> BAB 2 <

1489 Kata
Aku menatap sebal ke arah Lina. Dia yang bilangnya akan ngekost bersama malah mengajakku tinggal di rumah om-nya. Dasar tidak bisa dipercaya. Dia menatapku sambil tersenyum memohon pengertianku. "Dilla, ayolah," pintanya memaksa. "Ck! Bukankah kau bilang akan nge-kost bersamaku?! Kenapa kau berubah pikiran dengan mengajakku tinggal di rumah om Dewo mu itu?! Sebel aku percaya padamu," ucapku hilang kesabaran. "Aku juga bingung, Dilla. Padahal dia yang mengajarkanku agar hidup mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Tapi nyatanya! Dia memintaku tinggal bersama, aku bisa apa?! Entah kenapa dia berubah pikiran?! Malah memaksa kita tinggal di rumahnya, itu sama saja dengan dia melanggar ucapannya sendiri," ucap Lina, heran melihat perubahan sikap Om-nya. "Dasar orang aneh!" ucapku kesal. "Apa jangan-jangan ... ada kacang di balik rambut?!" tanya Lina mengetuk-ngetuk dahinya. "Gila!! Yang ada udang di balik batu kali! Bukan kacang di balik rambut! Ada-ada saja. Huh!" seruku menggerutu. "Kacang?! Kacang apa?! Kalian sedang membicarakan apa?!" tanya seseorang dari belakang, membuatku gemetar. "Kacang, Om. Bikin kaget saja," ucap Lina, tersenyum menatap Om-nya. "Kacang apa?!" tanyanya heran menatap keponakannya. "Kacangnya Dilla, tuh," ucap Lina, terkekeh geli. Aku hanya diam dan mendengus kesal menatap Lina dan Om-nya. "Oh, ya?! Aku suka kacangnya, Dilla. Mana dia?!" ucap Om Dewo, mulai kurang ajar menggodaku. Aku yang malas menatap mukanya memandang ke arah lain. "Dilla, apa kau marah?" tanya Lina, mulai mereda senyumnya. "Temanmu tidak mungkin marah, Lina. Kalau marah, biar aku makan kacangnya," ucap Om Dewo, menenangkan keponakannya. "Udah, ah! Ayo!" ajakku malu dengan ucapan om Dewo. "Kemana?!" tanya Lina salah tingkah. Mungkin dia merasa bersalah dengan mengajakku tinggal di rumah om-nya. "Katanya ke rumah Om-mu?! Jadi tidak, sih?" ucapku semakin kesal. "Waaaah!! Kau, mau?!" seru Lina, memelukku. "Tentu saja! Ayo!" sahutku sedikit menggerutu. Aku dan Lina diajak naik mobil yang ternyata adalah milik Om Dewo. Dia menyetir mobil itu sendiri, tanpa supir. "Kamu kenapa?" tanya Lina heran. Entah kenapa saat masuk mobil om Dewo kekesalanku hilang yang ada malah mulutku ingin tertawa lepas karna kagum melihat keindahannya. "Tidak. Aku hanya senang saja bisa naik mobil sebagus ini! Astagaaaa! Indahnya ... dingin pula," ucapku membuat Lina dan Dewo tertawa. "Dilla, Kau jangan bikin malu, deh," ucap Lina, salah tingkah menatap Om-nya. "Aku serius! Kenapa harus malu?! Mobil ini sangat bagus. Lebih bagus dari mobil yang dulu membawa nenekku," ucapku membuat Lina penasaran. "Oh, ya?! Nenekmu pernah naik mobil?! Kapan?" tanya Lina, karna semasa hidupnya nenek tidak pernah terlihat olehnya naik mobil. Maklum, kami benar-benar orang desa, kalau tidak ada keperluan penting, kita jarang ke kota. Uang bayar kendaraan mending buat makan saja. "Saat akan kembali ke asal mulanya," jawabku membuat Lina berubah serius mukanya, aku memang sengaja ingin menggodanya. "Oh, ya! Pakai mobil seperti punya om Dewo-ku ini?!" tanya Lina, semakin terlihat serius mukanya. "Iya," jawabku meyakinkannya. "Apa merk-nya?" Lina bahkan Om-nya kali ini ikut menunggu jawabanku. "Keranda," ucapku membuat mereka diam seketika. "Keranda?!" Lina membulatkan kedua mata tidak percaya. "Jadi maksudmu ... keranda itu lebih bagus dari mobil mahal-ku ini?!" Kali ini Om Dewo terlihat gemas raut mukanya. "Om ... setiap manusia jika meninggal akan meninggalkan semua harta kekayaannya, dan apa benda berharga yang paling bisa mengantarkan mereka ke surga?! Ya, keranda," jawabku membuat Om Dewo mengetuk-ngetukkan jarinya ke bibir. "Kau benar juga, besok aku harus beli keranda. Buat mengantarku ke surga kelak." Om Dewo dan Lina saling pandang dan tak lama kemudian tertawa bersama. "Dasar bodoh kau, Dilla," ucap Lina sementara Om-nya mulai menjalankan mobilnya. Kita berjalan melewati banyak gedung dan berbagai bangunan indah lainnya. ************ Kami telah sampai di sebuah rumah yang sangat indah, luas dan nyaman bila di pandang mata, dengan pagar besi yang besar dan tinggi menjulang, keadaan sekitar yang menakjubkan, sungguh semua itu membuat mataku betah untuk menatapnya berlama-lama. Ada satpam juga di sana yang sedang menjaga pintu. Melihat kedatangan kami, pak satpam segera membuka pagar dan mempersilahkan kami masuk. Om Dewo dan Lina keluar dari mobil sedangkan aku masih di dalam. "Dilla! Ayo turun," ajak Lina, tidak sabar. "Caranya bagaimana?!" tanyaku karna memang tidak bisa. Aku kebingungan, baru pertama kali naik mobil mewah milik orang. Orang kaya maksudnya, bukan orang-orangan, hehehehe Lina segera membuka pintu sambil tertawa. Om Dewo mengajak kami masuk ke dalam rumahnya. Aku yang belum pernah melihat rumah sebagus miliknya sontak membulatkan kedua mata tidak percaya. Aku kagum melihat rumahnya sambil celingukan kesana kemari. "Astagaaa! Kamar mandinya besar sekaliiii! Apa om biasa mandi di sini?!" Aku menunjuk sebuah bangunan kotak yang di dalamnya ada air. "Apa om tidak takut kelihatan orang-orang?!" tanyaku kebingungan. Om Dewo menghampiriku dan berbicara lembut kepadaku. "Ini kolam renang, Dilla. Bukan buat mandi, di sini mandinya memakai baju, kalau di kamar mandi baru telanjang, apa kau ingin mandi denganku disini tanpa pakaian?" ucapnya sambil tersenyum. "Em ... ah! Tidak-tidak," tolakku risih dekat dengan tubuhnya. "Lina kau masuklah ke kamarmu!" perintahnya pada Lina dan Lina pun langsung menurutinya. Setelah Lina tiada, Om kembali berulah dengan tatapannya, aku yang resah jadi salah tingkah menatap matanya. "Em ... orang tua Om kemana?! Kok tidak kelihatan?!" tanyaku harap-harap cemas. "Mereka tinggal bersama adik perempuanku, Dilla. Dan aku tinggal di rumah ini sendirian," jelasnya sambil mengambil tas plastik yang berisi pakaianku. "Eh!! Kok diambil?! Aku orang miskin, Om ... tidak punya apa-apa! Bahkan baju saja bekas dari Lina! Sementara bra ... bekas dari nenekku, kalau celana dalamku ... Aku beli sendiri dari uang saku yang diberikan nenekku sewaktu masih hidup dulu, dan itupun sudah molor dan berlubang. Apa Om mau merampasnya juga dariku?!'' tanyaku ragu sekaligus panik. "Sssttt ... Aku tidak mengambilnya, Dilla. Hanya mau menyimpannya di kamar, kamar yang nanti akan kau tempati," ucapnya sambil memanggil pembantunya dan memberikan bajuku padanya. "Oh! Kirain!" ucapku salah tingkah. "Apa kamu punya saudara?" tanyanya lagi, pelan. "Punya tapi jauh!" jawabku datar. "Rencananya mau kerja apa kamu disini?" tanyanya ramah. "Babu, Om. Maklum aku tidak berpendidikan dan hanya lulusan SMP saja," ucapku pelan. "Kalau om kerjanya Apa?!" tanyaku penasaran. "Aku seorang Dokter, Dilla," ucapnya lagi. "Astagaaa! Gajinya pasti besar sekali! Iya kan, Om?" ucapku kagum. "Yang penting bisa buat makan. Kalau kau mau cari pekerjaan, bagaimana kalau kerja denganku," ucapnya sambil menatapku. "Kerjanya apa, Om?!" tanyaku antusias. "Memasak untukku, menyiapkan bajuku untukku, melayaniku di ranjang dan yang terakhir ... melahirkan anakku," ucapnya serius. "Waaa! Gajinya berapa?!" tanyaku berbinar mendengar ucapannya, bagiku itu perkara mudah, daripada cari kayu bakar di hutan, kan?! "Semua isi rumah ini dan semua uang milikku kau boleh mengambilnya sesukamu, anggap itu gajimu," ucapnya sambil memegang tanganku. "Waaa! Banyak sekali gajinya! Aku mau!" seruku setuju. "Apa kau yakin?!" tanyanya bahagia. "Tentu saja! Aku sangat yakin!" jawabku tegas menatap matanya. Om Dewo langsung memelukku dan tak lama kemudian langsung mencium bibirku. Bibir bawahku dia gigit dengan lembut dan karna kaget sontak aku membuka mulutku dan lidahnya langsung saja membelit lidahku. Aku yang belum pernah merasakan apapun tentang ciuman laki-laki sontak saja gugup dan merasakan perasaan yang sangat aneh. Bahkan tidak tahu kenapa, milikku ini tidak berhenti berkedut. "Om ... kok dicium? Itu kan tidak boleh?" tanyaku malu-malu. "Tidak apa-apa, Dilla. Kan kau mau melahirkan anakku, jadi harus mau kucium, ok? Ini baru permulaan, Dilla, setelah kita menikah, baru aku akan memberikan hadiahku padamu!" ucapnya nakal. "Ha-hadiah?! Hadiah apa, Om?!" tanyaku penasaran. "Pisang Raja!" jawabnya singkat. "Dasar orang aneh, masak orang kaya kasih hadiah pisang?! Apa tidak ada yang lain?!" batinku heran. "Apa yang kau pikirkan, Dilla?" tanya Om Dewo, lembut. Entah kenapa aku dari tadi merasa ada yang aneh. "Eh! Tunggu!!" sentakku kaget. "Kenapa, Dilla?!" Om Dewo heran melihat perubahan sikapku. "Om tadi bilang ... melahirkan anak?! Menikah?! Itu artinya ... Aku akan bekerja sebagai istrimu, dong?!" tanyaku kaget. "Iya. Memangnya kenapa?! Kau tidak suka?" tanyanya sedikit kecewa. "Astagaaa! Nyebut, Om, nyebut ... kita baru kenal! Aku juga bukan orang baik, Om yakin?! Ingin menikah denganku?!" tanyaku panik. "Yakin! Sangat yakin. Kamu memang diajak kesini sama Lina buat dijadikan istriku," jelasnya tanpa rasa ragu. "Siapa yang suruh?!" "Orangtuanya, Lina" ucapnya lagi. "Tapi ... kenapa mereka memilihku?! Kenapa mereka begitu?!" tanyaku bingung. "Sudahlah! Kamu mau, kan?! Jadi istriku?" tanyanya was-was. "Mau sih, tapi ...." "Tapi kenapa?!" "Aku kampungan, Om ... Aku... Jelek! Aku ... miskin! Aku juga-- ah--" Om Dewo memotong pembicaraanku. Dia langsung melumat bibirku lebih gemas dari yang tadi. "Kok dicium lagi?!"" protesku kesal. "Kamu ngegemesin, sih," ucap om Dewo, geli menciumi bibirku. "Aku galak loh, Om ...." "Tidak apa-apa! Aku suka cewek galak!" ucapnya sambil tertawa. "Tapi ...." "Apa lagi, Dilla?!" tanyanya mulai frustasi. "Em ...." "Em, apa?!" "Om kan ...." "Kenapa?!" ulangnya tidak suka. "Tua," bisikku lirih. "Apa?! Aku masih dua puluh sembilan tahun, Dilla! Dan kau bilang tua?!" protesnya terlihat kesal raut mukanya. "Itu kan, tua. Aku masih kecil, Om," ucapku menggodanya. "Kecil kacangmu!! Memangnya umur kamu berapa?! Dua puluh, kan?" tanya Om Dewo, gemas. "Iya deh, Aku mau. Stop berdebatnya, gitu aja marah, aku capek!" sahutku menyerah. "Bagus," akhirnya singkat padat dan jelas. *** JUDUL : UNCLE DEWO PENULIS : Dilla 909 ***** Jangan lupa tekan Love and follow YAAA sukaaaaa Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN