Siang itu Viona berkunjung ke rumah Mayang, calon mertua yang amat mendukungnya untuk menikah dengan Mahesa. Semua orang sudah setuju jika mereka menikah, tetapi ada satu halangan yang sangat sulit dibobol oleh Viona dan Mahesa sendiri, yaitu Liam Abraham.
Anak itu benar-benar sulit dan terus menolak, tetapi akhir-akhir ini Liam mulai mengendurkan sikapnya dan akan membiarkan sang ayah menikahi Viona dengan satu syarat, membawa wanita bernama Larasati untuk dijadikan tutor sekaligus pengasuhnya.
Pagi tadi Mahesa menghubunginya dan berkata bahwa mungkin saja mereka akan segera menikah dalam waktu dekat. Itu karena Larasati kini menerima tawaran tersebut. Sungguh tidak ada hal lain yang Viona harapkan selain Liam tidak akan berubah pikiran dan dia bisa menikah dengan duda kaya raya itu.
Mayang sekali lagi memegang tangan Viona saat wanita itu hendak pergi. “Pokoknya, tolong sayangi Liam seperti anakmu sendiri, ya?”
“Ibu tenang aja.” Viona meyakinkan calon mertuanya. “Liam itu anaknya Mas Mahesa, jadi dia juga anakku. Aku bakal jadi Ibu yang baik buatnya.”
“Kalau begitu Ibu nggak minta apa-apa lagi. Terima kasih, ya, Na. Ibu merestui kalian berdua.”
Viona tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih juga, Bu. Kalau begitu, aku pergi dulu, ya. Katanya hari ini pengasuh Liam yang baru udah datang. Aku mau menemui mereka.”
“Ya sudah, pergilah.”
Wanita berambut hitam lurus potongan sepundak itu melangkah pergi dan beberapa saat setelah dia berbalik badan, dia bergumam, “Bisa mati muda kalau aku tinggal dengan anak itu. Pokoknya kalau aku dan Mas Mahesa menikah, Liam harus ikut sama neneknya!”
Viona sudah mempunyai rencana sendiri jika nantinya dia menikah dengan Mahesa. Pertama yang harus dilakukan adalah memisahkan pria itu dari anaknya yang menyebalkan, lalu tinggal berdua dan membentuk keluarganya sendiri dengan memiliki beberapa putra atau putri kandung.
Setelah melakukan perjalanan selama lebih dari setengah jam, Viona akhirnya tiba di rumah Mahesa yang ada di perumahan elit, tempatnya orang-orang kaya berada seperti pebisnis hingga tokoh hiburan.
Viona mengetuk pintu karena dia belum memiliki akses untuk masuk seorang diri. Seperti kata Mahesa, pertama-tama dia harus mengambil hati Liam dengan cara membatasi diri agar tidak terlalu tergesa-gesa dan tetap santai seolah yang terjadi adalah sesuatu yang alami.
Tak berapa lama setelah Viona mengetuk pintu, Larasati datang untuk membukakan pintu begitu melihat Liam terus menerus menoleh ke arah depan. Dan benar saja, rupanya memang ada seseorang yang datang.
Viona menatap Larasati dari atas ke bawah, mengamati penampilannya yang lumayan cantik terurus. Rasanya keberadaan wanita itu di rumah tersebut bukanlah hal baik. Bagaimanapun, Mahesa adalah seorang pria dan Larasati cukup menawan.
“Kamu pengasuh Liam yang baru?” tanya Viona.
Larasati yang memperhatikan gerak bibir Viona pun mengangguk, kemudian bertanya siapa dan ada urusan apa datang ke rumah itu menggunakan bahasa isyarat.
Viona mencangah tanpa segan dan menatap Larasati sebelum akhirnya tertawa menghina. “Kamu bisu? Kamu juga tuli? Astaga,” katanya lalu menyelinap masuk begitu saja tanpa peduli jika bahunya menabrak wanita bisu itu hingga bergerak mundur. “Halo, Liam sayang! Tante datang!”
Wanita itu duduk tepat di depan Liam yang sedang belajar, sama sekali tidak acuh dengan kedatangannya. Viona jengkel, tetapi dia harus bersabar dan harus bertahan sampai dirinya menjadi istri sah Mahesa Dhananjaya.
“Omong-omong, kenapa kamu mau pengasuh cacat seperti itu?”
Liam yang tadinya bersikap tak acuh kini tiba-tiba menatap Viona dengan mata berwarna lavender yang bagi orang-orang –termasuk calon istri Mahesa, merasa takut. “Siapa yang cacat? Tante Larasa cuma nggak bisa ngomong dan nggak bisa dengar! Tante Viona tuh yang cacat karena nggak bisa bicara baik!”
Anak itu membereskan pekerjaan rumahnya, lalu membawa mereka semua ke teras samping yang terdapat kolam renangnya. Larasati mengikuti sementara Viona tetap duduk di ruang keluarga dengan perasaan kesal luar biasa.
Larasati tiba-tiba mengelus rambut Liam yang terlihat kesal. Dia kemudian bertanya apakah Liam ingin buah atau tidak dan ketika anak itu mengangguk, dia segera beranjak ke dapur untuk mengambil beberapa buah dan mengupasnya di teras samping sambil menemani anak laki-laki yang mengingatkannya pada sang buah hati.
Viona yang melihat kedekatan mereka menjadi tambah kesal. Dia bergegas ke teras samping meski hanya sekadar duduk dan mendengarkan musik. Setidaknya dia harus ada di dekat Liam saat Mahesa pulang nanti, sekitar 15 menit lagi.
Tanpa menghiraukan Liam dan Larasati, Viona mengambil duduk di kursi santai dekat kolam, lalu berbaring dan menyumpal telinga menggunakan earphone, juga memejamkan mata karena tak ingin melihat mereka berdua.
Beberapa saat berlalu, Viona masih menikmati waktunya, sementara Larasati masih mengupas beberapa buah apel bersebelahan dengan Liam yang baru saja beranjak untuk mengambil menghapus pensil yang tak sengaja jatuh menggelinding ke arah kolam.
Larasati melihat dari pantulan kaca dan ketika melihat Liam membungkuk untuk mengambil sesuatu, dia kembali fokus dengan pekerjaan mengupas apel dan bersamaan dengan itu, Liam yang hendak berdiri tiba-tiba merasa pusing.
Pandangannya berputar-putar dan membuat pijakan kakinya menjadi terombang-ambing sebelum akhirnya terjerembab ke dalam kolam. Larasati tidak mendengar apa pun, pula tidak melihat kaca di bening di depannya.
“Tan–” Liam mencoba berteriak saat mencoba ke permukaan. “Tan!”
Tidak ada yang mendengar.
Larasati sibuk mengupas apel di tengah-tengah ketenangan dan kehampaan akibat malfungsi indra pendengarnya, sementara Viona masih menikmati musik dengan volume keras yang hanya didengar telinganya sendiri.
Liam hampir kehabisan napas, pula tenaga yang memang tidak seberapa. Dia berusaha berenang ke permukaan, tetapi dia tidak bisa. Viona yang bisa diandalkan pun benar-benar tidak berguna.
Tenaganya habis. Volume air terlalu kuat dan membuat dadanya mati rasa.
Lalu tepat setelah itu, bayangan Mahesa melompat ke dalam air membuat larasati mendongak. Dia tidak melihat Liam di mana pun dan dia pikir anak itu yang membuat Mahesa melompat ke kolam renang.
Saat Mahesa membawa Liam keluar dari dalam air, Larasati tersentak hingga tak sengaja melukai jarinya sendiri menggunakan pisau.
Liam!
“Kalau kamu bisu dan tuli, jangan melakukan hal-hal tidak perlu dan cukup perhatikan anakku saja! Hanya itu yang harus kau lakukan!”
Larasati tidak melihat Mahesa berteriak padanya dan dia justru menangis ketakutan melihat Liam tidak sadarkan diri. Ketika tangannya hendak menyentuh tubuh anak itu, Mahesa bergerak mundur dan membuatnya mendongak.
“Pergi dari sini! Orang cacat seperti dirimu tidak bisa menjadi pengasuh anakku!”
Larasati meremas bajunya setelah memperhatikan gerak bibir Mahesa. Dia bergerak mundur dan membenarkan ucapan pria itu, bahwa seseorang seperti dirinya tidak bisa hidup dengan orang lain.
Dia benar. Aku tidak seharusnya ada di sini.
Wanita itu pergi dengan perasaan sakit hati yang luar biasa dan meninggalkan jejak darah yang menetes dari jarinya. Dia memang tidak bersalah, tetapi karena kekurangannya itu, Liam hampir saja mati tenggelam kalau Mahesa tidak datang di waktu yang tepat.
Larasati sadar betul jika sesungguhnya dia tidak boleh hidup dengan siapa pun sebab jika tidak, orang-orang di sekelilingnya bakal tertimpa kesialan, sama seperti yang telah terjadi pada anaknya beberapa tahun lalu.
Melihat Liam berada dalam bahaya membuat Larasati terpukul. Dia mengingat kejadian di masa lalu dan sekarang hampir saja hal itu terulang pada anak orang lain. Lalu saat tiba di halte bus, dia duduk di bangku di antara orang-orang yang terkejut melihat darah mengalir keluar dari jarinya.
Di rumah Mahesa sendiri saat ini sedang dalam suasana kacau. Viona berdiri dengan kepala menunduk saat duda satu anak itu membelakanginya dengan kedua tangan berkacak pinggang.
Wanita itu baru membuka mata dan melepas earphone-nya begitu alarm berbunyi, tanda bahwa Mahesa akan segera tiba. Namun, betapa terkejutnya dia ketika melihat Mahesa melangkah masuk menggendong Liam dengan keadaan basah kuyup.
Viona merasa situasi kali ini benar-benar gawat karena dia akhirnya menghadapi sesuatu yang buruk karena wanita bisu tak dikenal yang mendadak menjadi pengasuh Liam. Dia berpikir Mahesa tidak akan membiarkannya begitu saja.
“Sayang,” panggil Viona pelan, “aku sudah meminta wanita itu untuk menjaga Liam karena aku merasa pusing, tapi ….”
Mahesa tiba-tiba berbalik badan dan menatap Viona dengan sorot dingin. “Kamu tidak tahu kalau dia bisu dan tuli?”
“Aku tahu, tapi–”
“Kamu sudah tahu tapi tetap menyuruhnya menjaga Liam?!”
Viona tersentak mendengar Mahesa berteriak untuk pertama kali padanya. Benar, dibandingkan dirinya, Liam jelas menjadi prioritas utama dan pria itu bisa-bisa saja membuangnya jauh jika sesuatu terjadi pada anak aneh bernama Liam tersebut.
“Sekarang pergi dan jangan temui aku sampai aku menghubungimu.”
“Mas Mahesa, tapi–”
“Aku bilang keluar, Viona.”
Mahesa mendelik lebar dan membuat Viona menelan ludah. Dia kemudian memilih pergi daripada membuat calon suaminya marah besar. Sekarang dia bahkan ragu jika pria itu akan melupakan kejadian ini dan menikah dengannya dalam waktu dekat.
Sialan sekali. Semua ini gara-gara wanita cacat itu!