BAB 9 - Larasati, Wanita Bisu Yang Diinginkan Anakku

1572 Kata
Hari ini Larasati memiliki jadwal mengajar pagi, jadi saat selesai mengajar bahasa isyarat sekitar pukul sebelas, dia langsung izin keluar untuk mencari tempat tinggal baru yang letaknya tidak begitu jauh dari gedung tempat kursus. Wanita itu pikir bakal mendapat tempat baru cukup hanya dengan membayar biaya sewa bulan pertama, tetapi sudah dua tempat Larasati datangi dan keduanya menolak karena dia tidak bisa berbicara dan mendengar. Pemilik gedung terlihat enggan membiarkan Larasati menempati salah satu kamar indekosnya karena takut wanita itu bakal menjadi beban orang-orang lain dan suatu saat nanti terjadi hal-hal tak diinginkan. Aku benar-benar tidak memiliki tujuan, batinnya putus asa. Sekarang dia berada di salah satu toko kelontong dekat pom bensin, mengisi tenaga setelah hampir dua jam berkeliling mencari tempat tinggal. Cuaca panas dan tak satu pun berjalan dengan baik. Ketika Larasati melempar pandangannya ke arah luar, dia melihat sebuah mobil menepi di depan toko. Seseorang yang keluar dari sana membuat kedua matanya terbuka lebar. Liam begitu saja tersenyum lebar sesaat setelah bertemu pandang dengannya. Anak kecil itu melambaikan tangan, kemudian masuk dengan menggandeng seorang wanita baya yang hampir kehilangan warna hitam di rambutnya. Larasati yakin jika Liam datang bersama neneknya, juga Viona yang baru saja keluar meninggalkan sopir seorang diri. Liam segera menghampiri Larasati yang kemudian beranjak berdiri, menerima pelukan hangat anak laki-laki yang entah mengapa selalu bersikap baik padanya. Dia kemudian menyapa Mayang dengan senyuman yang terlihat canggung. Melepaskan pelukannya, Liam berdeham sebentar dan mempersiapkan diri lalu menggerakkan tangan membentuk sebuah isyarat, bertanya mengapa Larasati tidak kembali ke rumahnya. Dia sudah berlatih beberapa hari ini hanya untuk menanyakan hal itu. “Kapan Tante Laras pulang ke rumahku?” Larasati tersenyum kecut. Dia tidak mungkin berkata bahwa Mahesa sudah mengusirnya karena kejadian tempo hari lalu dan dia juga tidak ingin hubungan ayah dan anak itu merenggang. Lantas dia hanya menjawab bahwa pekerjaannya terlalu banyak, tidak ada waktu lagi untuk mengasuh Liam. “Tante bohong!” Liam mendengkus dan melipat kedua tangan di d**a. “Tante pergi pasti gara-gara Papa!” Bersamaan dengan itu, Viona yang hendak masuk tiba-tiba mengurungkan niat karena menerima panggilan mendesak. Dia berbalik arah untuk berbicara dengan ibunya di toilet yang ada di samping toko, tanpa sadar jika Mayang mengikutinya. “Ibu nggak usah khawatir. Aku udah baikan sama anak itu di depan Bu Mayang dan aku juga udah berusaha keras biar terlihat tulus sayang sama dia,” kata Viona. Dia kemudian masuk ke salah satu bilik yang ada. “Semuanya udah baik-baik aja, kok! Bu Mayang juga percaya kalau aku sayang sama anak itu. Nanti kalau udah nikah sama Mas Mahesa, aku bakal pastiin anak itu tinggal sama neneknya.” Mayang membungkam mulutnya tak percaya mendengar ucapan Viona barusan. Dia bergeming di tempat saat perempuan itu terkekeh pelan mendengar sesuatu yang dibicarakan lawan bicaranya. “Siapa juga yang mau ngurus anak kayak dia? Repot. Lagian nantinya juga aku bakal punya anak sama Mas Mahesa, jadi memang seharusnya anak itu nggak tinggal bareng kami.” Tanpa berpikir lama, Mayang angkat kaki dari toilet tersebut. Dia sama sekali tidak berniat membuat Viona menyesal dengan cara memergokinya