BAB 14 - Larasati, Wanita Bisu Yang Diinginkan Anakku

1881 Kata
“Liam biar tinggal di rumah Ibu untuk sementara waktu.” Mahesa setengah kesal mendengar ucapan ibunya yang juga seperti anak kecil. “Dia sudah terlanjur tahu pikiranmu, jadi jangan harap dia mau pulang sebelum kamu menyesal.” Mayang berkata-kata lagi dan membuat anak pertamanya mengernyitkan kening. “Memangnya apa yang aku pikirkan sampai-sampai membuat Liam tidak mau pulang, Bu?” Mahesa bertanya memastikan. Dia benar-benar tidak mengerti mengapa Ibu dan adiknya bersama-sama berdiri melawannya seperti ini. Mayang menoleh dengan alis berkerut. “Kamu masih menyangkalnya, Mahesa? Liam bisa tahu pikiran orang-orang termasuk niatmu yang mau meninggalkannya demi Viona! Coba kamu jujur! Itu yang kamu pikirkan waktu datang sama Viona waktu itu, ‘kan?!” Mahesa membuka mulut hendak menyanggah tuduhan sang ibu, tetapi kenyataannya dia memang sempat berpikir demikian karena mereka tak juga menerima Viona padahal wanita itu adalah wanita baik-baik. Meski demikian, Mahesa tidak percaya soal Liam yang bisa tahu isi pikiran seseorang. “Liam tidak mungkin bisa begitu.” “Terserah kamu mau percaya atau enggak, tapi jangan harap Liam bakal pulang sebelum kamu mengubah isi pikiranmu di depannya.” Mayang beranjak berdiri lalu pergi meninggalkan Mahesa yang bergeming di bangku tunggu dekat dengan meja resepsionis rumah sakit tempat Liam dirawat. Sudah tak jarang sang anak secara kebetulan memergoki pikirannya, tetapi Mahesa percaya bahwa itu hanya sebatas kebetulan. Seseorang tidak mungkin tahu isi hati atau pikiran orang lain karena hal itu sama saja menelanjangi orang tersebut. Namun, Mahesa tidak tahu apa yang dirasakan Liam selama ini tiap kali bertatapan dengan orang-orang dan mulai membaca isi pikiran mereka. Anak itu berhadapan dengan banyak orang bermuka dua. Mereka berkata baik-baik, tetapi dalam kepala mereka menyimpan kejujuran yang sesungguhnya dan semua itu membuat Liam jenuh, bahwa memang tidak ada manusia yang punya rasa tulus. Liam tidak bisa menjalin pertemanan dengan anak-anak yang mengatakan bahwa dirinya adalah anak baik, tetapi berpikir jika dia mengerikan karena warna mata yang tidak biasa. Dia juga tidak bisa selalu menatap mata orang-orang agar berhenti mendengar isi kepala mereka. “Tidak mungkin Liam bisa melakukannya. Tidak mungkin.” Di tempat lain, tepatnya di rumah Viona yang berada di pemukiman padat penduduk, sedang terjadi pertengkaran antara Ibu dan anak yang dikarenakan oleh utang sejumlah seratus juta yang mereka pinjam dari Mayang. Viona menagih janji sang ibu yang katanya akan mengembalikan uang tersebut saat toko yang dikelola kini telah stabil, tetapi Rindu, ibu Viona tidak punya uang sebanyak itu meski tokonya menjadi jauh lebih stabil setelah memutarkan uang pinjaman dari Mayang. “Kalau begitu jual tokonya saja, Bu!” teriak Viona tak sabar. “Aku nggak mau putus sama Mahesa cuma gara-gara uang seratus juta!” “Kamu gila atau apa?!” Rindu melangkah sambil menarik tirai besi dan bersiap menutup tokonya. “Ibu baru aja mulai bangkit, tapi kamu ingin ibu duduk manis di rumah sambil nunggu kamu ngasih uang yang nggak seberapa itu?” Viona menggeram kesal. Kedua tangannya mengepal erat, jengkel pada sang ibu yang tak juga mengalah. “Nanti kalau aku beneran nikah sama Mahesa, aku bakal kasih uang bulanan yang jauh lebih tinggi! Makanya, jual toko dulu biar bisa bayar utang sama Tante Mayang!” “Kamu bodoh atau apa? Wanita itu udah berani mengancam dan memberimu dua pilihan, artinya dia nggak akan biarin kalian nikah! Mendingan kamu putusin Mahesa sekarang, ibu bakal kasih kamu uangnya nanti buat kesenanganmu sendiri.” “Ibu …!” Viona berteriak dengan mata melotot. Dadanya kembang kempis, detak jantungnya tidak beraturan seperti akan segera meledak. “Ibu pikir seratus juta cukup buat masa depanku?! Masa depanku itu ya harus nikah sama Mahesa biar bisa menguasai hartanya!” “Kalau gitu kamu usaha sendiri.” Rindu membuang muka setelah mematikan lampu toko dan berjalan masuk ke rumah yang terhubung dengan toko tersebut. “Kamu bisa ambil pinjaman atas namamu sendiri dan balikin uang seratus juta itu pada Mayang.” “Ibu udah gila?” “Intinya, ibu nggak akan jual toko. Ibu bakal balikin utang ibu, tapi nggak sekarang.” “Arrrggh! Ibu” *** Hari ini Liam diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit dan dia langsung pergi ke rumah Mayang biarpun Mahesa datang menjemputnya setelah pulang kerja. Anak itu bahkan tidak mengatakan apa pun saat sang ayah memintanya pulang ke rumah dan justru pergi menggandeng tangan Larasati untuk masuk ke mobil neneknya. “Ibu udah bilang kalau Liam nggak akan mau pulang kalau kamu nggak nunjukin rasa penyesalan kamu,” kata Mayang saat berdiri di dekat mobil. “Dia itu persis kayak kamu, jadi jangan harap dia bakal luluh sebelum kamu menyadari kesalahanmu sendiri.” “Ibu, kalau ini soal Liam yang katanya bisa tahu isi pikiran orang lain–” “Percaya atau enggak, kamu memang sempat berpikir untuk meninggalkan Liam pada Ibu agar kamu bisa nikah sama Viona, ‘kan?” Mayang memastikan. Kedua matanya tak berhenti menatap Mahesa yang menghela napas. “Masalahnya cuma itu. Kamu jelas tahu gimana perasaan anakmu saat kamu berpikir seperti itu. “Ibu nggak keberatan Liam tinggal sama Ibu. Sama sekali enggak. Adikmu juga enggak karena dia sayang sama keponakannya. Kalau kamu mau Liam kembali, minta maaf padanya. Jangan coba-coba memikirkan hal-hal yang membuatmu rugi demi perempuan seperti Viona. Ya sudah, Ibu pulang dulu.” Mayang masuk ke mobil, duduk di bangku belakang sementara Larasati ada di depan bersama sopir pribadi keluarga. Mereka melesat pergi meninggalkan Mahesa yang bergeming di tempat lalu menghela napas panjang setelahnya. “Ini tidak akan berhenti bahkan setelah aku meminta maaf padanya,” ujar Mahesa sambil memandangi mobil sang ibu yang telah menjauh. “Menikah dengan Larasati? Liam … apa yang kamu pikirkan, Nak?” Setelah setengah jam berlalu, sedan warna hitam itu masuk ke kawasan perumahan elit dan berhenti di depan salah satu rumah mewah yang ada di sana. Liam lebih dulu turun dan bergegas masuk ke rumah, sementara Larasati melangkah pelan di belakang Mayang dipenuhi keragu-raguan yang amat besar. Namun, pada akhirnya dia mengejar dan menghentikan wanita tersebut dan menunjukkan sebuah catatan di ponselnya. “Saya minta maaf. Sepertinya keberadaan saya di sini membuat semuanya menjadi kacau. Saya akan pergi setelah kondisi Liam membaik, jadi mohon pengertiannya.” Mayang menghela napas pelan membaca pesan Larasati. Dia kemudian mengambil ponselnya di dalam tas dan mengetik sesuatu untuk membalas perasaan tidak nyaman yang wanita itu katakan. “Jangan terlalu dipikirkan. Lupakan tentang permintaan Liam karena aku juga tidak akan membiarkan Mahesa menikahimu. Maaf jika aku keterlaluan padamu, tapi aku ingin Liam bertemu seorang Ibu yang bisa mendengar dan berbicara dengannya.” Larasati mengangguk pelan begitu membaca balasan Mayang. Dia sakit hati karena lagi-lagi dia dipandang begitu rendah, tetapi dia tidak mempermasalahkan tentang ketidaksetujuan wanita itu untuk menjadikannya sebagai istri Mahesa sebab dia juga sadar diri, bahwa mereka terlalu tinggi untuk dijadikan rumah baru. Waktu makan malam tiba, untuk pertama kalinya Larasati menyiapkan semua makan malam di rumah Mayang dengan bantuan asisten rumah tangga yang kali ini hanya fokus memotong sayur atau menghaluskan bumbu-bumbu yang telah disiapkan. Liam meyakinkan Mayang dan Risa jika masakan Larasati tidak kalah dengan buatan Nani, asisten rumah tangga yang telah bekerja selama lebih dari 15 tahun di rumahnya. Ketika kedua wanita itu mencicipi capcay yang menjadi menu kesukaan Mayang, mereka cukup terkejut saat rasa manis, gurih dan pedas membuat lidah mereka menari begitu saja. “Bener, ‘kan? Masakan Tante Laras itu nggak ada duanya!” Liam memberikan dua jempol pada Larasati yang tersenyum lebar. “Jadi masakan Bibi nggak enak lagi, ya,” goda Nani dengan berpura-pura kecewa. Liam segera menggeleng dan berekspresi menyesal. “Masakan Bibi Nani juga terbaik! Tapi punya Tante Laras paling enak hehe.” “Aduh astaga … lidah memang nggak bisa dibohongi, ya, Liam! Bibi juga setuju kalau masakan Laras itu enak banget!” Nani pun memberikan dua jempolnya pada Larasati. Wanita yang tidak bisa mendengar ucapan orang-orang di sana hanya tersenyum malu karena mereka semua terlalu memuji hingga kepalanya membesar penuh dengan rasa bangga. “Liam,” panggil Risa, “kamu beneran mau kalau Larasati jadi ibumu?” “Risa!” Mayang meninggikan suara dan membuat suasana berubah menjadi mencekam. “Jangan bicarakan apa pun. Kita sedang makan.” Nani pergi dengan ekspresi yang membuat Larasati merasa curiga. Dia juga mengalihkan perhatian pada ibu dan anak tersebut dan mendapati keduanya terlihat kesal akan sesuatu. “Aku mau.” Liam berkata-kata dan kembali membuat Mayang memejamkan mata. “Aku bisa mendengar suara Tante Laras yang indah. Aku juga bisa belajar bahasa isyarat kayak Tante Risa biar Tante Laras bisa berbicara sama aku.” “Liam, di dunia ini bukan hanya Larasati yang bisa memperlakukanmu dengan baik dan tulus, jadi kamu bisa mendapatkan Ibu yang lain asal bukan Larasati.” Larasati yang sempat menunduk beberapa saat karena tak ingin melihat ketidakharmonisan tersebut akhirnya mengangkat kepala dan meminta Risa untuk membantunya menerjemahkan sesuatu. Sesuatu yang mungkin akan membuat Mayang merasa lega meskipun Liam tidak akan begitu. “Larasati bilang dia sudah menemukan tempat tinggal. Tiga hari lagi dia bakal pindah ke tempat yang dekat dengan tempat kerjanya,” ucap Risa saat melihat gerakan tangan Larasati. Dia tahu wanita itu berbohong, tetapi dia tidak akan mengacaukannya. “Tante Laras bohong.” Liam bergumam dengan kepala menunduk. Risa yang melihatnya segera menengahi. “Liam, kamu nggak bisa maksa seseorang, ‘kan? Kamu harus menghargai keputusan apa pun yang diinginkan Larasati.” Mau tak mau Liam mengangguk karena dia juga sadar bahwa ucapan tantenya barusan benar. Dia tidak bisa memaksa seseorang sekalipun orang itu adalah orang yang sangat diinginkannya. Larasati tersenyum iba menatap Liam. Dia mengelus kepala anak itu dengan mata berkaca-kaca dan di saat yang sama Mayang melihatnya. Wanita itu melihat ketulusan yang ada pada diri Larasati, tetapi dia tidak mungkin menjadikan Larasati sebagai menantunya. Tidak. Mayang ingin Liam mendapatkan Ibu yang sempurna. Beberapa hari berlalu, Larasati telah pergi dari rumah Mahesa saat pria itu berada di kantor. Dia sengaja menghindari pria itu karena dia pikir Mahesa hanya akan menyakiti hatinya dengan mengucapkan kata-kata yang buruk karena keinginan Liam tempo hari. Larasati juga sadar diri meski sempat dibuat bingung karena kebohongan Liam yang mengatakan bahwa Mahesa menyukai dirinya. Dia sadar diri. Wanita bisu dan tuli, juga tidak punya apa-apa selain tabungan yang tidak seberapa, mana mungkin mengharapkan mendapatkan laki-laki sempurna seperti Mahesa. Hari ini wanita itu datang ke pengadilan seorang diri, menerima keputusan akhir dari kasus perceraiannya yang telah berlangsung lebih dari satu bulan. Duduk di hadapan hakim dan para utusan lain, Larasati memperhatikan gerak bibir hakim tersebut. “Dengan ini pengadilan memutuskan bahwa Anton Mahendra dan Larasati, resmi bercerai.” Palu diketuk tiga kali. Larasati menghela napas lega karena dengan begitu dia benar-benar lepas dari keluarga mantan suaminya. Dia tidak terikat siapa pun sekarang dan hanya perlu fokus pada hidupnya sendiri. Membawa tas berisi beberapa dokumen resmi, Larasati meninggalkan pengadilan dengan langkah santai. Pikirannya terbagi pada beberapa hal, tetapi semua itu tidak saling berkaitan dan tidak terlalu begitu penting hingga tiba-tiba saja langkahnya terhenti saat di depannya ada seseorang yang berdiri tegak. Larasati mendongak dan mendapati Mahesa yang menatapnya dengan tatapan sendu. Ini aneh sekali, pikirnya, tapi dia mundur dan menjaga jarak karena tidak siap menghadapi apa yang akan pria itu katakan. Mahesa tiba-tiba menggerakkan kedua tangan, merangkai sebuah bahasa yang dimengerti oleh Larasati dan membuat wanita itu terbelalak lebar. Dia tidak percaya, tetapi Mahesa mengulangi gerakan tangannya, membentuk kalimat yang sama seperti sebelumnya. “Menikahlah denganku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN