Keadaan Liam sudah membaik saat ditangani langsung oleh dokter setibanya di UGD. Anak itu kini menempati salah satu ruang khusus seperti yang Risa ingin karena dia tidak ingin banyaknya orang di sana mempengaruhi keponakannya yang memang bisa serba tahu.
Mahesa datang setelah dua jam berlalu, bersama Viona yang menunjukkan rasa khawatirnya meski Mayang sudah tidak lagi respek padanya karena kejadian tempo hari yang lalu. Wanita itu justru membuang muka saat sang anak datang dengan seseorang yang seharusnya sudah diputuskan.
Mayang duduk sambil memegang tangan Liam dan ketika Viona menghampiri lalu mengelus pundaknya, dia menepis dengan kasar dan membuat calon istri Mahesa tersentak. Sementara Risa kini bergeming di tempat melihat kakaknya berkacak pinggang.
“Kamu ngasih Liam makan apa kenapa bisa begini, Ris?” tanya Mahesa dengan nada menekan. “Kamu nggak tahu kalau keponakanmu alergi s**u sama daging sapi atau gimana?”
“Mas, aku minta maaf! Aku juga nyesel karena nggak tahu soal itu!” Risa memohon-mohon penuh penyesalan. Dia juga merasa menjadi orang paling buruk karena tidak mengerti apa-apa tentang keponakannya sendiri. “Aku nggak tahu kalau Liam punya alergi, Mas ….”
Mahesa menghela napas kasar dan pergi meninggalkan Risa yang menangis begitu saja. Pria itu berdiri di sisi lain ranjang, berhadapan dengan sang ibu yang tak berhenti menggenggam tangan Liam.
“Kata dokter udah nggak apa-apa, jadi jangan terlalu menyalahkan adikmu karena dia pasti merasa bersalah sekarang.”
Mahesa melempar tatapannya ke arah Risa yang terisak-isak. Semua ini memang karena gadis itu, tetapi bukan sepenuhnya juga sebab Risa memang baru saja pulang dari luar negeri dan tidak tahu apa-apa soal Liam.
Apa yang Mayang katakan benar. Mahesa tidak perlu menyalahkan Risa dan membuat gadis itu lebih menyesal setelah membuat keponakannya sendiri masuk rumah sakit karena alergi daging sapi dan sesuatu yang mempunyai rasa s**u.
Pintu ruangan tersebut terbuka, mereka semua menoleh dan ketika Risa melihat siluet Danu masuk, dia segera menghapus air mata di wajahnya lalu berpaling ke arah lain agar tidak terlihat oleh pria pujaan hatinya.
Selagi Danu melangkah pelan menghampiri Mahesa sambil sesekali memperhatikan Risa, Larasati yang datang bersama atasannya itu berlari untuk memastikan kondisi anak manis tersebut. Dia ingin bertanya, tetapi bahkan orang-orang yang mengerti bahasanya kini sedang sama khawatirnya.
Risa berjalan mendekat dan memegang siku Larasati agar wanita itu berhenti merasa kebingungan. Dia juga memberitahu bahwa Liam sudah tidak apa-apa karena dokter sudah menangani anak itu dengan baik.
Larasati mendesah lega, tetapi sesaat setelah itu dia berkata pada Risa bahwa tidak ada lagi yang perlu dicemaskan –Risa tidak perlu merasa cemas atau bersalah lagi, tetapi gadis itu justru menangis dan memeluknya erat-erat.
Tangisan Risa yang keras dan penuh kekhawatiran membuat Liam perlahan-lahan sadar. Sudah waktunya pula dia bangun dari istirahat dan membuat orang-orang tenang kembali.
“Liam, cucuku!” pekik Mayang penuh haru.
Risa yang mendengar teriakan sang ibu segera menepuk punggung Larasati dan memberitahu wanita itu jika Liam telah sadar. Mereka kemudian menatap Liam yang terlihat pucat dan tidak bersemangat.
“Nenek ….”
“Iya, ini nenek! Kamu nggak papa, Sayang?” Mayang memeluk tangan Liam erat-erat dan melihat anak itu menggeleng pelan. “Syukurlah kalau begitu … nenek khawatir sekali sama kamu, Liam!”
“Aku nggak papa, Nek ….”
Liam kemudian menatap satu persatu orang yang ada di sana, termasuk Viona yang sama sekali tidak dia harapkan. Tak sampai dua detik dia menatap Viona, arah pandangnya bergerak cepat pada Risa yang lagi-lagi menangis.
“Tante, aku nggak papa, lho …,” ujar anak itu mencoba agar sang tante berhenti menangis. Aku justru berterima kasih pada Tante karena dengan begini, aku pasti bisa bikin Papa sama Tante Laras nikah!
“Kamu serius nggak papa?” tanya Mahesa kemudian. Liam menoleh ke arahnya dengan ekspresi yang tiba-tiba seperti sedang dilanda rasa sakit. “Kamu masih ngerasa nggak enak? Papa panggil dokter dulu!”
“Papa …!” Liam menahan tangan Mahesa dengan mata berkaca-kaca. “Papa di sini aja sama Tante Laras ….”
Viona yang mendengarnya langsung mengepalkan kedua tangan. Dia sudah rela meninggalkan spa di tengah-tengah perawatan kulitnya demi Liam, tetapi sekarang anak itu bahkan sama sekali tidak menganggapnya ada dan justru memperlakukan Larasati seperti ibunya sendiri.
“Aku mau Papa nikah sama Tante Laras ….”
Semua orang, kecuali Larasati, terkejut bukan main mendengar omong kosong Liam saat kondisinya belum benar-benar pulih. Viona tertawa hambar dan menengahi agar semua orang menganggap ucapan Liam sebagai candaan atau sekadar ketidaksadaran diri di bawah pengaruh obat-obatan.
Sementara Mayang terlihat diam saja padahal pikirannya sedang kacau saat ini. Dia memang tak ingin Mahesa menikah dengan Viona, perempuan yang berencana membuang Liam saat mereka sah menjadi suami istri, tetapi dia juga tidak ada niatan menjadilan Larasati, si wanita bisu dan tuli, menjadi menantu atau istri dari anaknya yang hebat.
Wanita itu tidak mau hal tersebut terjadi, tetapi untuk sekarang yang paling penting adalah menyingkirkan Viona dari keluarganya sekalipun harus menjadikan Larasati sebagai tolak ukur untuk menjadi ibu idaman bagi Liam.
“Liam, sayang … kamu pasti belum–”
“Ibu setuju sama Liam,” pungkas Mayang sebelum Viona menyelesaikan ucapannya.
Wanita itu melotot tajam pada ibu dari kekasihnya, tak percaya jika Mayang mengikuti apa kata Liam tadi. “Ibu! Kenapa Ibu bilang begitu?”
Mayang menoleh tanpa tenaga ke arah Viona. “Kamu nggak layak untuk menjadi Ibu, Viona.”
“Ibu!” Mahesa berteriak keras.
Larasati yang tak sengaja melihatnya terkejut. Dia bisa melihat otot di sekitar pelipis dan juga leher pria itu muncul, tanda bahwa si empunya tengah berada dalam masa-masa sulit seperti dikuasai amarah memuncak.
“Bisa-bisanya Ibu bilang begitu sekarang?! Aku udah bilang kalau aku bakal mengurusnya sendiri!”
Viona yang merasa terkhianati kini terisak-isak. Dia berusaha untuk tidak menyalahkan Liam atau Mayang, tetapi tetap mencoba agar terlihat menyedihkan di mata Mahesa. Dia hanya akan menangis, terisak-isak dengan kepala menunduk, lalu pergi tanpa permisi saat waktunya tepat.
Larasati yang tidak mengerti situasi sebenarnya segera meminta penjelasan dari Risa dan betapa terkejutnya dia begitu gadis itu mengatakan apa yang Liam inginkan dan apa yang Mayang lakukan.
“Ibu itu salah paham. Viona udah jelasin semuanya padaku, Bu!” Mahesa keukeuh membela kekasihnya itu tanpa tahu apa pun.
“Papa harus percaya sama Nenek! Tante Viona itu jahat!” Liam melempar tatapannya pada Viona penuh dengan kebencian. “Kalau Papa nikah sama Tante, dia bakal bawa Papa pergi dan nyuruh aku tinggal sama Nenek!”
Mayang menggenggam tangan Liam yang ternyata memang benar, bahwa anak itu tahu segalanya. “Kamu jangan khawatir. Kamu tahu kan kalau Nenek sayang sama kamu?”
Mahesa meremas rambutnya sendiri, tak tahu harus bagaimana meyakinkan anak dan juga ibuny bahwa Viona bukanlah wanita jahat seperti yang mereka kira. Lagipula, bagaimana mungkin aku menikah dengan Larasati yang tidak bisa mendengar dan bicara, pikirnya.
Liam tersentak mendengar isi hati ayahnya yang memandang sebelah mata pada Larasati. “Ayah sama aja kayak orang-orang, nggak memikirkan perasaan orang lain!”
Mahesa menarik napas dalam, merasa lelah dengan semua ini. Dia berpikir untuk menyerahkan Liam pada neneknya seperti yang mereka tuduhkan pada Viona, lalu menikah dengan wanita itu dan menciptakan kehidupan baru yang harmonis. Meski demikian, Mahesa tidak sanggup melakukannya. Namun, pemikirannya yang tiba-tiba itu telah sampai pada Liam dan membuat anak itu menangis.
“Nenek … Nenek ….”
Anak itu sesegukan meminta sang nenek untuk memeluknya. Dia benar-benar sakit hati mengetahui niat sang ayah yang meski tidak akan terlaksana, tetapi sudah membuat hatinya hancur berkeping-keping.
“Papa nggak mau sama aku … Papa mau aku tinggal sama Nenek. Huaaaa …!”
Risa yang mendengar jeritan Liam segera mengepalkan tangan. Kaca-kaca bening di matanya kini jatuh, bukan karena merasa bersalah setelah membuat keponakannya masuk rumah sakit, tetapi karena apa yang Mahesa pikirkan.
Gadis itu melangkah memutari ranjang, berjalan melewati Danu lalu saat tiba di hadapan sang kakak, Risa memukul d**a Mahesa dengan kuat. “Apa yang kamu pikirkan, Mas?! Kamu mau nyerahin Liam sama Ibu?! Aku sama Ibu nggak masalah sama itu, tapi kalau kamu buang Liam cuma gara-gara perempuan ini …,” dia menunjuk Viona, “aku bakal bikin kamu nyesel, Mas!”
Mahesa lagi-lagi menarik napas dan tak percaya jika mereka semua mengetahui apa yang dia pikirkan. Saat kedua tangannya menekuk di pinggang dan hampir menyerukan amarah, Danu melangkah maju dan menarik Risa dari sana.
“Sudah, sudah, ini rumah sakit. Lebih baik bicarakan masalahnya di rumah.”
“Nggak!” Risa menepis tangan Danu padahal biasanya dia mengharapkan pria itu melakukan kontak fisik padanya. “Bisa-bisanya kamu mikir gitu di depan Liam?! Kamu nggak peduli sama perasaan anakmu sendiri, hah?!”
Napas Risa tersengal-sengal, dadanya kembang kempis menahan amarah dan kedua matanya yang tampak merah masih melotot tajam pada sosok kakak yang sejak dulu dia hormati. Persetan sama yang namanya Kakak.
“Kamu kalau mau nikah sama perempuan ini, nikah aja sana. Aku sama Ibu nggak peduli. Tapi, jangan coba-coba bawa Liam. Aku nggak sudi dia tinggal sama wanita kayak gitu!”
Tepat setelah mengatakannya, Risa angkat kaki dengan kasar dan sengaja menyenggol bahu Viona dengan keras. Danu yang merasa cemas pun mengikutinya karena pria itu tahu jika saat ini gadis yang menyukainya tengah dikuasai amarah yang menggebu-gebu.
Larasati yang tidak bisa masuk ke dalam urusan orang-orang itu hanya diam dengan tangan bergetar. Dia merasa khawatir jika keluarga itu hancur hanya karena keinginan Liam yang tidak masuk akal. Namun, satu hal yang jelas sekarang adalah Mahesa tidak pernah menyukainya.
Entah untuk alasan apa Liam berbohong padaku dan berkata jika ayahnya suka padaku.
Setelah beberapa saat berlalu dan Liam mulai tenang, Mayang melepas pelukannya dan meminta Larasati untuk duduk menggantikannya. Wanita itu lalu beranjak pergi. “Viona, ikut aku sebentar. Mahesa kamu tetap di sini.”
Viona menatap Mahesa sebentar dengan perasaan cemas, tetapi mau tak mau dia harus mengikuti Mayang dan melihat apa yang wanita itu lakukan padanya. Sebab bagaimanapun, Mayang tak lagi memberinya restu.
Berada di depan kamar Liam, Mayang tanpa basa-basi berkata, “Kamu masih ingat berapa uang yang ibumu pinjam, ‘kan? Tante nggak akan menagihnya asal kamu putuskan hubungan sama Mahesa.”
Viona mendelik lebar. “Bagaimana mungkin Tante mengancamku seperti ini? Utang ibu nggak ada urusannya sama aku, Tan!”
“Kenapa nggak ada urusannya sama kamu? Uang seratus juta itu juga kamu yang pinjam ke tante! Pokoknya pilihanmu cuma itu. Jauhi Mahesa, maka tante anggap kalian nggak punya utang sama tante.”
Kerutan di dahi Viona muncul. Dia merasa kesal sekali karena kalau dirinya menikah dengan Mahesa, sudah pasti kekayaan pria itu jatuh ke tangannya.
“Atau kau boleh nikah, tapi balikin uang itu sekarang juga.”
“Gimana mungkin aku dapet uang sebanyak itu, Tan?!”
Mayang tersenyum licik. “Jadi sudah jelas. Pergi sekarang. Sekalipun kamu nikah sama Mahesa, kamu nggak akan dapat sepeserpun karena semua itu milik Liam.”
Wanita itu kembali masuk ke ruangan, sementara Viona mengepalkan tangan dan memelototi pintu, ke mana Mayang pergi.
“Sialan! Aku harus bagaimana ini?! Mahesa satu-satunya yang aku harapkan!”