“Ibu nggak setuju kamu nikah sama Viona. Segera putusin perempuan nggak tahu diri itu!”
Mahesa terkejut mendengar ucapan Mayang tepat setelah wanita itu membawanya masuk ke kamar. Terlebih lagi, sang ibu memintanya untuk segera mengakhiri hubungan dengan Viona padahal selama ini dukungan penuh telah diberikan.
“Kenapa Ibu tiba-tiba begini?” Mahesa melangkah dan berdiri di hadapan sang ibu. “Bukankah Ibu sudah setuju kalau aku nikah sama Viona? Liam sudah setuju asalkan aku jadikan Larasati jadi pengasuhnya dan sebentar lagi aku berhasil, Bu!”
“Pokoknya enggak!” Mayang bersikeras dengan tangan melipat. “Ibu nggak rela kamu nikah sama perempuan seperti itu.”
“Seperti itu? Seperti itu bagaimana maksud Ibu?” Mahesa menuntut penjelasan karena dia benar-benar tidak percaya melihat sang ibu tiba-tiba menarik restu.
Mayang menghela napas dan melepas lipatan tangannya lalu tiba-tiba saja ekspresinya berubah menjadi sedih mengingat apa yang Viona ucapkan tempo hari. “Ibu nggak mau perempuan seperti itu jadi istrimu, Mahes. Dia sudah berencana menyuruh Liam tinggal sama Ibu kalau kalian menikah.”
“Apa?” Mahesa tercengang. Dia tak ingin percaya, tetapi melihat ibunya menarik kacamata hanya untuk mengusap air mata membuatnya tak percaya diri. “Ibu dengar dari siapa soal itu? Ibu sendiri sudah kenal Viona orang yang seperti apa!”
“Ibu menyesal karena baru tahu, Mahes. Dia nggak akan jadi Ibu yang baik buat Liam karena belum apa-apa aja udah punya niat buruk begitu.” Mayang tiba-tiba memegang tangan Mahesa dan menatapnya penuh dengan permohonan. “Urungkan niatmu kalau kamu memang sayang sama Liam, Mahes. Wanita bukan cuma Viona di dunia ini. Ibu yakin kamu bisa dapat yang lebih baik, termasuk menerima anakmu juga.”
Mahesa tak bisa membantah Mayang, tetapi dia juga tidak bisa begitu saja mengakhiri hubungannya dengan Viona hanya karena ucapan yang belum benar-benar dibuktikan sendiri. Dia akan tetap bertahan dan selama itu pula dia akan melihat apakah memang harus dirinya mundur untuk yang kelima kalinya.
“Baiklah, Bu, tapi aku tidak bisa putus begitu saja. Aku benar-benar harus melihatnya secara langsung biar aku yakin.”
“Ya, begitu lebih baik. Ibu harap kamu melihat apa yang Ibu dan Liam lihat.”
Keduanya kembali ke ruang tamu dan berkumpul dengan Liam yang baru saja selesai mengerjakan pekerjaan rumah. Melihat sang ayah keluar dari kamar bersama neneknya, anak itu langsung beraksi.
“Aku nggak mau pulang kalau Tante Laras nggak ikut!”
Mahesa hanya menghela napas dan geleng-geleng kepala melihat tingkah laku anak tunggalnya yang luar biasa. Dia kemudian melangkah pergi tanpa membuat keributan. “Papa juga tidak akan membawamu pulang. Kamu bisa tinggal sama nenekmu selamanya kalau mau.”
Kini giliran Liam yang tercengang. “Kenapa Papa jadi begitu?” hardiknya sambil mengejar sang ayah ke arah depan. “Papa udah nggak sayang sama aku? Papa lebih milih Tante Viona daripada aku?!”
Mahesa menghentikan langkah lalu berbalik menatap Liam yang menahan tangis. “Siapa bilang begitu? Kamu udah dapetin Tante Laras, kamu juga bisa tinggal sama nenekmu. Bukannya itu sama aja? Yang penting kan wanita itu sudah kembali padamu.”
Bibir Liam mulai bergetar dan kaca-kaca bening di matanya mulai meleleh. Lalu beberapa saat setelah itu tangisannya pecah. Dia terduduk di lantai dan menangis keras melihat sang ayah benar-benar membuangnya.
“Papa jahat! Papa jahat!”
“Mahesa! Udah cukup! Jangan bikin anakmu nangis!” Mayang membentak dan menghampiri Liam yang tampak kecewa lalu membawa anak itu ke dalam gendongannya. “Cup, cup, cucu Nenek tersayang. Biar nanti Nenek yang pukulin ayahmu, oke?”
Liam menggeleng di sela-sela tangisannya. Dia benci sang ayah, tapi tak ingin melihat neneknya memukuli Mahesa demi kepuasannya sendiri. “Jangan, Nek … dia papaku ….”
Mayang tergelak keras, juga Mahesa yang geleng-geleng kepala melihat bagaimana Liam tidak bisa menyembunyikan perasaan. Larasati yang melihat kedua orang itu tertawa hanya tersenyum lega meski dia tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Tepat setelah itu, Risa pulang dengan pakaiannya yang membuat Mayang menghela napas panjang. Rok jeans ketat sepaha, juga atasan yang memperlihatkan bagian kecil perutnya. Rambut yang sebelumnya pirang kini berwarna biru di bagian dalam, sementara bagian luarnya warna hitam.
Liam segera menutup mata menggunakan telapak tangan, sengaja membuat Risa tersinggung. “Pakaian Tante Risa nggak sopan …!”
“Risa! Kamu ini perempuan macam apa, hah? Kamu ini tinggal di negara yang mayoritas menjunjung adab! Pakaianmu itu kayak wanita malam, tahu?!”
Bukannya menanggapi protes Mayang, Risa justru menyapa Larasati menggunakan bahasa isyarat. Gadis itu memang sudah belajar bahasa isyarat demi mendapatkan hati pujaannya, tetapi sampai sekarang pria itu bahkan belum membuka hati.
Larasati agak terkejut melihat Risa yang menginginkannya untuk kembali pada Liam agar anak itu mau pergi dari rumah Mayang. Akan tetapi, dia tahu betul jika adik Mahesa tersebut tidak benar-benar membenci Liam.
“Ayo, Liam, kita pulang sekarang. Tantemu tidak suka kamu di sini.” Mahesa menghampiri Mayang untuk mengambil Liam yang ada di gendongan wanita itu.
“Tante Laras harus ikut.”
“Iya, oke!”
Liam tersenyum lebar dan berpindah pada gendongan Mahesa, lalu mengajak Larasati pergi dengan gerakan tangan.
Larasati yang melihatnya pun terdiam dan menatap Mahesa, memastikan apakah dirinya bisa pulang ke rumah pria itu sebab jika disetujui, maka dia tidak bersusah payah lagi mencari tempat tinggal yang mungkin tidak ada bagi orang cacat sepertinya.
Mahesa mengangguk dan itu membuat Larasati senang bukan main. Dia kemudian berpamitan dengan Mayang dan Risa, lalu mengikuti Mahesa dan Liam yang telah lebih dulu pergi.
Tanpa mereka ketahui, Mayang menatap ketiganya dengan perasaan cemas. Larasati mungkin memang baik pada Liam dan menyayangi anak itu dengan tulus, tetapi sebaik apa pun Larasati, dia tidak ingin mendapat menantu yang tidak bisa bicara dan mendengar.
“Ibu kenapa?” tanya Risa yang baru sadar saat melihat ibunya yang melamun menatap kepergian ketiga orang tersebut.
“Nggak papa,” balasnya. Mayang lalu mendelik pada Risa yang sontak berlari ke lantai atas. “Ganti bajumu! Awas kalau kamu masih pakai baju-baju murahan begitu!”
“Ibu, ini barang branded! Bisa-bisanya dibilang murahan?!”
Hari-hari di rumah Mayang semenjak Risa pulang dari luar negeri memang selalu seperti itu. Seorang ibu yang tak henti-hentinya berteriak karena gaya busana sang anak yang terlihat murahan dan tidak sopan, tidak terlihat seperti perempuan berpendidikan.
Mayang penasaran apakah ada yang bisa menerima Risa apa adanya termasuk sikap buruknya itu. Dia makin cemas jika penampilan Risa membuat laki-laki enggan mendekat karena terlalu mengumbar tubuh.
Keesokan paginya saat Mahesa bangun untuk menyiapkan sarapan pagi seperti biasa, dia terkejut melihat makanan di atas meja yang sudah tersaji dengan rapi. Uap dari suhu panas masih mengepul, menguarkan aroma masakan rumahan yang sudah lama tidak dia dapati dalam rumah tersebut.
Saat Mahesa tengah menikmati waktu-waktu yang damai itu, Larasati muncul dari area dapur membawa satu wadah berisi sup ayam. Wanita itu segera berhenti ketika melihat ayah Liam, lalu kembali melanjutkan langkah dan meletakkan wadah tersebut di atas meja. Setelah itu dia merogoh kantong celemek, mengeluarkan ponsel dari sana dan menuliskan sesuatu untuk Mahesa.
“Terima kasih Bapak sudah mengizinkan saya tinggal di rumah Bapak. Saya akan memasak pagi dan sore, atau ketika saya tidak ada jadwal mengajar.”
“Lakukan saja apa maumu, yang penting prioritasmu adalah Liam.”
Larasati mengangguk mengerti. Meski dia tidak memahami seluruh ucapan Mahesa, tetapi dia tahu jika prioritas utamanya adalah Liam. Dia kemudian mengungkapkan rasa terima kasihnya menggunakan bahasa isyarat.
Siang harinya setelah menyelesaikan kelas, Larasati mendatangi Danu di kantornya karena dia pikir pria itu pasti memiliki beberapa hal yang diinginkannya. Selama ini dia tinggal di rumah sang mertua adalah demi mempertahankan haknya sendiri meski telah lama sejak suaminya menghilang entah ke mana.
Sekarang setelah Harti dan Nurmala mengusirnya seperti tanpa martabat, Larasati memutuskan untuk bercerai secara resmi dan merancang hidup baru dengan bekerja menjadi guru les bahasa isyarat dan juga pengasuh seorang anak bernama Liam yang lucunya tidak bisa menggunakan bahasa isyarat, tetapi mengerti semua maksudnya.
“Kamu ingin dikenalkan dengan pengacara yang berpengalaman pada kasus perceraian?”
Larasati mengangguk saat Danu bertanya. Dia kemudian menjelaskan masalahnya, mulai dari pernikahan bahagia tujuh tahun lalu, kemudian perubahan suaminya yang menjadi suka berjudi, hingga berbulan-bulan lamanya pergi tanpa kabar. Dia juga memberitahu Danu tentang alasannya bertahan di rumah itu adalah karena sebagaian harta atas nama Harti Widyastuti juga miliknya.
“Aku punya beberapa kenalan, tapi aku tidak yakin apakah mereka bisa membantumu merebut hak-mu itu.”
Larasati menggeleng. Dia tidak peduli dengan bagiannya karena yang diinginkannya sekarang adalah surat cerai resmi yang harusnya diproses sejak bertahun-tahun lalu. Semua itu karena dia masih berat meninggalkan bagian 150 juta yang berharga.
“Kalau begitu, akan aku atur jadwal untukmu besok. Tapi sepertinya aku tidak bisa menemanimu karena ada pekerjaan lain yang harus diurus.”
Wanita itu mengangguk mengerti. Larasati sangat berterima kasih pada Danu karena atas bantuannya, dia bisa mengurus perceraian dengan seorang ahli. Masalah penerjemah yang bisa menyuarakan masalahnya, dia sudah memikirkan seseorang yang tepat.
“Aku? Kamu ingin aku ikut ke pertemuanmu dengan pengacara dan menjadi penerjemah?”
Larasati mengangguk. Dia memohon dengan sangat pada Risa yang berdiri di ambang pintu gerbang dengan penampilannya yang sederhana. Agar gadis itu setuju, dia juga mengatakan alasan kenapa harus mengambil keputusan tersebut, bahwa suaminya telah kabur berbulan-bulan lamanya.
“Kenapa juga kamu menikahi laki-laki nggak bertanggung jawab seperti itu?!” Risa kesal sendiri melihat perempuan bodoh seperti Larasati yang buta karena cinta, tetapi jawaban wanita itu membuatnya tercengang.
Larasati bilang bahwa dulu sang suami menerima apa adanya yang ada pada dirinya. Ketidaksempurnaan yang dia miliki tidak dijadikan hambatan apa pun.
“Ah, sial,” gumam gadis itu sambil menyugar rambut ke belakang. “Kalau begitu tunggu sebentar. Aku siap-siap dulu.”
Selagi Risa kembali ke dalam untuk bersiap-siap, Larasati menunggu di depan rumah selama hampir setengah jam, kemudian bergegas bertemu seorang pengacara di daerah perkantoran di pusat kota dan menyampaikan permasalahannya.
Bagaimana pun, Larasati tetap akan bercerai. Tidak akan ada meditasi dan lain sebagainya sebab sang suami tak ada kabar selama ini, mertua juga iparnya pun sudah mengusirnya dari rumah karena kasus Malik beberapa waktu lalu.
Setelah hampir satu jam berkonsultasi, Larasati akhirnya menemukan jalan yang terang. Dia sangat berterima kasih pada Risa yang mau membantunya meski tanpa bayaran, tetapi rupanya gadis itu menginginkan hal lain sebagai ganti dari pertolongannya kali ini.
Risa menggenggam kedua tangan Larasati dengan tatapan memohon, berharap pengasuh keponakannya itu mau membantunya agar bisa bertemu dengan Danu. Tidak. Sesungguhnya Larasati harus mau membantunya jika memang wanita itu sungguh-sungguh berterima kasih.
“Tolong buat Mas Danu mau makan malam berdua denganku, hehehe.”