BAB 8 - Larasati, Wanita Bisu Yang Diinginkan Anakku

1520 Kata
Larasati mendapat tamparan yang amat menyakitkan saat dia pulang ke rumah. Ibu mertuanya marah besar karena gara-gara dirinya, Malik kini terancam dipenjara selama tujuh tahun. “Semua ini gara-gara kamu!” Harti mengacungkan jari tepat di wajah Larasati yang memerah. “Gara-gara kamu Malik dipenjara! Dasar perempuan jalang!” Nurmala tiba-tiba melempar tas besar berisi pakaian dan beberapa barang milik Larasati dan membuatnya mendongak dengan tatapan bertanya-tanya. “Kamu harus pergi dari sini. Udah nggak ada tempat buat ipar yang menjebloskan adik suaminya sendiri ke penjara!” Larasati tidak terima dan membela diri bahwa semua itu adalah salah Malik. Malik sendiri yang berbuat jahat dan sekarang menerima hukumannya. Wanita itu juga menolak pergi dan menyinggung soal dana ratusan juta yang dipakai untuk membeli rumah tersebut. Harti mendengkus kesal. “Uang? Kamu pikir kamu berhak atas uang itu sekarang? Setelah tinggal di rumah ini selama hampir tujuh tahun dan membuat Malik dipenjara?!” Larasati mulai berkaca-kaca, tetapi dia masih berusaha untuk kuat dan mempertahankan haknya yang diakui orang lain meski itu adalah keluarga suaminya. Dia tidak akan pergi sebelum mendapat haknya sendiri meski hanya sebagian. “Jangan ngawur! Rumah ini atas namaku sendiri! Kamu nggak ingat kalau rumah ini dibeli atas namaku, Harti Widyastuti, hah?!” Baru setelah itu Larasati benar-benar bungkam. Dia ingat betul jika rumah dua lantai yang memiliki empat kamar tidur itu dibeli atas nama mertuanya, tetapi dulu wanita itu berjanji akan mengembalikan uangnya tanpa mempersulit keadaan. Namun, lihatlah apa yang terjadi sekarang. Larasati kembali ngotot dan bertanya mengapa Harti tega melakukan ini. Setelah tujuh tahun lamanya, dia banyak bekerja keras. Bahkan hingga suaminya minggat pun, sebagian penghasilan tetap masuk ke kantong sang mertua. “Itu sudah kewajibanmu sebagai menantu, Laras! Sekarang kamu pergi. Atau cabut laporanmu di kantor polisi agar Malik bebas!” Larasati tidaklah bodoh. Setelah melihat betapa licik mertua dan ipar-iparnya, dia tidak mungkin termakan akal bulus mereka lagi. Daripada mengharapkan sebagian haknya, lebih baik melihat Malik dipenjara dan membuat Harti menderita bersama Nurmala karena kehilangan sosok anak dan suami. Sebelum angkat kaki dari rumah itu, Larasati memastikan ucapannya bahwa dia tidak akan mencabut laporan dan akan membiarkan Malik mendekam di balik jeruji besi selama mungkin. Hidup Larasati benar-benar sudah tamat. Dia kehilangan rumah, tidak mendapatkan bagiannya sendiri, juga tidak bisa kembali ke rumah Mahesa setelah apa yang terjadi. Dia juga tidak punya harta benda, kecuali beberapa pakaian dan buku tabungan yang disimpan di laci meja kerjanya yang baru. Selama ini wanita yang memiliki tahi lalat kecil di bawah matanya itu memang tidak pernah menyimpan buku tabungan di rumah karena dia tahu keluarga suaminya adalah orang-orang yang licik. Wanita tanpa tujuan itu tiba di depan sebuah gedung. Langkah kaki membawanya ke gedung di mana buku tabungannya berada. Meski tak tahu betul apakah masih ada orang di sana atau tidak, Larasati naik ke lantai empat untuk memastikannya. Danu yang saat itu baru saja mengunci pintu dan berbalik badan terkejut melihat kedatangan larasati membawa tas besar. “Apa yang kamu lakukan di sini malam-malam begini, Bu Larasati?” Larasati tampak ragu, tetapi tidak ada tujuan lain kecuali tempat kursus tersebut. Lantas, dia bertanya apakah dia bisa menginap di ruang staf untuk beberapa hari sampai menemukan tempat tinggal. “Bukankah kamu harusnya ada di rumah Mahesa?” Larasati hanya menggeleng dan tidak menjelaskan keadaan sebenarnya. Danu yang merasa kasihan pun akhirnya membukakan pintu. “Kalau begitu, Bu Larasati bisa tinggal di sini selama beberapa hari ke depan. Saya bisa bantu cari indekos atau apartemen kalau kamu mau,” tawar pria itu, tetapi Larasati sontak menggeleng. “Ya sudah kalau begitu.” Untuk malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin Larasati tidak perlu khawatir, tetapi dia tetap harus sesegera mungkin mencari tempat tinggal baru jika tidak ingin dipandang lebih rendah oleh orang lain seperti rekan-rekan kerjanya. Beberapa waktu berlalu, tetapi Liam masih belum berniat pulang ke rumah Mahesa. Setelah kejadian di mana dirinya tenggelam di kolam renang dan Larasati menjadi satu-satunya orang yang disalahkan, anak itu menunjukkan rasa tidak terimanya dengan kabur ke rumah sang nenek. Liam heran sekali padahal dia sudah mengatakan yang sejujurnya mengapa dia bisa jatuh, tetapi sang ayah tetap tidak percaya dan menyalahkan Larasati yang teledor. Padahal dibandingkan Larasati yang memang memiliki kekurangan, harusnya Viona yang disalahkan. “Ayolah, Kak, jangan lama-lama berantem sama Liam! Aku udah nggak tahan dia tinggal sama Ibu!” Risa mendatangi kantor Mahesa sekitar pukul sebelas siang setelah menjemput dan mengantar Liam pulang ke rumah Mayang. Gadis itu benar-benar tidak suka keponakannya datang, apalagi tinggal serumah dengannya lantaran hal itu membuatnya harus banyak-banyak mengontrol diri agar tidak salah bicara. Liam terlalu banyak mengetahui rahasianya karena anak itu sangat berbeda dari anak-anak pada umumnya, tetapi Risa heran mengapa kakak dan ibunya sama sekali tidak percaya tentang hal itu. “Kamu harus jemput Liam hari ini juga. Titik!” Tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan pada adiknya, Mahesa menjawab, “Tidak. Dia akan pulang dengan sendirinya begitu sadar apa kesalahannya.” “Memang apa kesalahannya?” Risa mengangkat kedua alis. “Karena membela pengasuhnya yang bisu itu? Kak Mahesa yang terhormat, apa kamu bahkan tidak percaya dengan ucapan anakmu sendiri?” Mahesa mengembuskan napas dan meninggalkan komputernya untuk menatap Risa yang mendekat. “Sejak awal dia memang merencanakan sesuatu menggunakan wanita itu–” “Enggak. Liam cuma yakin kalau wanita itulah satu-satunya orang yang dia percaya.” Risa menimpali ucapan kakaknya dan setelah itu dia menatap Mahesa penuh kepastian. “Anakmu itu beneran beda dari anak-anak lain, Kak.” Mahesa terkekeh geli sambil membuang muka sebelum akhirnya kembali menatap Risa. “Jangan itu lagi, Ris.” “Aku bakal jujur tentang sesuatu. Harusnya cuma aku dan Mas Danu yang tahu, tapi apa kamu percaya nggak kalau Liam juga tahu tentang perasaanku pada temanmu itu?” “Apa?” Mahesa tampak tidak percaya, bukan soal Liam, tetapi pengakuan Risa yang menyukai Danu. “Aku tidak salah dengar? Kamu? Suka sama Danu?” “Bukan itu masalahnya! Mas, aku bahkan nggak pernah nunjukkin perasaanku, kecuali sama Mas Danu langsung lewat sms waktu aku masih sekolah dan setelah lulus aku nggak lagi hubungin dia, tapi ….” Risa mengangkat bahu. “Liam yang waktu itu umurnya masih bulanan, kenapa bisa tahu? Liam itu beneran bisa ngerti perasaan orang lain, Mas.” “Oke.” Mahesa menggaruk hidungnya yang mendadak gatal. “Jadi kamu mau aku bawa wanita itu lagi biar Liam pulang, begitu? Bawa wanita yang hampir membunuh anakku sendiri?” “Mas yakin kalau wanita itu jadi satu-satunya orang yang harus disalahin? Yakin? Terus Viona yang jelas-jelas bisa denger itu gunanya apa datang ke rumahmu?” Risa sedikit ngotot karena baginya Mahesa benar-benar menyusahkan. Dia kemudian menghela napas kasar sambil berbalik pergi. “Aku jadi Liam pun nggak bakalan ngasih restu! Aku nggak sudi Liam punya Ibu yang cuma cinta sama kamu doang!” Mahesa kembali mengembuskan napas saat Risa hilang dari pandangannya. Dia menyandarkan punggung, memutar kursi dan menghadap ke arah jendela yang memberinya pemandangan gedung-gedung pencakar langit di ibukota. Pemandangannya luas, tetapi Mahesa tidak dapat menemukan jawaban apa pun. Sekitar pukul empat sore, Mahesa pulang ke rumah dan tidak ada siapa pun di sana. Tidak ada pembantu rumah tangga karena dia mengerjakan sesuatunya sendiri, pun tak ada Liam yang biasa menyambut sambil menagih janji. Pria itu melangkah keluar ke kolam renang, mengingat kejadian tempo hari yang membuat anaknya hampir mati tenggelam. Namun, tiba-tiba saja atensinya teralihkan pada noda kehitaman di lantai dekat kolam renang. Ada beberapa tetes merah kehitaman yang berkumpul di satu tempat, lalu tetes lainnya terlihat di sepanjang jalan menuju ke arahnya. “Ini darah?” gumam Mahesa dengan alis berkerut. “Siapa yang terluka? Liam kah? Atau Viona?” Ingatan Mahesa mengulik kejadian yang telah berlalu dan menemukan bahwa Larasati lah yang berdiri di sana, lalu berjalan keluar setelah dia mengusirnya. Lalu tiba-tiba saja dia memijat kening dan menghela napas panjang. “Mahesa, Mahesa. Kau benar-benar keterlaluan.” Di tempat lain, Liam kini sedang bersenang-senang dengan neneknya yang tidak berhenti khawatir sejak beberapa hari yang lalu. Akan tetapi, wanita berusia enam puluhan tahun itu berangsur tenang saat melihat cucunya bersikap baik-baik saja. “Aduh, cucu Nenek yang malang … kamu pasti takut sekali ….” Mayang membelai pipi Liam penuh kasih sayang. “Gara-gara wanita bisu itu, kamu jadi celaka seperti ini!” “Bukan, Nek! Itu karena aku pusing, makanya jatuh ke kolam!” sangkal Liam tegas. “Lagian, wajar saja kalau Tante Larasati nggak dengar aku minta tolong. Tante Viona yang bisa dengar aja malah tiduran sambil dengerin musik!” Mayang seketika mendelik. “Viona begitu? Dia nggak jaga kamu?” Liam menggeleng kesal. “Aku nggak suka sama Tante Viona karena dia cuma pura-pura sayang sama aku.” “Apa?” Mayang seketika menjadi tegang mendengar ucapan anak kecil yang tidak mungkin berbohong. “Tante Viona nggak sayang sama kamu?” Sekarang wanita itu meremas kedua tangannya, mulai cemas jika memang Viona tidak menyayangi Liam sama sekali dan ucapannya selama ini hanyalah omong kosong belaka. Jika memang demikian, tidak ada alasan lagi bagi Mayang untuk mendukung Mahesa dan Viona. Aku akan mencari tahu sendiri. Jika memang Viona berbohong, aku nggak akan biarkan dia menikahi Mahesa!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN