BAB 11 - Larasati, Wanita Bisu Yang Diinginkan Anakku

1587 Kata
Hari ini adalah hari persidangan pertama Malik atas tuduhan pelecehan seksual terhadap Larasati. Dia beserta pengacara yang katanya merupakan pengacara terbaik hadir dan bersiap membela diri, sementara Larasati sendiri duduk bersama Mahesa dan Danu, serta Mirna yang diminta sebagai saksi karena wanita itu sering melihat Malik datang ke sekolahan hanya untuk membuat salah satu guru kesayangannya kerepotan. “Hadirin dimohon berdiri.” Hakim yang menjadi Tuhan persidangan kali ini melangkah masuk dan duduk di kursinya. Orang-orang yang hadir serentak berdiri dan memberi hormat, kemudian kembali duduk saat hakim berusia lima puluhan tahun tersebut meminta mereka duduk. Dengan begitu, persidangan dimulai. Jaksa penuntut mulai melempar pertanyaan-pertanyaan pada Malik demi mendapat jawaban yang bisa dijadikan serangan. Pengacara yang disewa Harti juga mempertanyakan kesaksian Mirna dan mencoba memutar balik keadaan, tetapi bukti-bukti yang diserahkan ke pengadilan jelas membuktikan bahwa Malik sepenuhnya bersalah. Mahesa dan Danu bahkan mengajukan diri sebagai saksi bahwa mereka adalah seseorang yang melihat kejadian itu secara langsung dan kesaksian mereka divalidasi langsung oleh pihak kehakiman. “Maka dengan demikian, berdasarkan UUD pasal dua delapan lima KUHP, terdakwa, Malik Amran, dijatuhi hukuman selama-lamanya tujuh tahun penjara.” Palu diketuk tiga kali. Malik menjatuhkan kepalanya di atas meja, sementara Harti dan Nurmala menangis dengan amarah yang tinggi. Mahesa mengepalkan tangan dan menunjukkan kepuasannya pada hukum yang berjalan dengan baik, sementara Danu sedang memberitahu Larasati hukuman apa yang telah ditetapkan pada adik iparnya. Wanita itu menitikkan air mata menerima keadilan yang dia tunggu-tunggu sejak dulu, akhirnya datang dan membuatnya sangat lega. Larasati segera memeluk Mirna yang turut berbahagia. Sekarang tidak ada lagi Malik yang bakal mengancamnya, atau Malik yang tiba-tiba datang dan melakukan sesuatu yang tidak manusiawi. Semua ini berkat Mahesa dan Danu yang sudah membantunya sampai sejauh ini. Larasati melepas pelukan Mirna dan menatap kedua pria itu bergantian, lalu mengungkapkan rasa terima kasih yang tak terhingga sampai-sampai air matanya jatuh begitu saja tanpa bisa dibendung. Danu membalasnya dengan hati terbuka dan menjelaskan bahwa hal itu memang seharusnya terjadi. Kejahatan macam apa pun harus dihentikan dan pelaku harus mendapat hukuman yang setimpal agar ada efek jera. Mahesa yang tidak tahu apa yang sedang kedua orang itu bicarakan hanya diam dan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia merasa berada di tengah-tengah sekumpulan orang dan hanya dirinya yang berbeda. Larasati juga pasti selalu merasa demikian saat berdiri di tengah-tengah kerumunan, pikirnya. Tanpa mereka sadar, Harti yang tidak terima hukuman tujuh tahun yang diterima anaknya segera menghampiri Larasati. Langkahnya penuh dengan amarah menggebu-gebu dan kepalan tangannya bahkan bisa menghancurkan sebuah batu. Lalu saat tiba di dekat Larasati, dia melayangkan tangan dan menampar wanita itu dengan keras. Larasati hampir terjatuh jika Mirna tidak memegang tangannya. “Astaga!” “Apa-apaan ini?!” Danu yang berdiri tepat di depan Larasati terkejut bukan main. Lalu saat Harti hendak menampar pipi Larasati lagi, Mahesa datang dan menahan tangan wanita itu dengan kuat. “Lepaskan tangan saya!” gertak wanita itu dengan mata melotot. “Lepaskan tangan saya!” “Anda tidak tahu kalau ini termasuk tindak kekerasan?” Mahesa bertanya sopan. “Saya bisa menuntut Anda kalau Larasati bersedia.” Dengkusan keras keluar dari hidung Harti. Bibirnya sedikit mencibir saat menatap menantinya yang menunduk sambil memegangi pipi, kemudian dia menepis tangan Mahesa dan pergi dari tempat persidangan tersebut bersama Nurmala. Mirna bertanya keadaan Larasati, tetapi wanita itu terlihat baik-baik saja dengan mengangguk dan melempar senyum pada orang-orang meski mereka tahu itu hanya senyum palsu. Larasati merasa terhina dan dia malu karena diperlakukan dengan kasar di depan orang-orang. Meski demikian, dia pikir ini adalah kali terakhir dirinya menerima penghinaan dari Harti dan juga Nurmala. Semua sudah berakhir, kini tinggal dirinya yang membuka lembaran baru tanpa mereka yang bersikap jahat. Proses perceraian pun tidak begitu rumit meski pihak Anton, pria yang sebentar lagi menjadi mantan suami Larasati, tidak meneken tanda tangan perceraian. Karena riwayat pria itu terbilang buruk, suka berjudi dan mabuk-mabukan, juga pergi tanpa kabar berbulan-bulan lamanya, perceraian akan diresmikan saat surat cerai siap. Wanita itu kini berada di mobil bersama Mahesa, menatap ke arah samping pada hal-hal tan menentu sambil membayangkan masa-masa yang akhirnya datang padanya. Hidup damai tanpa adanya orang-orang yang memberi banyak tekanan. Akan tetapi, Larasati juga merasa hampa sekarang entah karena apa. “Kamu baik-baik saja?” tanya Mahesa tanpa mengalihkan pandangan dari depan, tetapi beberapa saat berlalu, tidak ada jawaban apa pun yang diterimanya. “Aku tanya apa kamu baik-baik ….” Pria itu menelan pertanyaan saat menoleh ke samping, menatap Larasati yang membuang muka ke arah kiri dan detik itu juga Mahesa sadar akan sesuatu. “Apa yang kulakukan? Dia jelas tidak mendengarnya.” Ada orang lain di dalam mobil tersebut, tetapi Mahesa merasa hanya ada dirinya seorang di sana. Dia tidak bisa berbicara atau mendengar apa pun dari Larasati. Begitu pun sebaliknya. Lantas, dipercepatnya laju mobil agar segera tiba di rumah dan keluar dari situasi tidak nyaman tersebut. Setibanya di rumah, Mahesa langsung bergerak naik ke lantai atas, tetapi tiba-tiba saja dia mendengar suara ketukan yang berasal dari pagar tangga. Dan ketika dia menoleh, Larasati sudah menyusulnya bersama dengan ponsel yang berisi pesan. “Terima kasih banyak karena sudah membantu saya.” Begitu kata Larasati melalui pesan singkat di ponselnya. Dia kemudian menghapus pesan tersebut setelah melihat Mahesa mengangguk, lalu menuliskan sesuatu yang lain lagi. “Apa Bapak ingin sesuatu? Jam makan malam sebentar lagi tiba, jadi biar saya masak sekalian. Sepertinya Liam ingin sup ayam lagi.” Mahesa berpikir sejenak. Melihat Larasati yang tampak kelelahan membuatnya ragu meminta wanita itu memasak sesuatu yang rumit. Persidangan sengit dan juga tamparan Harti sudah jelas membuat Larasati lelah dan jika Mahesa tidak peduli, dia pasti bukan manusia. Lantas dirogohnya kantong celana untuk mengambil telepon genggam yang tersimpan di dalamnya. Lalu setelah itu Mahesa mengetik sesuatu, agak lama dan beberapa kali menghapusnya lantaran tidak yakin dengan ucapannya sendiri. Akan tetapi, beberapa saat setelahnya, dia menunjukkan pesan tersebut pada Larasati. “Tidak perlu. Kamu bisa istirahat. Nanti aku pergi keluar sama Liam. Kamu butuh sesuatu?” Larasati menggeleng lalu membungkuk sedikit sebelum pergi dari hadapan Mahesa. Wanita itu menuju ke kamarnya yang ada di lantai bawah, lalu istirahat sampai malam. Dia merasa tubuhnya sangat lelah, tidak ada tenaga yang tersisa sampai-sampai untuk tiba di kamarnya pun butuh waktu yang lama. Mahesa baru melanjutkan langkah tepat setelah Larasati masuk ke kamar. Dia juga harus istirahat sebentar karena sore ini dia harus menjemput Liam yang sedang les piano di luar, lalu makan malam di restoran. Sekitar pukul delapan malam, Mahesa dan Liam tiba di rumah. Setelah menjemput sang anak menjelang petang, mereka langsung pergi ke rumah makan dan mengisi perut di sana. Awalnya Liam tidak terima mengapa Larasati tidak diajak, tetapi ketika melihat kejujuran sang ayah bahwa wanita itu kelelahan, dia diam begitu saja. “Aku mau pergi ke kamar Tante Laras dulu!” pekik Liam sesaat setelah masuk ke rumah tanpa melepas sepatunya. “Jangan ganggu kalau dia masih tidur, Liam! Mengerti?!” “Iya!” Liam menjawab sambil memutar knop pintu, lalu masuk ke kamar Larasati setelah berkata, “Permisi, Tante Laras … aku masuk, ya ….” Liam pikir Larasati sudah terbangun, tetapi ternyata wanita itu masih meringkuk di atas ranjang dengan suasana gelap menyelimuti kamar tersebut. Dia mencoba menggapai saklar lampu, tetapi rupanya tinggi badannya masih belum cukup untuk menyentuh bagian ujungnya. Lantas dia menyembulkan kepala dan meminta Mahesa datang. “Ada apa? Kamu mau ganggu dia?” “Ih, bukan! Papa tolong nyalain lampunya! Aku nggak bisa. Kamar Tante Laras masih gelap banget!” Mahesa sontak terperanjat. Ini sudah lima jam lamanya sejak wanita itu masuk ke kamar dan sampai sekarang lampu kamar Larasati belum juga menyala. Lantas, Mahesa segera masuk dan menyalakan lampu, lalu melihat pergerakan pada Larasati yang terganggu dengan sinar lampu kamarnya. Wanita itu melenguh pelan dan membuka mata, lalu beranjak duduk dan menyalakan ponsel untuk melihat jam berapa sekarang ini. Begitu melihat angka delapan di layar, dia terperanjat dan bergegas turun. Namun, gerakannya berhenti saat mendapati Mahesa dan Lian berdiri di dekat pintu. Liam tersenyum penuh arti saat menatap Mahesa yang berekspresi khawatir, lalu menggenggam tangan sang ayah dan berkata, “Papa tenang aja. Tante Laras baik-baik aja, kok! Dia cuma kecapekan!” “Memangnya Papa ngomong sesuatu?”Mahesa menghela napas dan merasa canggung pada anaknya sendiri. Dia tiba-tiba percaya jika Liam benar-benar bisa mendengar isi hati orang lain. “Kamu benar-benar bisa begitu? Papa tidak percaya.” Liam mendengkus dan melepas genggaman tangannya lalu berlari menghampiri Larasati yang sedang merapikan rambutnya. “Tante udah makan? Papa bawa pulang makan malam buat Tante, loh!” Larasati mengulas senyum dan berterima kasih pada Liam. Dia tahu jika bukan karena anak itu, Mahesa mungkin tidak acuh padanya. Namun, tiba-tiba saja Liam menyangkal pikiran Larasati. “Itu beneran kemauan Papa, Tante! Papa itu khawatir sama Tante.” Liam mengerucutkan bibir, agak kecewa karena Larasati memandang Mahesa sebagai seseorang yang tidak pedulian meski kenyataannya memang sedikit seperti itu. Akan tetapi, jika dia membiarkan Larasati berada pada pikirannya sendiri, agak sulit menjadikan wanita itu sebagai ibunya. Aku harus melakukan sesuatu! Anak itu mengangguk mantap meski tak tahu apa yang harus dilakukan. Liam tidak mungkin meminta bantuan pada Mayang karena dia sendiri tahu sang nenek tidak akan menerima Larasati begitu saja. Satu-satunya jalan adalah dengan meracuni kedua belah pihak, Larasati dan Mahesa, menggunakan trik-trik licik sekalipun. Lalu tiba-tiba saja Liam mendapat ide luar biasa yang mungkin bisa menyatukan sang ayah dengan wanita baik hati tersebut. “Tante.” Liam memegang tangan Larasati dan wanita itu menoleh sambil mengangkat kedua alis. “Papa suka sama Tante, tapi Papa nggak berani jujur.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN