Bab 5. Musibah.

1401 Kata
Linda baru saja selesai membayar di kasir dengan menggunakan kartu debit milik suaminya. Setelah itu, Linda mencoba memesan gojek. Karena bawaannya lumayan banyak. Setelah selesai memesan tinggal menunggu, sepeda motor bercorak hijau telah datang. Linda pun mulai membawa belanjanya menenteng ke tempat sih tukang gojek tersebut. Baru beberapa langkah saja, tiba-tiba seseorang dari arah samping menyambar tas gantung miliknya. Terperanjat kaget ia dengan cepat berlari mengejar si pencopet itu. "Copet! Copet! Berhenti!" Linda terus berlari hingga selendang miliknya terlepas. Di sekitar penduduk yang nongkrong malah duduk diam  tidak mencoba untuk mengejar si pencopet itu. Linda terus berlari, berhasil menangkap tali tasnya. Namun bukan dilepas malah di seret sama si pencopet. Jadinya Linda ikut terseret, kedua kakinya merasakan perih yang amat dalam, tidak kuasa menahan pada akhirnya Linda melepaskan genggaman tali tas miliknya. Dan si pencopetnya pun pergi menggunakan sepeda motor bersama kawanannya. Linda menangis tersedu-sedu merasakan betapa sakitnya di kedua kakinya yang terus mengalir darah segar. Orang - orang setempat malah menonton secara gratis. **** Di rumah Linda tertatih, belum lagi sikunya, dibersihkan perlahan-lahan dengan sendiri. Air mata terus mengalir di kedua pipinya. Teringat bagaikan kejadian di jalan, orang - orang malah tidak memedulikannya. Begitu teganya mereka membiarkan ia dalam keadaan korban pencopetan. Sudah terobati, ia memasukkan sayuran di kulkas. Dari pantulan kaca kulkas tersebut, Linda bisa melihat wajahnya begitu mengerikan. Pantas semua orang tidak berani menolong karena wajahnya. Wajah luka bakar, kenapa selalu ada setiap kejadian harus menimpa dirinya. "Ibu, ampun Bu.... Ampun!  Linda tidak akan ulangi lagi?! Ampun!" "Dasar anak tidak tahu diri, beraninya kamu ambil uang Ibu! Rasakan ini?" "Ampun ... hiks ... ampun ...." Satu tepukan dari seseorang menyadarkan Linda dari lamunannya. Linda menoleh, suaminya sudah pulang lebih awal. Albert mendelik matanya wajah istrinya semakin memerah dan basah karena air matanya. Linda tersadar, lalu mundur beberapa langkah. Albert makin dikejutkan luka di tubuhnya. "Kenapa ini?!" Albert bertanya. Linda menghempaskan tangan Albert secara kasar.  "Jangan sentuh! Jangan, jangan sentuh! Jangan, aku tidak akan ulangi lagi?! Jangan.... aku tidak akan ulangi lagi...  hiks..." Linda tiba-tiba mengigau membuat Albert semakin bingung. Linda surut  terduduk memeluk kedua lututnya. Albert mencoba mendekat. "JANGAN SENTUH, JANGAN, JANGAN, AMPUN ..." Linda terus mengigau. Alkira sang adik kembarnya datang. Di mana Albert mencoba menenangkan istrinya.  Linda terus mengigau buat Albert terus memeluk semakin erat. "Ada apa dengannya?" Alkira bertanya  "Aku juga tidak tahu. Cepat telepon dokter Zian." Alkira segera menelepon Zian, dokter ahli spesialis. Biasanya menangani keluarga Roberto. "Sebentar lagi dia akan datang," lapor Alkira. Linda terus meronta, hingga akhirnya dia lelah sendiri. Albert masih bingung dengan luka pada lutut dan sikunya. Albert masih bertanya apakah Linda memiliki trauma atau hal lain. Ia menggendong istrinya ke kamar. Zian pun datang langsung menanganinya. Alkira di depan pintu memperhatikan Linda. Setitik ulasan di bibirnya tercetak. Suara ketukan pintu dari depan. Albert membukanya seorang warga setempat datang ke rumah. Albert makin bingung jadinya. "Maaf, Pak. Ini rumah Neng Linda?" tanya warga seorang Bapak sekitar usia lima puluh tahunan. "Iya, ada perlu apa?" tanya Albert. "Begini, Pak. Tadi di persimpangan tiga, si Eneng Linda belanja. Terus terjadi perampokan. Terus tas yang di ambil si perampok itu terlepas. Kasihan si Eneng-nya gakada yang bantuin, ini dompetnya. Di cek saja dulu takut ada yang hilang," jawab Bapak tua itu. Albert mengeceknya semua masih lengkap, ia mulai mengerti jadi luka itu dari pengejaran perampok. "Semua lengkap, makasih, ya!" Albert kembali masuk di sana Zian sedang berbincang dengan Alkira. "Dari siapa, Bang?" tanya Alkira sok perhatian. "Dari warga," jawab Albert,  "Bagaimana keadaannya?" Albert bertanya pada Zian "Seperti hasil pemeriksaan. Dia mengalami trauma di masa lalu. Luka di wajahnya seperti seseorang menyiramnya. Hingga mengandung sedikit trauma," jelas Zian. *** Suhu tubuh Linda semakin panas, Albert dari tadi menyeka keringat yang terus mengalir di keningnya. Bibir Linda kelu menahan rasa nyeri di tubuhnya serta wajah yang masih belum kering. Di mimpi, Linda berada di suatu  tempat, tempat yang tidak pernah dirinya berpijak. Rasa suara bisikkan membuatnya semakin yakin, orang yang selalu menyiksanya. "Ampun ... Bu ... Linda gak akan ulangi lagi ... hiks  ... sakit Bu! Ampun!" suara tangisan berderuk - raungan tanpa ampun. Tali tambang terus mengayun di tubuh Linda yang telah bergaris merah penuh darah yang keluar di sana. "Dasar Anak gak tahu diuntung! Percuma Ibu besarkan kamu, kenapa kamu mengambil uang, Ibu! Rasakan ini, berani mencuri!" Sesenggukan Linda tidak dapat mengeluarkan suara untuk ampunan dari ibunya. Ibu tiri yang tega menyiksa dirinya hanya karena dirinya mengambil uang senilai sepuluh ribu untuk membeli buku- buku yang sudah tidak bisa dipakai karena basah tergenang air hujan. Seluruh tubuhnya tercetak panjang cambuk dari ibu tirinya. Kedua tangannya gemetar terasa menggigil atas siksaan yang dia rasakan. Pintu terbuka seseorang masuk Paman Abdul, membawa makanan untuk Linda, Paman Abdul adalah abang dari ayah kandungnya tinggal di sebelah rumahnya. Dia sangat baik, namun kebaikan selalu disia-siakan oleh ibu tirinya. "Sungguh keji. Kenapa Zainal harus menikah wanita gila seperti dia. Andai saja ibumu masih hidup, mungkin kamu tidak akan disiksa seperti ini. Ayo, di makan. Biar Paman obati lukamu." Linda mengambil kue cubit buatan Bibi Lina. Linda sangat menyukai kue itu. Paman Abdul mengoles luka di bagian cambuk itu. "Oh ... bagus ya!"  Piring yang dibawa Paman Abdul ditendang oleh Ibu tirinya yaitu Santi. Paman Abdul berdiri untuk membela Linda. "Kamu keterlaluan Santi! Dia masih kecil, kenapa kamu tega perlakukan dirinya seperti binaatang?!" Paman Abdul marah pada Santi. "Heh! memang dia binataang yang suka mencuri uangku bersusah payah kerja mati-matian nafkah anak haram ini?!" bantah Santi tetap menghina Linda. "Kamu?!" Santi menatapnya tajam, Paman Abdul sudah menyilangkan tangannya untuk menampar Santi. Tapi, karena Linda masih di sini. Tentu dia tidak akan membuat Linda semakin membencinya. Paman Abdul pergi dari gudang itu, tinggal Santi dan Linda. Santi meludahi kue cubit yang sudah kotor itu. "Makan tuh kue liur!" Linda hanya bisa melihat kue itu sudah campuran air liur milik Santi. Tentu Linda mengambil dan mengupas tidak tercampur dari air liurnya. Albert terus menyeka keringatnya. "Ampun ... ampun ... Linda gak akan ulangi lagi!  Ampun...!" Linda kembali mengigau. Albert mencoba membangunkan Linda dari mimpi buruk. "Hei, Linda bangun!" Albert menepuk pipi Linda. "TIDAK!" Linda membuka matanya lebar - lebar. Terengah-engah napasnya. Albert di sampingnya menatap wajah istrinya yang penuh keringat hingga membasahi seluruh bantalnya. "Apa yang terjadi?" Albert kembali bertanya. Linda mencoba bangun, dia tidak menghiraukan suaminya terus bertanya. Dia melepaskan infus pada pergelangan tangannya. "Kamu harus istirahat dulu." Bukannya mendengarkan tapi Linda menepis tangan Albert. Baru saja akan menginjak lantai, dirinya terhuyung jatuh. Untung  Albert berhasil menangkapnya. "Sudah dibilang jangan banyak bergerak. Kamu gak merasa sakit dibagian luka - lukamu?!" Kali ini Albert benar-benar marah.  Albert tahu apa yang dia cari. Pasti selendang, sudah dia simpan, dia lebih menyukai Linda seperti ini meskipun lukanya masih terlihat. "Kamu sedang mencari selendangmu? Sudah aku buang. Gak perlu dipakai lagi, begini kamu sudah cantik." Masih sempatnya Albert menggombal. Linda menggubrisnya, sekarang Albert berjongkok menatap wajah Linda menunduk ke bawah. "Apa yang kamu alami sekarang? Siapa yang melukaimu? Katakan padaku." Albert kembali bertanya lagi, dia sangat penasaran dengan kehidupan istrinya. Linda menatap wajah suaminya, dia sendiri tidak yakin apa pantas menceritakan semua masa lalunya. Tentu dia belum siap, masa lalunya akan menyangkut nyawanya kelak. "Apa kamu gak mempercayaiku. Aku suamimu, katakan semuanya." Albert mencoba membujuk Linda untuk menceritakan semuanya. Linda lebih memilih untuk tidur, dia belum siap menceritakan semuanya. Mungkin karena kejadian tadi siang, membuatnya kembali teringat masa kelamnya. Albert menghela napas dalam-dalam, dia mengerti belum waktunya Linda menceritakan padanya. Mungkin Albert akan mencari tahu sendiri tentang istrinya. **** Windy mendapat sebuah telepon dari seseorang. "Ya, halo!" sambut Windy, "Halo, Windy? Ini aku Albert, suami Linda. Apa kita bisa bertemu sebentar, ada yang ingin aku bicarakan sesuatu," sambung Albert. "Baiklah, ketemu di mana?" tanya Windy. "Di kafe terdekat rumah kamu," jawab Albert. "Oh ... baiklah." Windy mematikan ponsel terakhir dari Albert. Windy masih mempertanyakan apa yang mau dibicarakan. Lima belas menit kemudian, Albert sampai di kafe terdekat rumah Windy. Windy sudah dari tadi menunggu Albert di sini. "Maaf, kalau kamu lama menunggu, tadi di jalan macet," sapa Albert langsung duduk di hadapan Windy. "Ya gak apa - apa. Aku juga baru sampai. Ada yang mau kamu bicarakan, tentang apa?" Windy langsung ke intinya. "Ini mengenai Linda, apa dia pernah mengalami trauma di masa lalunya?" Albert mulai bertanya pada Windy. Windy sendiri sulit menceritakannya. Masa lalu Linda, sangat rumit, tapi, apa dia yakin kalau menceritakan pada Albert semua akan baik - baik saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN