Larasati menyajikan menu terakhir di atas meja, lalu duduk di sisi kanan, berhadapan dengan Liam yang sejak tadi tersenyum-senyum melihat pengasuhnya yang salah tingkah sendiri sambil sesekali mencuri pandang pada Mahesa yang kini mulai menikmati sarapan paginya.
Dia suka padaku?
Mahesa tiba-tiba menatap Larasati dan membuat wanita itu menunduk, lalu mengambil makanan dengan gugup. Pria itu bertanya-tanya mengapa Larasati bertingkah aneh akhir-akhir ini, tetapi dia mencoba untuk tidak peduli.
“Liam, makan yang banyak. Makanannya enak,” ucap Mahesa seraya mendorong telur dadar ke arah sang anak.
“Iya, ‘kan? Kapan lagi kita bisa makan enak setiap hari begini, Pa?” Liam terkekeh-kekeh setelahnya.
“Benar. Ternyata tidak rugi juga menuruti kemauanmu biar dia tinggal di sini.” Mahesa tersenyum kecil dan melempar pandangan pada Larasati yang kebetulan sedang menatapnya juga.
Wanita itu merasa ada yang aneh dengan dirinya. Larasati pikir ada masalah pada jantungnya sebab tiba-tiba saja berdetak dengan cepat sampai-sampai membuat suhu tubuhnya meningkat drastis dan berakhir pada wajahnya yang kini merona.
Mahesa berhenti tersenyum saat melihat wajah Larasati perlahan-lahan memerah. “Kamu sakit?” tanyanya sambil mengangkat tangan kanan.
Larasati pikir Mahesa hendak menyentuh keningnya hingga dia bergerak cepat menjauh, lalu berdiri dan pergi dari ruang makan detik itu juga.
“Kenapa dengan dia?” Mahesa mengernyit heran dan menggaruk pelipisnya yang terasa gatal beberapa detik lalu. “Serius, ada yang tidak beres dengan wanita itu.”
Di dalam kamar, Larasati bersandar pada pintu seraya merasakan debaran jantung yang tidak terkendali. Dia tidak tahu apakah harus percaya pada Liam, tetapi karena Liam adalah anak kecil, maka dia percaya begitu saja.
Anak-anak tidak pernah berbohong. Larasati yakin begitu, kecuali Dion yang membuatnya harus mengundurkan diri dari sekolah atas tuduhan pelecehan.
Aku harus bagaimana?
Larasati menekan pikirannya kuat-kuat, mencoba untuk tidak begitu terpengaruh karena perceraiannya belum sepenuhnya selesai. Dia tidak boleh jatuh cinta secepat itu pada pria yang menolongnya, yang menampungnya di rumah besar seperti itu.
Tiba-tiba terasa getaran di daun pintu yang membuat Larasati terlonjak kaget. Dia segera membuka pintu dan mendapati Liam berdiri di depannya.
Liam mengetuk pergelangan tangan. “Ayo berangkat, Tante.”
Larasati mengangguk, kemudian mengambil tas dan ponselnya di atas meja, lalu melangkah keluar dengan Liam dan menyusul Mahesa yang sudah siap bersama sedan hitamnya yang telah menyala.
Mahesa pikir Liam akan duduk di depan, tetapi ternyata anak itu membuka pintu belakang sementara Larasati mau tak mau harus duduk di depan. Dia tidak mungkin berada di sebelah Liam dan membuat Mahesa seperti seorang sopir pribadi.
“Papa, Tante Laras kalau rambutnya diikat kelihatan cantik, ya?”
Mahesa menatap Liam melalui kaca spion, lalu menoleh ke kiri dan memperhatikan Larasati sebentar. “Biasa saja,” jawabnya.
“Orang cantik begitu, kok!”
“Terserah kamu saja, Liam. Jangan ganggu Papa lagi.”
Sekitar setengah jam kemudian mereka tiba di tempat les bahasa isyarat. Larasati melangkah turun lalu mobil itu kembali melaju. Dia bergeming di tempat sambil melihat sedan tersebut pergi sebelum akhirnya disadarkan oleh Danu yang datang menggunakan taksi lantaran mobilnya sedang ada di bengkel.
Larasati menyapa dengan ramah, lalu bergegas masuk ke gedung bersama Danu. Namun, baru beberapa langkah maju, dia ingat sesuatu yang akhirnya membuatnya berhenti dan meminta perhatian pria yang telah mendapatkan gelar profesor tersebut.
Wanita itu hendak bertanya apakah Danu ada waktu luang karena dia ingin berterima kasih atas bantuan tempo hari yang lalu.
Pria itu mengangguk dan bertanya, “Itu artinya Mahesa juga ikut?”
Larasati mengangguk terpaksa. Jika dia berkata bahwa hanya akan ada Risa seorang, bisa jadi pria itu menolak lalu Risa pasti kesal bukan main.
“Baiklah, sepertinya lusa aku punya waktu.”
Dua hari berlalu, Risa tak sabar bertemu dengan Danu dan makan malam berdua. Sejak Larasati mengabarinya saat itu, dia tak bisa tidur nyenyak dan menghabiskan waktu untuk berbelanja, datang mengunjungi tempat spa, atau ke salon kecantikan agar wajahnya bebas dari jerawat.
Setelah penantian panjang itu, malam akhirnya tiba. Risa memakai gaun selutut warna hitam, mempunyai lengan pendek dan lebar, juga kerutan di bagian tengah d**a yang lebih menonjolkan gaya pakaian tersebut.
Ketika Danu tiba di restoran sekitar pukul delapan lebih dan melihat Risa yang tengah memoleskan lipstik tanpa ada Larasati atau Mahesa di sana, helaan napas meluncur keluar begitu sadar jika ini adalah makan malam romantis, bukan seperti yang Larasati janjikan. Meski demikian, dia tetap melangkah menghampiri gadis yang telah melempar senyum padanya.
“Kamu udah dateng, Mas?” tanya Risa girang. Ekspresinya jelas terlihat senang.
“Hah, Risa … kapan kamu bisa berhenti?” Danu terlihat kesal saat duduk di hadapan Risa.
“Soal itu aku juga nggak tahu, Mas. Mungkin sampai kamu mau terima aku?” Risa tersenyum lebar, menunjukkan tekad yang masih kuat dan tak mungkin berhenti sampai dia mencapai tujuannya. “Tapi jangan salahin Larasati, ya, Mas. Dia terpaksa.”
“Kamu yang memaksa?”
Risa mengangguk, kemudian menyelipkan anak rambutnya di telinga. “Karena Mas Danu udah terlanjur datang dan aku juga udah pesan makanan, jadi jangan pergi dulu, ya? Biar nggak mubazir. Kita nggak boleh sia-siakan makanan karena banyak orang di luar sana yang nggak bisa makan!”
Danu berdecak, tetapi dia tidak benar-benar kesal pada Risa yang masih saja mengejar dirinya sejak beberapa tahun lalu. Dia tahu jika gadis itu cantik dan berpendidikan, dia juga tahu perasaan Risa padanya tidak main-main. Akan tetapi, dia merasa tidak bisa menerima, atau mencoba membuka hati untuk adik Mahesa tersebut.
Raut wajah Risa tiba-tiba terlihat kesal ketika merasakan sesuatu yang datang secara alami. Di saat seperti ini saat dirinya sedang berduaan dengan Danu, bisa-bisanya ada panggilan alam yang tak bisa ditunda, pikirnya.
“Mas, jangan pergi ke mana-mana pokoknya. Jangan pergi. Oke?” Gadis itu meminta sambil beranjak bangun daripada terkencing-kencing di depan pujaan hatinya. “Aku mau ke toilet sebentar.
Danu tidak merespon, tetapi dia bukan laki-laki kejam yang bakal pergi saat Risa pergi ke toilet.
Gadis itu melangkah pergi, tetapi karena terburu-buru tumit sepatu hak tingginya terpeleset dan membuat Risa limbung ke arah Danu lalu terduduk di pangkuannya begitu saja.
Keduanya berpandangan. Risa bisa menatap Danu dalam jarak yang tak pernah dia bayangkan hingga detak jantungnya makin berpacu seolah-olah akan meledak dalam beberapa detik.
“Bisa bangun, nggak?”
Risa tidak mendengar apa pun karena dia hanya memperhatikan wajah Danu yang memiliki kerutan tipis di dekat matanya. Meski begitu, dia tidak peduli dan tetap memanfaatkan kecelakaan kecil tersebut sebagai sesuatu yang tidak akan pernah terjadi.
Ini mungkin tidak akan terjadi lagi, ‘kan?
Pikiran gadis itu bertanya-tanya sendiri, memikirkan apa yang seharusnya dia lakukan saat berhadapan dengan kesempatan yang hanya datang satu kali seumur hidup. Jantungnya berdetak-detak tidak karuan dan saat Risa mengalihkan perhatian pada bibir Danu yang bergerak entah mengucapkan apa, dia tiba-tiba menarik kerah baju pria itu lalu mengecup bibirnya dengan tiba-tiba.
Waktu seolah berhenti, Danu merasa sesuatu melayang dari tubuhnya ketika tiba-tiba Risa tanpa diduga mengecupnya begitu saja. Dia mengerjap beberapa kali dengan mata melotot, sementara tangannya yang mengambang di udara mengepal erat begitu saja. Bahkan saat Risa pergi terbirit-b***t pun pria itu masih terlihat shock.
Begitu berada di toilet dan masuk ke salah satu bilik yang ada, Risa menutup mulut dengan napas terengah-engah, antara efek berlari dan pacu jantung yang luar biasa. Akan tetapi, yang jelas semua itu terjadi karena ciumannya dengan Danu.
Bukan ciuman. Cuma kecupan biasa, tanpa izin pula.
“Arrrggh! GILA …!”
Beberapa hari berlalu, Liam tidak puas dengan apa yang terjadi di antara ayahnya dan Larasati. Bulannya yang dikatakan pada sang pengasuh tidak menunjukkan hasil yang bagus dan Mahesa masih bersikap acuh tak acuh padahal dia pikir sang ayah lama kelamaan bakal jatuh cinta pada wanita itu.
“Bagaimana caranya agar Papa menikah sama Tante Laras, ya?”
Anak itu menyangga dagu saat duduk di meja belajar sehabis mengerjakan pekerjaan rumahnya seorang diri. Larasati masih belum pulang dan Liam tak tahu harus melakukan apa hingga pada akhirnya dia memutuskan untuk mengerjakannya terlebih dulu.
Liam kemudian mendesah panjang, merebahkan sebagian tubuhnya di meja dan menatap robot-robotan yang berdiri di bawah lampu duduk dekat ranjang. “Apa yang harus aku lakukan biar Papa menikah sama Tante Laras? Ah … andai aja kalau hal itu semudah aku minta mainan pas lagi sakit!”
Kedua matanya terpejam, tetapi sedetik setelah itu mereka kembali terbuka dan Liam beranjak berdiri dengan mata melotot.
“Sakit! Papa bakal turutin semua kemauanku kalau aku sakit! Iya begitu!” Liam tertawa keras di kamarnya sendiri, merasa rencananya bakal berhasil kali ini. Akan tetapi, tiba-tiba dia kembali diam dan duduk di kursi. “Tapi gimana caranya biar aku sakit? Kalau pura-pura pasti bakal ketahuan!”
Lagi-lagi Liam terlihat putus asa dan kembali bersandar pada meja belajar sebelum akhirnya bergegas turun saat mendengar suara bel berbunyi. Rupanya Risa yang datang, membawa banyak makanan setelah bertemu teman-temannya di sebuah kafe.
“Keponakan Tante yang manis, coba lihat apa yang Tante bawa!” Risa mengangkat kedua tangan yang penuh oleh-oleh, lalu masuk mendahului Liam yang agak kecewa.
Gadis itu duduk di ruang tamu, meletakkan semua bawaannya dan mengeluarkan makanan tersebut dari dalam kantong plastik. Makanan cepat saji, sesuatu yang dilarang oleh Mahesa. Namun, karena sang kakak masih berada di kantor, larangan itu tidak berlaku sekarang.
“Semua ini gratis, lho. Temen Tante lagi ulang tahun, jadi dia traktir kami semua!”
“Terus Tante minta beliin semua ini?!” tanya Liam tak percaya dan Risa hanya mengangguk tanpa pamrih. “Tante beneran nggak punya malu!”
Risa mencebik, kemudian mengambil satu sandwich dan menggigitnya besar-besar lalu berkata dengan mulut penuh. “Nggak papa! Tante juga sering traktir mereka, jadi jangan malu-malu! Ayo, makan! Mumpung papamu belum pulang!”
“Iya juga!”
Liam buru-buru mengambil sandwich lainnya, tetapi tepat sebelum dia menggigitnya, dia melihat sesuatu yang menjadi isian roti tersebut. Irisan daging.
“Ini daging apa, Tan?”
Risa angkat bahu. “Ya nggak tahu. Kenapa? Nggak doyan?”
“Doyan.” Liam menggaruk pinggir hidungnya lalu menggigit sandwich tersebut dan merasakan kenikmatannya yang luar biasa meski ada rasa khawatir tentang irisan daging tersebut.
Beruntungnya hingga habis tiga gigitan tidak ada reaksi apa pun hingga Liam yakin jika itu mungkin saja daging ayam. Dia menggigit lagi, lalu mengunyah dan menelannya. Lalu satu gigitan lagi dan lagi.
Risa mendorong es krim ke hadapan sang keponakan. “Ini, makan juga! Rasanya enak! Tante baru pertama kali makan es krim di kafe itu, tapi rasanya mantap!”
Liam mengangguk senang dan meletakkan sandwichnya di kotak, lalu menyendok seukuran besar es krim tersebut dan langsung ditelan begitu saja. Namun, beberapa saat berlalu, dia mulai merasakan panas di perut hingga tenggorokannya.
“Aduh ….”
Risa mendongak dan mendapati gerak gerik Liam yang mencurigakan. Dia kemudian berhenti mengunyah sandwich tersebut dan meletakkannya pada kotak kemasan. “Kamu kenapa?” tanyanya.
Liam menggeleng, tetapi dia mulai mengerang dan terlihat sulit mengambil napas hingga membuat Risa cemas bukan main. Gadis itu meninggalkan kursi dan menghampiri Liam yang mulai bernapas dengan tekanan kuat.
“Liam? Kamu kenapa? Kamu kenapa tiba-tiba begini?!” Risa terlihat gelisah dan mengedarkan pandangan ke segala arah, mencari keberadaan asisten rumah tangga Mahesa. “Bi? Bi Atin!”
“Tante … aku nggak bisa napas, Tan ….”
“Apa?!” Risa beranjak menggendong Liam, membawanya pergi karena dia pikir anak itu mungkin saja keracunan makanan atau lainnya. “Tunggu bentar! Tante bawa kamu ke rumah sakit!”
“Tante ….”
“Aduh! Gimana ini?!”
Liam terus bergerak resah, merintih sengsara dengan mata terpejam dan membuat Risa makin ketakutan jika hal buruk bakal terjadi pada keponakannya.
“Tunggu bentar, Liam! Tante bakal ngebut!”
Risa menginjak pedal gas, melajukan mobilnya lebih cepat lagi agar tiba di rumah sakit lebih awal. Namun, gerak-gerik Liam yang makin parah membuat gadis itu tidak bisa tenang dan terus mengomel ketakutan.
Lalu dengan tangan bergetar, Risa mencoba menghubungi Mahesa, tetapi sayangnya pria itu sedang menghadiri sebuah rapat penting hingga ponselnya dimatikan. Mayang juga tengah bersih-bersih, menyalakan vacuum cleaner hingga getaran ponselnya tidak terdengar.
“Sialan kemana orang-orang ini?! Nggak tahu kalau Liam sakit apa?!”