dan memutuskan hubungan saat ini juga. Sebab dia yakin tak ada gunanya meluapkan amarah pada orang tidak berakal seperti Viona. Memang benar apa kata Risa bahwa siapa yang harusnya Mayang dipercaya adalah cucunya. Saat pertama anak itu bertemu dengan Viona, Liam bilang tidak suka dengan wanita kelima yang dibawa Mahesa. Namun, Mayang bersikeras menerima karena melihat Viona begitu perhatian pada sang cucu. Dia pikir semua ini hanya masalah waktu, bahwa suatu saat nanti Liam akan menerima Viona apa adanya dan menyadari betapa besar rasa sayang wanita itu padanya. Akan tetapi, tidak ada yang benar-benar baik kali ini. “Dia pikir dia siapa mau rebut ayah dari anaknya?!” Mayang menggerutu di sepanjang jalannya kembali ke dalam toko. “Aku nggak akan biarin dia masuk ke keluargaku!” Mayang masuk ke toko dan melihat Liam tertawa senang saat bersama dengan Larasati. Akan tetapi, sekarang bukan waktu yang tepat untuk mereka tetap tinggal di sana karena keberadaan Viona benar-benar membuat tekanan darahnya tinggi. Tak ingin bertahan lebih lama, Mayang segera menggandeng tangan Liam. “Ayo, Sayang, kita pulang sekarang!” “Tapi, Nek! Aku mau ngobrol sama Tante Laras!” Mayang mengalihkan atensinya pada wanita biru yang kini terlihat canggung. Dia pikir Larasati mungkin mengira bahwa dirinya melarang Liam bergaul dengan orang seperti itu. “Kamu boleh ajak dia. Ayo pulang.” Liam tersenyum lebar sebelum akhirnya menarik tangan Larasati yang tidak tahu apa-apa. “Ayo ikut, Tante!” Wanita itu menaikkan kedua alis begitu mengerti ucapan Liam. Larasati lantas menatap Mayang yang mengangguk dan mereka pun akhirnya pergi dari toko kelontong tersebut. Tepat setelah ketiganya masuk ke sedan warna hitam, Viona baru keluar dari toilet dan dia terkejut mobil itu bergerak mundur sementara dirinya masih berada di luar. “Ibu! Tunggu sebentar! Aku masih ada di sini!” teriak Viona sambil berlari menggunakan sepatu hak tingginya. Namun, dia segera berhenti ketika melihat Larasati duduk di kursi depan. “Kenapa dia ada di sana?” Larasati menatap Viona yang kebingungan, seperti dirinya yang ditarik masuk ke mobil untuk ikut dengan Liam dan Mayang. Dia sama sekali tidak tahu mengapa mereka membawanya dan meninggalkan Viona di toko kelontong seperti baru saja membuang wanita itu. Mayang masih belum baik-baik saja selepas mendengar ucapan Viona beberapa saat lalu. Jika saja dia tidak mengikuti perempuan itu, maka sampai saat ini dan entah kapan dia tidak akan pernah tahu. Viona akan menikahi Mahesa, sementara Liam akan dibuang begitu saja. Mayang merasa bersalah karena telah mendukung hubungan mereka berdua. “Liam, kamu beneran nggak suka sama Viona?” tanya Mayang sambil mengelus kepala Liam yang tak berhenti tersenyum. Anak itu mengangguk semangat. “Kalau begitu Nenek nggak akan setuju ayahmu menikah dengannya.” Liam menunjukkan keterkejutannya. “Nenek serius?!” tanyanya memastikan dan dia melihat sang nenek mengangguk. “Kalau begitu apa Tante Laras boleh jadi ibuku?” “Hm?” Mayang tercengang menatap cucunya yang terlihat senang, lalu beralih menatap wanita bisu yang duduk di depan tanpa melakukan apa pun. “Liam, itu nggak mungkin! Bagaimana mungkin kamu mau Ibu yang nggak bisa bicara dan nggak bisa dengar?!” Liam menunduk kecewa tepat setelah itu. “Karena Tante Laras sayang padaku. Tante Laras mungkin nggak suka sama Papa, tapi dia sayang sama aku, Nek.” Mayang tidak melanjutkan obrolan dan hanya menatap ke depan, memandangi bahu Larasati yang bahkan bukan siapa-siapa dan tidak mungkin bisa dibayangkan untuk bisa masuk ke dalam keluarganya sampai kapan pun. Wanita itu bisu dan tidak bisa mendengar, sementara Mayang ingin Liam mendapatkan sosok ibu yang sempurna, yang mau mendengarkan setiap ceritanya, yang mau menanggapi semua kata-katanya. Sementara Larasati, tidak bisa melakukan semua yang diinginkannya. Di tempat lain, Mahesa kini duduk di kantor Danu setelah pulang dari pertemuan di luar. Dia sengaja datang untuk meminta maaf pada Larasati, tetapi sayangnya wanita itu sedang berada di luar untuk mencari tempat tinggal baru. “Beberapa malam ini dia tinggal di sini, kamu tahu tidak?” Danu memastikan seraya mengambil cangkir kopinya. “Mencari tempat tinggal adalah hal sulit untuk mereka yang kurang,” lanjutnya sambil membuat tanda kutip menggunakan jari di akhir kata. “Apa urusannya denganku?” Mahesa membuang muka meski ekspresinya terlihat sedikit merasa bersalah. “Omong-omong, bagaimana caranya meminta maaf di antara kalian?” “Di antara kalian?” Danu tergelak. “Kamu pikir mereka memiliki bahasa sendiri hanya karena tidak bisa berbicara? Tidak begitu. Mereka juga sama seperti kita yang berbicara dan mendengar, melalui mata tentunya.” “Apa bedanya.” Mahesa tersenyum kecil. Danu kemudian menggerakkan tangan seperti mencubit ujung bibirnya. “Itu ungkapan minta maaf.” Mahesa pun mengikuti gerakan tangan Danu yang baginya sangat mudah. “Cuma seperti ini?” “Ya.” Danu mengangguk sekali lalu menyilangkan kaki. “Mudah, bukan? Mudah sekali, tapi sulit untuk dilakukan. Meminta maaf memang seperti itu.” Apa yang Danu katakan memang benar. Ada beberapa kata yang sulit diucapkan, seperti meminta tolong, minta maaf dan terima kasih. Mahesa mengakuinya karena dia sendiri sesekali enggan mengucapkan tiga hal tersebut, apalagi meminta maaf atas sikap arogannya yang keterlaluan. Setelah berada di kantor Danu hampir satu jam lamanya dan menunggu Larasati yang ternyata belum juga kembali, Mahesa memutuskan untuk pergi padahal dia sudah berniat meminta maaf dan mengajak wanita itu kembali agar Liam mau pulang. Dia langsung bergegas ke rumah sang ibu untuk menjemput Liam dan mengubah rencana, yaitu menemui Larasati bersama-sama agar wanita itu menerima saat melihat Liam yang memohon dengan sangat. Namun, betapa terkejutnya Mahesa melihat tamu di rumah Mayang kali ini. Larasati berhenti tertawa ketika Liam tiba-tiba merengut dan membuang muka ke arah samping. Dia segera mendongak dan bertemu pandang dengan Mahesa yang berdiri di dekat sofa dan gerak-geriknya terlihat canggung. Sama seperti Mahesa, Larasati pun mendadak canggung dan tidak nyaman karena dengan berani dia berada di sisi Liam setelah pria itu mengusirnya tempo hari lalu. Akan tetapi, kedua matanya terbelalak tak percaya saat tiba-tiba duda satu anak tersebut meminta maaf menggunakan bahasa isyarat. Apa benar seperti ini gerakannya? Apa dia mengerti kalau aku sedang minta maaf? Liam yang mendengar isi hati Mahesa pun perlahan luluh. Ekspresinya menjadi lembut dan dia menatap sang ayah yang sedikit canggung. Namun, beberapa detik setelah itu dia tersenyum lebar, melanjutkan pekerjaan rumah yang tinggal beberapa lagi. Larasati membalas Mahesa menggunakan bahasa isyarat dan sayangnya pria itu tidak tahu apa artinya. “Dia memaafkan aku atau tidak? Apa arti gerakan tangannya yang terlihat seperti telepon berdering itu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN