak Danu. Apa tidak masalah?” Mahesa mengangguk. “Tidak masalah. Liam pasti tidak akan mempermasalahkannya.” Di tempat lain, Harti dan Nurmala hampir terkena serangan jantung saat rumahnya didatangi polisi sekitar pukul sebelas siang dan berkata bahwa Malik ada di kantor polisi atas tuduhan pemerkosaan terhadap Larasati. Nurmala tahu suatu waktu suaminya pasti kena batunya karena tidak bisa menahan diri, tetapi dia tidak ingin hal itu jatuh ke tangan ke kepolisian. Harti yang mendengarnya pun hanya bisa mengepalkan kedua tangan dan perasaan gondok terhadap menantu cacatnya. Mereka berdua lantas pergi ke kantor polisi, bertemu dengan Malik yang babak belur saat ibu dan istrinya datang. Harti dan Nurmala terkejut bukan main karena posisi Malik terlihat seperti korban, bukannya pelaku. “Saya nggak terima, Pak! Pokoknya saya bakal menuntut Larasati karena udah menyiksa suami saya begini!” Nurmala ngotot dan tak mau tahu sekalipun fakta bahwa suaminya sering melecehkan Larasati tak bisa dipungkiri. “Sekarang di mana Larasati? Kalau memang anak saya seperti itu, dia harus datang ke sini dan bikin kesaksian!” Harti menambahi dengan amarah yang luar biasa. “Korban sudah memberikan kesaksian pagi tadi dan memang seharusnya pihak kami memisahkan antara korban dan pelaku, Bu,” balas salah satu polisi tersebut. “Nggak! Pokoknya dia harus ada di sini dan mengaku!” Hari membuang muka dan melipat kedua tangannya dengan sombong. Di saat itulah dia melihat dua sosok pria datang bersamaan dan menghampirinya. “Kami berdua saksi dan juga korban.” Mahesa menengahi saat berdiri di dekat Harti. Dia kemudian menyerahkan sebuah pena pada polisi. “Ini bukti bahwa saya menjadi korban. Larasati juga menggunakannya untuk membela diri, jadi pasti ada DNA kami bertiga.” Harti dan Nurmala mendelik. “Siapa kalian?! Kenapa kalian ikut campur keluarga kami?!” Keluarga macam apa yang menutup mata melihat Larasati dilecehkan oleh laki-laki b******k seperti itu?” Mahesa geleng-geleng kepala melihat kedua wanita yang memilih bungkam. “Saya juga akan menuntut pria itu atas penyerangan.” “Apa?!” “Dan satu lagi, Larasati tidak akan kembali ke rumah kalian karena dia mengalami trauma yang luar biasa. Hasil pemeriksaan akan segera keluar, jadi bukti kebersalahan laki-laki itu akan semakin berat.” Mahesa kemudian melangkah keluar setelah menekan dua wanita yang sikapnya seperti iblis. Dia heran kenapa Larasati masih bertahan selama ini dengan orang-orang yang selalu memperlakukannya dengan buruk padahal daripada bertahan, lebih baik pergi dan menjalani hidup seorang diri. Setelah dari kantor polisi, Mahesa kembali ke kantor, sementara Danu bergegas ke tempat kursusnya. Kedua pria itu adalah orang-orang yang gila bekerja sampai-sampai tidak ada waktu untuk berkencan. Mahesa yang bisa meluangkan waktu untuk kehidupan pribadinya dengan berhubungan dengan Viona, malah ditentang oleh Liam selama ini. Akan tetapi, dia yakin itu akan segera berakhir. Setelah Larasati menerima tawarannya, dia akan menikah dengan Viona dalam beberapa bulan ke depan. Sekitar pukul lima sore, Mahesa tiba di rumah. Ada mobil Viona di depan, artinya wanita itu sedang berada di rumahnya. Dan benar saja, setelah memasuki ruang tamu dan ruang keluarga yang terhubung dengan halaman samping, dia melihat kekasihnya tengah berbaring di ranjang santai pinggir kolam, sementara Larasati sedang mengupas buah membelakangi kolam. Mahesa melangkah lagi, tetapi tak sengaja ada sekelebat pergerakan dari dalam kolam yang membuat langkahnya berhenti begitu saja. Dia menoleh dan melihat sesuatu di dalam air. Itu siluet seorang anak kecil yang berusaha berenang ke permukaan dan dalam gerakan cepat, Mahesa melempar tas kerjanya begitu saja lalu berlari ke halaman samping sambil membuka jas dan membuangnya ke sembarang arah. Larasati yang melihat pantulan dari kaca di depannya segera menoleh dan bertepatan dengan itu Mahesa melompat ke dalam air untuk menyelamatkan Liam yang hampir tenggelam. Wanita itu terkejut sampai jarinya teriris pisau, tetapi hal itu tidak membuatnya kesakitan karena rasa cemasnya pada Liam jauh lebih besar. Dia berjalan ke tepi kolam dan menunggu Mahesa membawa anak kecil itu naik, sementara Viona masih berbaring sambil memejamkan mata dan menikmati musik menggunakan earphone-nya. “Kamu ini bisa jaga anak saya tidak?! Kalau kamu sadar bahwa kamu tuli dan bisu, jangan lakukan apa pun selain memperhatikan anak saya! Tugasmu cukup seperti itu!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN