Aku berjalan kesana-kemari dengan bingung, Aku mencari Lina yang sedari tadi tidak kelihatan. Aku membuka setiap pintu ruangan dengan kesal.
"Astagaaa! Kemana, Lina?! Andai saja Om Dewo tidak menahanku?! Pasti aku sudah tidur nyenyak bersama Lina. Lagian ini rumah apa hutan sih?! Luas amat!" gumamku kesal.
Aku membuka pintu lagi satu persatu. Tapi Lina tetap tidak ketemu.
Pintu pertama, perpustakaan.
Pintu kedua, gudang.
Pintu ketiga, dapur.
Dan pintu keempat ....
Astaga!!
Pintu keempat membuatku gugup sekaligus ingin sembunyi di bawah lautan. Mataku nyaris melotot keluar karna kaget disertai rasa malu yang teramat sangat.
"Astagaaaa!! Om De-dewoooo. Ma-maafkan aku melihatmu telanjang. O-omaigot!! Besaaar!! Eh, maaf. Mak-maksudku-- panjang! Eh! Bu-bukan!! Ma-maaf!" ucapku gemetaran.
"Dilla?! Kenapa kamu ada di sini?!" tanya Om Dewo, malah sebaliknya bersikap santai.
Dia berjalan ke arahku dengan tubuhnya yang segagah Raja dan wajahnya yang setampan pangeran dalam khayalanku. Otot-otot yang menghiasi tubuhnya menandakan dia sangat kuat.
"Sudah tahu aku telanjang, kenapa tidak segera menutup pintu?! Hem? Seharusnya kau menutup pintunya, Bukan?!" ucapnya sambil tersenyum senang.
"Oh! Oh, ya! A-aku lupa!" ucapku sambil celingukan kesana-kemari.
"Apakah kau merindukanku?!" tanyanya lagi sambil mendekat ke arahku.
"Ah! Ti-tidak! Aku ... Aku tidak merindukanmu. Aku harus segera keluar dari sini! Se-seram!" ucapku sambil berusaha menggapai kenop pintu di belakangku tapi tidak mampu.
"Hei, tunggu! Kenapa keluar?! Kau kan mau bekerja sebagai seorang istri, jadi tugasmu ... di mulai dari sekarang!" perintahnya sambil tersenyum nakal.
"Mak-maksud Om, apa?" tanyaku salah tingkah melihat senyumnya.
"Kau harus melayaniku, Sayang," ucapnya sambil mendekatkan wajahnya ke arahku.
Karna takut atau apa secara reflek aku menendang perutnya.
"Awh!!" rintihnya kesakitan.
"Kau?! Kau jangan macam-macam, ya, Om!! Aku masih punya harga diri!! Aku memang miskin tapi aku tidak akan memberikan tubuhku untukmu! Mengerti?!" ucapku menatap tajam ke arah matanya.
"Astaga ... maksudku adalah, ambilkan handukku di belakangmu itu," perintahnya menunjuk gantungan di belakangku tepatnya di sebelah pintu.
"Oh! Ngomong dong! Aku kan gagal paham, Om!" ucapku salah tingkah.
"Lagian kamu kenapa? Kok kayak orang bingung?!" ucapnya sambil melilitkan handuk di pinggangnya.
"Alhamdulillah ... sudah ada dalam kurungan!" seruku lega karna dia sudah tidak telanjang lagi.
"Apanya yang ada di dalam kurungan?!" tanyanya penasaran.
"Burung! Eh!! Maksudku ... burung tetangga sebelah, aku dengar sudah di kurung karna beberapa hari ini merusak genteng tetangga," jelasku disertai gugup dan malu.
"Dasar mulut!" batinku kesal.
"Oh! Kau yakin?!" tanyanya menyelidiki mimik mukaku.
"Iya, Om. Sawer! Eh! Suwer!" yakinku menatap matanya.
"Apakah kau mencari kamar Lina?" tanyanya lagi, sambil tersenyum geli.
"Eh, iya, Om. Aku dari tadi nyariin kamar Lina tapi tidak tahu dimana tempatnya?!" ucapku tidak sabar ingin keluar.
"Dia ada di sebelah kamar ini, Dilla. Buka saja, kau nanti juga tidur di sana," ucapnya ramah.
"Oh, iya, Om. Terima kasih," ucapku lega dan ingin berjalan keluar.
Tapi sebelum aku keluar, lagi-lagi mulutku membuat ulah, aku berjalan dan setelah selesai membuka pintu, aku berkata. "Om!" panggilku pelan.
"Iya? Kenapa? Apa kau berubah pikiran? Mau tidur bersama Om? Sayang?" tanyanya sexsi.
"Ih!! Memangnya aku anak kecil?! Aku hanya ingin bilang! Kemaren aku menyarankan pada si pemilik burung buat mencukur bulunya! Karna ... sudah terlalu lebat!" ucapku sambil menutup pintu dan lari ke kamar Lina.
Aku memasuki kamar Lina sambil menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya, mencoba menghapus bayangan Om Dewo yang telanjang di hadapanku.
"Dilla?! Kamu dari mana?! Kok dari tadi tidak ada?! Ditunggu-tunggu kok gak nongol?! Kemana aja?!" tanya, Lina marah.
"Besar!!" seruku gemetaran
"Apa?! Apanya yang besar?!"
Aku hanya terdiam saat Lina terus bertanya, milik Om Dewo benar-benar besar dan panjang. Kalau bahasa jawanya, Dewo, gede dowo. Sesuai namanya, astaga! Pikiranku kemana-mana.
"Dilla!! Kamu dengar tidak, sih?!" teriak Lina, membuyarkan lamunanku.
"Eh!! Ah!! I-iya! Aku dengar!! Ta-tadi aku kesini tapi kau tidak ada," ucapku gugup menatap mata Lina.
"Kamu kenapa?! Wajahmu memerah! Kamu sakit?!" tanya Lina khawatir.
"Ah! Tidak apa-apa," ucapku menjelaskan padanya.
Dan saat aku ingin menjelaskan, tiba-tiba pintu di belakang terbuka.
"Dia habis kena sawan, Lina. Biar aku yang sembuhkan," ucap Om Dewo, langsung menghampiriku.
Aku dan Lina hanya terdiam karna tidak tahu harus berbuat apa?! Om Dewo mendekat ke wajahku dan tanpa diduga mengecup kedua mataku. "Cup! Cup!"
"Om--" lirih Lina, tidak percaya Om-nya mencium sahabatnya.
"Mudah-mudahan kecupan ini bisa menyembuhkanmu, Sayang. Karna selain Aku Dokter umum, Aku juga Dokter cinta," ucapnya membuat Lina semakin heran dengan sikapnya.
"Om!! Kau?!" ucap Lina, terkejut.
"Sssttt ... kalian berdua cepat bersiap. Kita makan malam bersama dan setelah itu kita berbelanja buat kamu, dan juga buat Dilla, Lina. Aku ingin membelikan bra dan juga celana dalam mengganti celana dalam Dilla yang sudah berlubang. Karna kau tahu sendiri, kan? Bra milik Dila kuno sekali," ucapnya menggodaku.
"Iya, Om. Aku tahu. Tapi terimakasih ya ... sudah mau beliin Dilla bra dan juga celana dalam," ucapku girang menatap wajahnya yang tampan. "Ya sudah! Aku mandi dulu ya, Om," ucapku antusias.
"Iya. Apa perlu Om mandiin?!" tanyanya lagi-lagi menggodaku.
"Tidak usah, Om. Terima kasih," tolakku risih.
Aku masuk ke kamar mandi dan tak lama kemudian berteriak melihat isi di dalamnya.
"Aakkhhh!!" teriakanku sontak membuat Om dewo dan Lina menghampiriku.
"Kenapa?!" tanya mereka, panik.
"Kamar mandinya bagus bangeeet!" ucapku kagum. Tapi sangat membuat Lina kesal.
"Astagaaa!! Kau membuat jantungku copot, Dilla!!" maki Lina, begitu geramnya.
"Ya sudah! Sana keluar, mengganggu saja," usirku membelakangi mereka.
"Astagaaa!" seruku lagi membuat Lina penasaran.
"Kenapa?!" tanya Lina, kebingungan.
"Cara mandinya bagaimana? Kok tidak ada airnya?" kali ini bukan hanya Lina, bahkan Om Dewo pun tampak memijit keningnya.
"Ini dibuka, Dilla. Kalau kamu mau yang hangat, ini dibuka dan ini juga dibuka. Kalau kamu buka yang ini saja! Kamu akan melepuh!!" ucap Lina menjelaskan.
"Oh," ucapku akhirnya mengerti.
************
Om Dewo membawa kami ke sebuah mall yang sangat terkenal di Jakarta, kata Lina ini mall para artis, pantas saja aku sering melihatnya di televisi milik Lina. Rupanya ini khusus untuk orang kaya. Apa hanya pemikiranku saja?! Di desa tidak ada yang seperti ini.
Kami disambut oleh para karyawan dan karyawati dengan ramah.
Karna mereka baik, aku juga bersikap baik dan menyalami mereka satu-persatu.
"Hei! Kenapa bersikap seperti itu?!" tanya Lina kesal.
"Mereka sopan, Lina. Kita juga harus bersikap sopan. Lihatlah! Meskipun baru pertama kali berjumpa, mereka tersenyum kepadaku!" ucapku pelan.
"Memang itu tugas mereka, Dillaaa! Astagaaa!! Kau jangan menyalami mereka, tidak akan ada habisnya. Tuhan--" ucap Lina, geram.
"Kau ini apa-apaan, Lina?! Dilla baru pertama kali kesini. Bersikaplah baik padanya!" protes Om Dewo, membelaku.
"Dia membuat kita malu, Om ...."
"Sssttt ... sudah," Om Dewo mengabaikan Lina.
"Om ... lihatlah! Lina kejam sekali!" ucapku pura-pura sedih.
"Ya sudah, Kamu sama aku aja. Ok?!" ucap Om Dewo, sambil mengapit tanganku dan menyuruh Lina berjalan di depan.
Setelah agak lama kita berjalan kedalam, aku kembali terpesona melihat sesuatu berjalan. "Astagaaa!! Ooom! Aku mau naik itu! Bayarin, ya!!" seruku mengharap persetujuannya.
"Naik apa, Dilla?" tanya Om Dewo, kebingungan.
"Itu, Om!" ucapku sambil menunjukkan sesuatu.
"Astagaaa!! Itu eskalator, Dillaaa! Tidak perlu bayar!! Gratis!! Kau bisa naik sesukamu kalau kau mau! Mengerti?!" jelas Lina, mulai frustasi.
"Benarkah?!" seruku memastikan ucapan Lina.
"Benar. Dasar bodoh!!" ucap Lina, menatapku sambil menghembuskan nafas kesal.
"Biarin. Asik ... naik eskalator!" seruku dan melepaskan tangan Om Dewo. Aku langsung menaikinya sambil Om Dewo berdiri di belakang, rupanya beliau ikut dibelakangku setelah mengejar.
Om Dewo dan Lina hanya menurutiku dengan sabar. Aku benar-benar seperti ayam yang baru bebas dari kurungan. Aku berlarian kesana dan kemari persis seperti orang gila, setidaknya ... itu kata Lina.
***
JUDUL : UNCLE DEWO
PENULIS : Dilla 909
********
Semoga tidak garing ya, wkwkwwkkwwkwk
Jangan lupa tekan Love serta follow YAAA
I Miss you, All ....
Bersambung ....